Rabu, 09 Maret 2011

Menata Hubungan Peran Swasta dan Pemerintah

Pengesahan RUU Rumah Susun Berpotensi Mundur

BY IM SURYANI

JAKARTA (IFT) – Pengesahan Undang Undang tentang Rumah Susun bisa kembali mundur, karena masih ada beberapa poin yang belum menemui titik terang. Diantaranya soal pemisahan horizontal antara status tanah dan bangunan, pembentukan badan pembangunan dan pengawasan rumah, serta larangan pre-sale sebelum pengembang membangun minimal 20% dari total gedung.

Mulyadi, Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rumah Susun, mengatakan masih ada tiga poin penting yang masih harus dicari penyelesaiannya. Dewan Perwakilan Rakyat tetap mengejar target penyelesaian draft undang-undang tersebut pada April. “Kalau pun tidak selesai, paling lama sampai masa sidang berikutnya,” kata Mulyadi, Rabu.

Menurut dia, poin-poin yang masih dibahas antara lain tentang pemisahan horisontal yang tengah diupayakan mempunyai kekuatan hukum sehingga bisa dijaminkan ke perbankan. Ketentuan ini merupakan terobosan yang perlu diperjuangkan sebagai jalan keluar masalah backlog atau kekurangan pasokan rumah sebanyak 4,7 juta unit.

“Sekarang akan dibuat sertifikat khusus untuk rumah susun di atas tanah hak sewa dan hak pakai.  Ini masih jadi perdebatan. Padahal, ini sebagai jalan keluar mengatasi masalah backlog yang itu,” kata Mulyadi.

Soal penetapan pembentukan badan pembangunan dan pengawasan rumah, menurut Mulyadi, badan tersebut nantinya diarahkan untuk bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dia  merujuk Turki dan Jepang yang memiliki badan khusus yang bertanggung jawab atas pembangunan rumah susun dan pengawasan kelayakan rumah susun. Badan tersebut  bertanggung jawab langsung ke presiden atau perdana menteri.

Mulyadi memperkirakan bila badan yang dibentuk berada di bawah menteri,  kinerjanya akan tergantung pada kebijakan menteri, sehingga tidak akan fokus pada kebutuhan masyarakat.

“Badan yang di bawah kementerian ini tidak begitu efektif dan tidak konsentrasi. Hanya tergantung pada kebijakan menteri. Kami maunya menteri konsentrasi penuh melakukan pembangunan, misalnya pengawasan rumah susun, termasuk kelayakannya,” kata Mulyadi.






Persoalan penting lainnya adalah larangan pre-sales sebelum pengembang membangun minimal 20% dari total gedung. Mulyadi memaparkan, khusus bagi pengembang yang bergerak di rumah susun komersial diwajibkan membangun 20% konstruksi, termasuk sarana, prasarana, dan utilitas.

Pendekatan lainnya, dengan melihat besaran nilai investasi, tapi tetap di angka 20%, seperti pengembang membutuhkan dana investasi sebesar Rp 100 miliar, sebanyak Rp 20 miliar harus disiapkan dulu.

“Jika mau bangun apartemen mewah 1.000 unit, minimal 200 unit harus dibangun dulu yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Itu semacam tanggung jawab sosial dari pengembang besar. Pengembang tidak akan rugi, hanya untungnya saja yang tidak sebesar kalau membangun yang mewah,” katanya.

Muhammad Nawir, Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), mengatakan kewajiban membangun 20% masih bisa dilakukan untuk pembangunan hunian tapak (landed house), tapi tidak bisa diberlakukan untuk pembangunan rumah susun.

Menurut dia, tidak relevan untuk pembangunan rumah susun. Kalau rumah biasa bisa saja dibangun 200 unit dulu, tapi kalau rumah susun pembangunannya tidak bisa setengah-setengah seperti itu.

Jehansyah Siregar, pengamat permukiman dari Institut Teknologi Bandung, setuju dengan kewajiban pengembang membangun 20% dari proyeknya sebelum dilepas ke pasar. Tapi pembahasan aturan tersebut masih belum mencapai titik temu. Pengembang merasa keberatan,  sementara pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat  tidak mempunyai jalan keluar untuk mengatasi permasalahan pengembang, khususnya pengembang kecil yang dinilai memiliki kemampuan pendanaan yang tidak cukup kuat.

Menurut Jehansyah, para pengembang kecil  bisa bekerja sama dengan Perusahaan Umum Perumnas. Kota Barumaja di Parung Panjang sebagai lokasi percontohan kerja sama antara Perumnas dengan pengembang.

“Pengembang (kecil) harus didampingi dengan sistem ini, karena Perumnas sebagai badan usaha milik negara memiliki otoritas khusus mengurusi masalah izin pemerintah daerah atau birokrasi lainnya yang memusingkan pengembang di awal pembangunan. Setelah lahan itu dimatangkan oleh Perumnas, pengembang cukup dikucurkan kredit konstruksi. Bukan hanya 20%, tapi 50% akan bisa dicapai dengan sistem seperti itu,” katanya



indonesiafinancetoday.com/read/5064/Pengesahan-RUU-Rumah-Susun-Berpotensi-Mundur




-----------ooo()ooo------------




UU Perumahan dorong restrukturisasi pengembang



JAKARTA: Persyaratan keterbangunan fisik minimal 20% sebelum menjual rumah tunggal, rumah deret atau rumah susun untuk konsumen diharapkan dapat  menekan transaksi spekulatif dan merestrukturisasi pengembang properti di Tanah Air.

Pakar Pemukiman Institut Teknologi Bandung Muhammad Jehansyah Siregar menyatakan selama ini banyak pengembang yang telah menjual properti sebelum pembangunan fisik berjalan atau masih dalam bentuk lahan.

Proses pembangunannya sendiri dapat mencapai 2 tahun hingga 3 tahun sehingga dikhawatirkan akan memimbulkan transaksi fiktif dengan pasar yang spekulatif.

Menurut Jehansyah, sebelum adanya UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP), pelaku yang melakukan pembelian bukan pembeli terakhir (end buyer) yang akan menempati, melainkan spekulan properti yang kemudian dijual kembali karena harga properti tersebut selalu meningkat dari tahun ke tahun.

"Di awal bagus ada persyaratan 20% minimal keterbangunan fisik, saya harap nantinya UU itu [UU PKP] dapat direvisi hingga syarat keterbangunan 80%," tutur Jehansyah saat dihubungi Bisnis, hari ini.

Jika dibandingkan dengan di Malaysia, kata Jehansyah, pengembang menjual propertinya setelah keterbangunan fisik 100%. Adapun cicilan pembayarannya dilakukan setelah konsumen menempati bangunan tersebut.

Jehansyah menjelaskan langkah berikutnya yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerja pengembang, yaitu adanya himpunan yang menghubungkan antara kontraktor publik dengan kontraktor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga semua kontraktor terdaftar jelas.

Perhimpunan ini nantinya bermanfaat pada penyaluran kredit properti untuk pembiayaan yang dapat dimanfaatkan bagi pengembang kecil dimana kredit tidak dapat dikucurkan pada bisnis yang spekulatif, tetapi harus jelas.

"Inilah nanti yang dapat merestrukturisasi atau menertibkan para kontraktor. Jika mereka benar-benar pengembang pasti mempunyai usaha bagaimana agar bisa menjual saat bangunan sudah 20%," imbuhnya.

Ketua Dewan Umum Pembina DPP Persatuan perusahaan Realestat Indonesia  (REI) F. F. Teguh Satria mengatakan para pengembang mengeluhkan adanya persyaratan keterbangunan 20% tersebut karena dapat berimbas terutama pada pengembang dalam skala kecil. (gak)


bisnis.com/infrastruktur/properti/17393-uu-perumahan-dorong-restrukturisasi-pengembang


Jehan:

Good point from UU-PKP, but its not good enough. Pengaturan yang sayangnya tidak diikuti so what nya. Faktanya, ketika pengembang mengeluh, Menteri hanya bisa bilang, ya pokoknya aturannya begitu. Kembali, UU-PKP masih sangat miskin. Seharusnya bukan aturan-aturan disinsentif yang lebih mengemuka. UU-PKP harusnya diisi pengaturan yang menjamin tegaknya sistem penyediaan perumahan.





--------ooo()ooo---------




Ciputra Juga Tak Berdaya

Pengusaha properti Ciputra mengungkapkan pengalamannya menghadapi birokrasi terkait proyek-proyek propertinya. Sejak berkecimpung mulai tahun 1960 dalam bisnis properti, urusan birokrasi sampai sekarang tetap susah dan tak berdaya (JAKARTA, KOMPAS.com, Rabu, 9 Maret 2011 | 15:25 WIB) "Untuk satu proyek besar saya memohon-mohon kepada pemerintah, ada yang sampai empat tahun prosesnya. Namun, Ciputra tetap mendukung para pengembang muda untuk tidak berputus asa dengan kondisi di Indonesia.

Penuturan Pak Ci ini kembali mengingatkan banyak pihak, terutama pemerintah, bahwa ada yang tidak beres dalam urusan properti dan perumahan di tanah air. Namun demikian, bagaimanapun penjelasan Pak Ci ini masih sangat sepihak. Seharusnya Pak Ci menceritakan pula bagaimana pengalaman bernegosiasi dengan Alm. Bang Ali Sadikin dahulu ketika membangun Ancol. Bagaimana Alm Bang Ali membangun sistem kerjasama dan kelembagaan dengan pihak swasta. Banyak sekali keberhasilannya dari sisi kepentingan publik maupun pengembang swasta. Namun sayangnya pola-pola seperti ini tidak berkembang, alias mengalami kemunduran, sejak Jakarta dipimpin Gubernur-gubernur yang kualitasnya sangat tidak sepadan dengan kebesaran ibukota RI dan harapan warganya.

Birokrasi dan Kelompok Kepentingan (developer) itu ibarat dua sisi mata uang. Birokrasi yang susah itu sebenarnya sejalan dengan ketimpangan keberhasilan para developer. Mengapa hanya ada segelintir developer naga dan banyak sekali developer teri? Karena birokrasi yang susah hanya bisa dihadapi dengan keberanian melobi, bernego, beropini, bahkan terjun ke dunia politik. Kondisi kongkalikong inilah yang akhirnya melahirkan developer2 naga yang menguasai aset besar sekali. Sedangkan yang teri meskipun ada yang bisa jadi besar, tapi tidak sedikit yang gulung tikar, bahkan dikejar-kejar hutang!

Pertanyaannya, siapa yang menikmati situasi yang unsystemized ini?

Beginilah situasi bisnis properti di tanah air yang akhirnya membentuk mindset banyak kalangan. Salah satu dampaknya adalah ketidaksadaran rakyat bahwa mereka harus dijamin dan berhak mendapatkan akses perumahan/properti yang seluas-luasnya. Kalau belum mampu beli rumah ya memang harus tinggal di pinggir sungai. Beginilah pemikiran rakyat miskin kebanyakan. Sedangkan kalangan menengah berpikir bahwa mereka harus bekerja keras terus menerus untuk bisa memiliki rumah kecil yang layak. Bahkan tidak sedikit dari golongan ini yang tak kunjung mampu memiliki rumah hingga setelah puluhan tahun menikah, alias tetap berpindah rumah kontrakan.

Situasi rimba belantara ini mengakibatkan pemerintah yang tidak kunjung mampu membangun sistem penyediaan perumahan rakyat yang baik, yang tersegmentasi secara harmonis antara sistem perumahan publik, sistem perumahan  komersial dan sistem perumahan sosial. Jadi birokrasi susah dan kelakuan nekat para pengembang besar keduanya sama saja... Sama-sama bertanggung-jawab terhadap situasi permukiman dan perkotaan yang tidak berkeadilan ini.

Seorang teman bertanya, bagaimana usulan paling realistis supaya lebih sistematik dan tepat sasaran dengan masalah perumahan di Indonesia. Jawaban saya adalah pertama, meminta kalangan pengembang swasta dan kroni-kroninya termasuk para broker dan konsultan properti untuk tidak asal bicara (bahasa Jawanya ngejeplak) dan berupaya mempengaruhi sistem kebijakan yang hanya menguntungkan bisnis mereka.

Kedua, meminta pemerintah dan para pejabat terkait untuk mengambil posisi memimpin dan berpegang teguh pada visi dan tujuan membangun permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan perumahan layak untuk semua rakyat, serta menjaga jarak apalagi jangan sampai didikte oleh kelompok kepentingan.

Ketiga, menata dan mengembangkan sistem penyediaan perumahan dan pembangunan kota secara komprehensif, bertahap terus menerus dan menggunakan langkah-langkah yang seksama, sebagaimana beberapa pemikiran di blog ini.

-MJS-
Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Published On: 22 March 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar