Rabu, 02 Maret 2011

PERHATIAN PRESIDEN SBY

Menjawab Tantangan Rumah Sangat Murah


Meskipun berbagai program penanganan permukiman kumuh sudah cukup banyak dijalankan, namun kita justru dihadapkan pada paradoks, yaitu bertambahnya luas permukiman kumuh berdasarkan data BPS. Mengentaskan kemiskinan kota memang bukanlah pekerjaan mudah, apalagi jika sudah menyentuh urusan permukimannya. Namun bukanlah mustahil pula. Apalagi jika kita mencoba meniru bagaimana Singapura, Hong Kong, Korea Selatan dan Jepang, yang berhasil mengentaskan permukiman kumuhnya. Negara-negara Asia Timur tersebut kini tergolong sebagai negara maju karena mereka berhasil menata kota-kota secara berkelanjutan.

Melihat kondisi hunian kaum miskin kota yang jauh dari layak ini Presiden SBY kemudian menjanjikan program bantuan rumah sangat murah senilai 5-10 juta rupiah untuk setiap rumah tangga. Menanggapi janji pemerintah ini segera muncul pertanyaan, apakah biaya sebesar itu mencukupi? Akhirnya banyak pihak yang memandang pesimis mengenai kemungkinan realisasinya. Namun begitu, tidak sedikit pula yang menyatakan mungkin saja.

Menurut hemat penulis, di sinilah letak masalahnya, pesimisme banyak pihak terhadap rencana ini sebenarnya karena kita selalu dihadapkan pada pola penyediaan perumahan yang konvensional. Sistem penyediaan perumahan yang ada sekarang tidak cukup menjanjikan. Pola komersial maupun pendekatan paket-paket proyek hanya akan membuat dana tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Namun di sini pula tantangannya, karena dana 5-10 juta rupiah tersebut sungguh berarti dan tidak menjerat bagi kalangan masyarakat miskin kota.

Penanganan permukiman kumuh kolong jembatan seperti yang dicontohkan bapak Presiden tersebut, tentu tidak dapat dilakukan pada skala proyek kawasan itu saja. Penanganannya perlu dikembangkan secara terpadu dan terkoordinasi dalam skala kota dan wilayah. Oleh karena itu, upaya penyediaan perumahan sangat murah ini perlu dijadikan momentum untuk menata multi sistem penyediaan perumahan dengan memberi penguatan pada sistem penyediaan perumahan publik maupun perumahan sosial. Multi housing delivery system yang lebih komprehensif perlu dipadukan dan diberi tempat untuk berkembang. Sedangkan sistem penyediaan perumahan komersial dengan sendirinya akan mengisi tempat-tempat yang bersesuaian dengan karakternya.

Dalam rangka mengembangkan sistem penyediaan perumahan sosial secara partisipatif, pertama-tama perlu diidentifikasi keluarga-keluarga miskin yang menghuni kawasan permukiman informal, terutama di kota-kota metropolitan di tanah air. Langkah selanjutnya adalah dengan mengorganisir dan memberdayakan komunitas-komunitas miskin tersebut sehingga mereka memiliki tujuan akan masa depan kehidupannya di permukiman yang baru. Setelah secara simultan lokasi permukiman baru disiapkan, maka langkah berikutnya adalah dengan melaksanakan pemukiman kembali (resettlement). Itulah langkah-langkah awal dalam mekanisme penyediaan perumahan sosial yang perlu ditangani secara melembaga. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial bisa mencontoh pola kelembagaan seperti CODI (Community Organisation Development Institute) di Thailand dengan mendirikan badan yang sejenis pula dan diberi nama seperti Lembaga Pengembangan Komunitas.

Kemudian, kemana tujuan pemukiman kembali itu? Secara simultan, sistem penyediaan perumahan publik harus berperan dalam menyediakan kawasan baru sebagai tujuan pemukiman kembali. Tujuan resettlement bisa bervariasi, baik di kawasan sekitarnya di dalam kota, di kawasan baru jauh di pinggir kota, maupun di kawasan kota-kota baru yang agak jauh. Di permukiman baru komunitas didorong untuk mengembangkan permukiman dan kehidupan barunya secara swadaya. Inilah mata rantai keterpaduan sistem penyediaan perumahan sosial dan sistem penyediaan perumahan publik.

Semakin di pusat kota maka semakin kecil luasan kawasannya, dan demikian sebaliknya. Selain itu, semakin menjauh dari pusat kota, maka semakin beragam strata huniannya. Dapat diperkirakan untuk lahan skala kecil (50 - 200 rumah, 5000m2 – 2 Ha), skala sedang (200-1.000 rumah, 2 - 10 Ha) maupun skala besar (1.000 rumah ke atas, di atas 10 Ha). Konsep pengembangan tapaknya tidak hanya didominasi rumah sangat murah, melainkan menggunakan konsep hunian berimbang. Untuk tujuan yang jauh perlu dilengkapi dengan program pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang akhirnya tertarik mengikuti program ini.

Dengan demikian, sistem penyediaan perumahan publik perlu memberi fokus pada identifikasi dan pengembangan lahan siap bangun. Inilah prinsip-prinsip sistem penyediaan perumahan publik yang perlu dijalankan sebagaimana rencana Perumnas untuk berubah peran menjadi National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC) dan menjadi simpul bagi pengembangan mitra-mitra sejenisnya di daerah. Dengan dukungan BUMN-BUMN Karya maka proses pematangan tanah dan sistem utilitas utama dapat disediakan secara massal.

Untuk pengadaan tanah skala kecil, otoritas pengembangan permukiman dapat pula mengidentifikasi lahan-lahan kosong di sekitar permukiman kumuh. Jika mekanisme perumahan publik lebih memilih membebaskan lahan tersebut, maka mekanisme perumahan sosial dapat menawarkan skema sewa jangka panjang. Keberadaan Lembaga Pengembangan Komunitas ini menjadi sangat penting. Selain untuk melaksanakan pembinaan, lembaga ini juga diperlukan untuk menjamin ketertiban dan keamanan penyewaan tanah tersebut.

Untuk penyediaan tanah dapat dialokasikan dana pengadaan tanah murah maupun sewa tanah jangka panjang sebanyak maksimum 10 % dari dana rumah sangat murah ini. Sehingga akan tersedia dana pembangunan rumah inti sebesar 90% yang dialokasikan untuk konstruksi rumah. Dengan kepadatan yang tinggi dan kompak, maka desain rumah yang sesuai adalah bentuk rumah inti deret dan bertingkat. Secara partisipatif, masyarakat masih tetap bisa memilih variasi pilihan-pilihan desainnya. Dari berbagai pengalaman di tanah air maupun negara berkembang lain, memang golongan masyarakat miskin yang lebih guyub tidak sesuai untuk tinggal di rumah yang bersusun. Sedangkan komponen upah dapat ditekan pula melalui mekanisme partisipatif.

Permasalahan pinjaman lunak bagi keluarga-keluarga miskin tentunya tidak bisa dijalankan melalui prinsip-prinsip keuangan formal. Mereka biasanya digolongkan sebagai unbankable, dan tidak ada yang salah dengan itu. Kesalahan justru ketika pemerintah tidak menyediakan mekanisme pembiayaan perumahan yang sesuai untuk kelompok ini. Sedangkan pembiayaan mikro perumahan yang dikembangkan selama ini terbukti menunjukkan kinerja yang lemah. Karena sebenarnya sistem penyediaan perumahan sosial bukan bertumpu pada dukungan pembiayaan formal perbankan, melainkan lebih bertumpu pada kekuatan proses pemberdayaan kelompok. Justru dengan bertumpu pada kekuatan komunitas yang terorganisir itulah, maka pinjaman lunak rumah sangat murah ini akan dikembalikan secara bertahap seiring dengan harapan meningkatnya taraf kehidupan mereka.

Bagaimana sebenarnya peluang penerapan sistem penyediaan perumahan yang komprehensif tersebut? Segala sesuatu masih terbuka kemungkinannya. Memang kita belum pernah disajikan berbagai pola pengadaan yang kreatif. Namun janganlah kita terbelenggu oleh pola pikir pengadaan yang berorientasi bisnis perumahan maupun proyek-proyek parsial. Jika para pengembang swasta tidak mampu menghitung-hitung kelayakannya, bukan berarti tidak layak. Tetapi karena memang tidak sesuai jika dilaksanakan melalui moda perumahan komersial. Namun para kontraktor dan pengembang kecil masih dapat tetap dilibatkan. Perumnas sebagai NHUDC perlu diberi peran yang strategis untuk membina mereka. Di negara-negara maju, para kontraktor dan pengembang kecil ini disebut sebagai registered public housing developers under public housing authority management.


-----------------------------------------------------------------


SELECTED NEWS

PERHATIAN PRESIDEN PADA HUNIAN KAUM MISKIN PERLU RESPON TEPAT

Monday, 28 February 2011 15:25


Jakarta, 28/2/2011 (Kominfonewscenter) – Jika bertumpu pada pola penyediaan perumahan komersil maupun pendekatan proyek tentunya uang 5-10 juta rupiah per rumah yang akan disediakan BUMN-BUMN akan tidak bernilai.

“Perhatian Bapak Presiden terhadap kondisi hunian kaum miskin kota yang jauh dari layak kiranya perlu segera direspon secara tepat”, kata narasumber KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) Ir. M. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D yang juga Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung) mengatakan di Jakarta Senin (28/2). Jehansyah mengemukakan prakarsa Presiden ini perlu segera dijawab dengan mengembangkan mekanisme penyediaan perumahan yang efektif, sehingga dana 5-10 juta tersebut akan bernilai guna bagi masyarakat miskin kota.

Jehansyah mengatakan penanganan permukiman informal (squatter settlements) seperti keluarga yang tinggal di kolong jembatan yang dicontohkan Presiden tersebut tidak dapat dilakukan dalam skala kawasan kumuh tersebut saja. Melainkan dalam skala kota (city-wide) dengan melibatkan sumbersumberdaya perkotaan lainnya. Mekanisme yang tepat adalah mekanisme penyediaan perumahan umum dan perumahan komunitas yang dikembangkan secara partisipatif dan terpadu.

Jehansyah mengemukakan pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah, pertama dengan mengidentifikasi keluarga-keluarga miskin yang menghuni kawasan permukiman informal yang terutama terdapat di 6 kota metropolitan di tanah air. Kedua dengan mengorganisir dan memberdayakan komunitas-komunitas miskin tersebut hingga mereka memiliki tujuan akan masa depan kehidupannya di permukiman yang baru.
Ketiga dengan melaksanakan pemukiman kembali (resettlement), baik di kawasan sekitar maupun kawasan baru yang agak jauh, dimana komunitas mengembankan permukiman barunya secara swadaya.
”Inilah mekanisme penyediaan perumahan komunitas yang perlu ditangani secara melembaga”, kata Jehansyah.

Jehansyah juga mengemukakan secara simultan, penyediaan perumahan umum perlu pula dipadukan.
Langkah pertama dengan fokus dalam menyediakan lahan-lahan, baik dalam skala kecil (50-100 rumah), skala sedang (250-1.000 rumah) maupun skala besar (3.000 rumah ke atas).
Lokasi bisa dipilih di dalam kota, pinggir kota maupun di kawasan kota-kota baru yang dipadukan dengan program penyediaan permukiman menengah dan pusat-pusat pertumbuhan kota-kota baru.
”Inilah mekanisme penyediaan perumahan publik yang sesuai jika ditangani oleh Perumnas maupun Perumda (yang segera dibentuk/ditugaskan Pemda)”, kata Jehansyah.

Dengan demikian dana 5-10 juta/ rumah dapat dialokasikan untuk sewa tanah jangka panjang atau pengadaan tanah murah (1-2 juta) dan pembangunan rumah inti (4-8 juta) atau rumah inti kopel atau deret.
Melalui jejaring komunitas yang telah berdaya dan diorganisir oleh lembaga khusus seperti CODI (community organisation development institute) di Thailand, pinjaman lunak ini akan mungkin dikembalikan secara bertahap, seiring harapan meningkatnya taraf kehidupan masyarakat miskin tersebut.
“Gagasan dan kepedulian Bapak Presiden ini kiranya perlu segera dipahami sebagai langkah strategis untuk mengembangkan housing delivery system yang baik. Sehingga perumahan dan permukiman dapat benar-benar menjadi instrumen strategis dalam menanggulangi kemiskinan”, kata Jehansyah. (myk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1166:perhatian-presiden-pada-hunian-kaum-miskin-perlu-direspon-secara-tepat&catid=44:nasional-kesra&Itemid=53


-------------------------------------------------------------

Penyediaan Perumahan Harus Efektif


 Home Republika Online

Senin, 28 Februari 2011 pukul 15:45:00 

Pernyataan Presiden terhadap kondisi hunian kaum miskin kota yang jauh dari layak perlu segera direspon secara tepat oleh pihak terkait. Untuk itu perlu segera dikembangkan mekanisme penyediaan perumahan yang efektif.

Pengamat perumahan  dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan, penanganan permukiman informal (squatter settlements) seperti keluarga yang tinggal di kolong jembatan, tidak dapat hanya dilakukan dalam skala kawasan kumuh tersebut. Namun juga harus dilakukan dalam skala kota (city wide) dengan melibatkan sumberdaya perkotaan lainnya.
"Mekanisme yang tepat adalah penyediaan perumahan umum dan perumahan komunitas yang dikembangkan secara partisipatif dan terpadu. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah," kata Jehansyah, pekan lalu.
 
Langkah yang harus dilakukan pemerintah,  antara lain mengidentifikasi keluarga miskin yang menghuni kawasan permukiman informal, terutama di berbagai kota metropolitan di Tanah Air. Selain itu mengorganisir dan memberdayakan komunitas masyarakat miskin tersebut hingga mereka  memiliki permukiman yang baru.

Langkah selanjutnya adalah melaksanakan pemukiman kembali (resettlement), baik di kawasan sekitarnya maupun kawasan baru yang agak jauh, di mana komunitas mengembankan permukiman barunya secara swadaya .

"Inilah mekanisme penydiaan perumahan komunitas yang perlu ditangani secara melembaga," jelas Jehansyah.
 
Secara simultan, tuturnya,  penyediaan perumahan umum perlu pula dipadukan. Caranya dengan fokus dalam  penyediaan lahan, baik dalam skala kecil, sedang, maupun besar. (anjar fahmiarto)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar