Kamis, 14 Juli 2011

Program Rumah Murah Sulit Diwujudkan

NERACA
.
Jakarta – Program serba murah dari pemerintahan SBY yang menyerap dana Rp108 triliun, termasuk penyediaan rumah murah dan sehat senilai Rp37 juta/unit tampaknya bisa bernasib seperti rusunami yang dianggap gagal. Selain sulit diwujudkan, juga terkendala banyak hal, mulai dari pembebasan tanah, tingginya bunga hingga masalah payung hukum. Apalagi banyak Pemda tidak siap melaksanakannya.
.
Menurut Pakar Perumahan ITB Mohammad Jehansyah Siregar, rencana pemerintah mengembangkan Risha (rumah instan sederhana sehat) dan Rika (rumah kayu instan) untuk masyarakat kurang mampu adalah salah sasaran. Masalahnya, Risha di patok Rp 37 juta per unit (di luar tanah) dan Rika sekitar Rp 24,6 juta per unit (di luar tanah) masih terlalu tinggi. “Ini jelas dari segi harga terlalu mahal untuk orang tidak mampu, mereka tidak memiliki uang sebanyak itu. Yang mereka punya cuma tenaga,” katanya kepada Neraca, Rabu (13/7)
.
Dia menekankan pemerintah seharusnya jangan terkonsentrasi mengadakan unit-unit rumah. Tapi lebih kepada pengembangan kawasan pemukimannya terlebih dahulu. Mulai dari kesiapan prasarana dan utilitas seperti MCK, sanitasi, air bersih, transportasi, serta penyediaan sarana seperti sekolah, fasilitas kesehatan, pasar, dan dekat dengan tempat bekerja. “Kalau semua itu sudah tersedia, mereka diberi rumah inti juga sudah cukup, nanti akan mereka kembangkan sendiri,” terangnya.
.
Lebih jauh Jehan menilai, developer (pengembang) tidak akan tertarik pada proyek ini karena yang hendak di bangun hanya unit-unit rumah bukan pengembangan kawasan perumahan. Yang mungkin tertarik hanyalah para kontraktor, karena rumah ini akan di produksi dalam jumlah besar. “Tapi tetap saja ini proyek ini tidak perlu, karena salah sasaran,” tegasnya.
.
Hal yang sama dikatakan Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch yang sudah mewanti-wanti jangan sampai program ini akan sama nasibnya dengan program rusunami yang sudah pernah ada. Program perumahan murah untuk rakyat, namun gagal dalam pelaksanaanya. ”Kita paling bisa buat istilah bagus tapi pelaksanaan nggak bagus,”ujarnya kemarin.
.
Alasannya, kata Ali menambahkan, masih banyak pemda yang belum siap mengenai rencana tata ruang di wilayahnya. Baik di pulau Jawa maupun luar Jawa. ”Semua tergantung pada kesiapan pemda dalam penyediaan lahan dan matangnya tata ruang wilayah masing-masing,” terangnya.
.
Terancam Macet
Menurut dia, program ini bisa berhasil apabila kesiapan pemerintah cukup matang. Dalam hal ini adalah penyiapan lahan, mengingat biaya lahan pada program ini dibebankan pada pemerintah. ”Program ini bisa jalan kalau ada dukungan dari pemda karena tanah menjadi tanggung jawab pemda untuk menyediakannya. Kalau nggak akan sulit,” katanya.
.
Diakui mantan Wakil Ketua Komisi V DPR F-PKB, Marwan Jakfar, program ini terancam macet. Karena itu pemerintah perlu lebih serius menggarapnya. “Deadlock ini masih sangat luar biasa. Makanya pemerintah harus lebih aktif menggenjot lagi. Sebab program ini harus di support oleh semua kalangan,”ujarnya kemarin.
.
Dia menambahkan program rumah murah seharga Rp37 juta/unit ini memang agak sulit direalisasikan di Pulau Jawa, apalagi Jabotabek. “Program rumah murah ini untuk di Jawa mungkin agak sulit. Karena harga tanah yang sudah relatif mahal, mungkin kalau untuk di luar Jawa bisa saja,” tandasnya.
.
Yang jelas, lanjut Marwan, masalah perumahan murah ini memang tak bisa lepaa dari pembiayaan perbankan. Karena itu suku bunga kredit ikut menentukan. “Perbankan juga ikut menentukan, misalnya bagaimana pemberian kredit bagi pengembang dan juga tergantung tinggi atau rendahnya pemberian bunga kredit buat pengembang,”cetusnya.
.
Ditempat terpisah, Developer PT Miftah Putra Mandiri, Miftah Sunandar mengungkapkan kesulitannya memenuhi program pemerintah untuk membangun Rumah Sederhana Sehat (RSH) dengan harga murah. Alasannya, pembebasan tanah di Depok sudah mencapai Rp200 ribu per meter. Paling rendah, kata dia, harga perumahan di Depok berada di kisaran harga Rp80 juta per unit.
.
“Perumahan rakyat dan murah sudah sulit di Depok, karena pembebasan lahan biayanya sangat tinggi, paling rendah harganya Rp80 juta, dengan angsuran Rp680 ribu, itu pun lokasinya jauh dari pusat kota, tapi banyak tukang ojek kontrak rumah Rp600 ribu per bulan, kan lebih baik buat cicilan,” ujarnya.
.
Selain itu, kata Miftah, saat ini Pemerintah Kota Depok memberlakukan peraturan dalam Perda tentang perizinan terkait larangan tipe rumah 21 tanah 60 meter persegi. Sebab hal itu terkendala dengan ketersediaan lahan terbuka hijau. “Kami kesulitan, karena harus membangun paling kecil tipe 30 tanah 72 meter persegi, karena harus menyediakan Ruang Terbuka Hijau, sementara harga pembebasan tanah tinggi, mau enggak mau mengikuti aturan pemerintah tapi lokasinya jauh dari pusat kota Depok,” katanya.
.
Keluhan sama datang juga dari pengembang besar dengan tingginya bunga perbankan, Vice President Director PT Agung Podomoro Land Tbk, Handaka Santosa, yang menilai suku bunga perbankan tetap menjadi keluhan. “Kalau kita bilang sejujurnya saat ini bunga itu yang terendah. Zaman dulu (suku bunga) lebih tinggi,” urainya.
.
Handaka menilai, sekarang bunga bank cukup akomodatif. “Tapi sebetulnya kalau dihitung-hitung antara bunga deposito dan kredit, spread harusnya bisa ditekan lagi. Tapi saya ngga bilang ini tinggi,” tukasnya.
Menurut dia, spread suku bunga yang baik bagi dunia properti adalah lebih rendah daripada yang ada sekarang. “Bunga yang diberikan antara deposito dan kredit itu mestinya spread-nya 3%. Itu menunjukkan efisen atau tidak efisiennya bank dalam mengelola dana,” tuturnya.
.
Saat ini, lanjut Handaka, industri properti kalau mengandalkan pendanaan dari pinjaman dari bank akan sangat berat. “Kalau saya di Podomoro kan ngga begitu. Kita biasanya ada modal dan pinjaman itu hanya untuk bridging finance saja,” ucapnya.
.
(iwan/vanya/faozan/cahyo)
.
http://www.neraca.co.id/2011/07/13/program-rumah-murah-sulit-diwujudkan/
 .

Ralat:
"...Yang mereka punya cuma tenaga". Tepatnya yang saya katakan dalam wawancara telepon, "Mereka lebih memiliki tenaga dan waktu ketimbang uang". Juga saya katakan namun tidak dimuat adalah bahwa rumah instan itu tidak sesuai untuk masyarakat bawah. Siapa bilang mereka butuh instan?  Kalau untuk perumahan tanggap bencana iya, rumah instan itu sesuai.

Rabu, 06 Juli 2011

Pemerintah Diminta Jamin Pasokan Rumah di Perkotaan

BY MUHAMMAD RINALDI

Property

Wednesday, 06 07 2011

JAKARTA (IFT) - Pemerintah diminta memberikan perhatian besar dan menjamin upaya memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di perkotaan, ujar pengamat. Diprediksi jumlah penduduk Indonesia pada 2025 akan mencapai 274 juta jiwa dan 60% diantaranya tinggal di kota.

Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung mengatakan pemenuhan rumah di perkotaan tidak mungkin dilakukan dengan menyediakan rumah horizontal atau tapak. Dengan harga lahan yang semakin langka dan mahal, pengembangan perumahan vertikal dalam skala besar di perkotaan mutlak dilakukan pemerintah guna mengurangi potensi kekumuhan dan gesekan soial maupun keamanan.

“Kebutuhan perumahan di Jakarta saja hampir 75.000 unit per tahun. Kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi kalau tidak ada satu program khusus yang mampu mendorong pasokan rumah vertikal semacam rumah susun di perkotaan,” ujarnya di Jakarta, Selasa.

Dengan tinggal di tengah kota, orang lebih dekat dengan tempat kerja dan kepadatan lalu lintas yang selama ini menjadi persoalan besar terutama di Jakarta dapat diatasi. Jehansyah memperkirakan kemacetan di Jakarta bisa ditekan 20%-30% dengan adanya pemenuhan kebutuhan rumah susun atau apartemen di tengah kota, baik untuk segmen atas maupun menengah bawah.

Suharso Monoarfa, Menteri Perumahan Rakyat mengatakan pembangunan perumahan saat ini menjadi tanggungjawab penuh pemerintah daerah termasuk pemerintah kota. Karena itu, ke depan dia mengingatkan perlunya pemerintah kota mengantisipasi terjadinya ledakan penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan perumahan.

“Makin banyak penduduk yang memilih tinggal di perkotaan, sehingga pasokan rumahnya perlu diantisipasi. Tidak hanya kesiapan tata ruang dan pendanaan untuk membangun infrastruktur, ketersediaan land bank juga harus dipikirkan,” ujarnya.

Pertambahan penduduk yang cepat di perkotaan hampir terjadi di semua negara. Karena itu, upaya membentuk kota-kota baru yang saat ini mulai digagas diharapkan menjadi solusi mengurangi kepadapatan penduduk di kota yang sudah ada, termasuk mengurangi kebutuhan rumah setiap tahunnya. Menurut Suharso, kota dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Apalagi di berbagai kota besar sepertiJjakarta, Surabaya dan Medan yang penduduknya sudah di atas 10 juta jiwa.

Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik diketahui bahwa kekurangan (backlog) rumah di Indonesia mencapai sekitar 13,6 juta. Belum temasuk kebutuhan setiap tahun yang bertambah akibat adanya perkawinan dan rumah rusak. “Sudah saatnya program perumahan menjadi inti pembangunan perkotaan,” tegas Suharso.

Kendala Tata Ruang

The Housing and Urban Development Institute menilai hampir seluruh kota besar di Indonesia termasuk Kota Jakarta memiliki tata ruang yang semrawut. Kesemrawutan itu akhirnya menimbulkan banyak persoalan rumit seperti soal permukiman dan transportasi.

“Kondisi itu bertambah parah justru setelah era reformasi dan otonomi daerah. Setiap daerah berjalan sendiri-sendiri dalam penataan kotanya,” kata Zulfi Syarif Koto, Direktur Eksekutif The HUD Institute.

Hal yang lazim terjadi adalah perubahan peruntukan yang dilakukan pemerintah daerah tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang. "Banyak kawasan permukiman di Jakarta justru diubah fungsinya menjadi pusat bisnis dan hiburan," katanya.(*)


http://www.indonesiafinancetoday.com/read/10630/contact