1. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal
28-H telah mengamanatkan bahwa perumahan dan permukiman adalah hak dasar
manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Prinsip
hak dasar ini sudah pula diakomodasi di dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang HAM maupun Undang-undang No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Oleh karena itu,
untuk menjamin pemenuhan hak dasar tersebut, sudah menjadi kewajiban Pemerintah
sebagai penyelenggara negara untuk menghormati, melindungi dan sekaligus
memenuhinya dengan segera. Selanjutnya, di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU No. 17
Tahun 2007) ditetapkan bahwa sasaran pokok pembangunan perumahan dan permukiman
adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana
pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan
perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien dan akuntabel untuk
mewujudkan kota-kot tanpa permukiman kumuh. Sudah sejak lama pula disadari
bahwa perumahan dan permukiman adalah instrumen strategis untuk menggerakkan
roda ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membangun karakter
bangsa.
Namun perjalanan pembangunan perumahan rakyat dan permukiman di tanah air
dalam sepuluh tahun terakhir ini semakin menunjukkan fakta bahwa kebutuhan
perumahan dan permukiman semakin jauh dari terpenuhi bagi seluruh rakyat secara
layak dan bermartabat. Mesti
kita akui bahwa berbagai program pembangunan perumahan dan permukiman belum berhasil mewujudkan sistem penyediaan
perumahan yang mampu mengejar jumlah kekurangan rumah dan laju luas permukiman kumuh yang semakin bertambah. Data Sensus Tahun 2010 oleh BPS menunjukkan angka
kekurangan rumah sebesar 13,6 juta rumah (housing
backlog). Ini berarti kekurangan rumah terus meningkat dari tahun-tahun
sebelumnya (4,7 juta Tahun 2000 dan 8,2 juta Tahun 2007). Demikian pula dengan
luas permukiman kumuh yang semakin meningkat dari 47.000 Ha tahun 2000 menjadi 54.000 Ha
pada tahun 2004 dan menjadi 59.000 Ha pada tahun 2009 (BPS).
Evaluasi pembangunan bidang PKP berdasarkan hasil Kongres Nasional
Perumahan dan Permukiman (Kongnas PP) pada tahun 2009 telah menghasilkan
deklarasi dari semua pemangku kepentingan di bidang PP/PKP untuk menjamin keadilan dan kesetaraan
pembangunan PKP, memberdayakan masyarakat tidak mampu
melalui peningkatan akses ke sumberdaya kunci PKP (tanah, infrastruktur dan
pembiayaan), dan mengembangkan
sistem kelembagaan dan tata kelola yang baik dalam pembangunan PKP. Namun,
tekad para-pihak yang sejalan dengan amanat perundang-undangan di atas pada
prakteknya belum menampakkan setitikpun harapan. Pembangunan bidang PKP belum
berada di jalur yang benar dan belum menjalani kemajuan yang pesat. Di sinilah letak kompleksitas masalah
perumahan yang perlu selalu diantisipasi melalui evaluasi kebijakan, penyusunan
strategi dan pengembangan sistem penyediaan yang mampu menghasilkan kapasitas
terpasang untuk mendukung
produksi perumahan rakyat yang signifikan dan mengena ke sasaran.
Di dalam rilis tahunan UN-Habitat pada tahun 2003 disebutkan bahwa
berlarut-larutnya permasalahan PKP di negara-negara berkembang lebih
dikarenakan kebijakan dan strategi yang tidak efektif. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kebijakan, strategi, pendekatan dan langkah-langkah pembangunan
perumahan masih kurang tepat namun tetap dijalankan oleh pemerintah selama ini.
Menyikapi situasi dan kondisi PKP di tanah air seperti ini, The HUD Institute diharapkan mampu
melakukan pengamatan dan pengkajian secara objektif dengan berbasis manajemen
pengetahuan yang relevan untuk kemudian mampu memberikan kritik dan masukan
yang konstruktif kepada para pihak pengambil kebijakan, pembuat peraturan, pembuat
rencana dan pelaksana program pembangunan terkait, dengan tetap menjaga
independensi dan objektifitas yang tinggi. Di samping itu, The HUD Institute
memberi perhatian pula dalam upaya-upaya peningkatan kapasitas di semua
kalangan di bidang PKP serta membangun jejaring pengetahuan, jejaring informasi
dan jejaring kerja yang semakin bersinergi demi kemajuan pembangunan di bidang
PKP di tanah air.
2.
Kebijakan dan Program Umum Bidang
Perumahan Rakyat
Sejak Kemenpera dibentuk kembali pada tahun 2005 di masa KIB-I, disepakati
untuk menjalankan misi: 1) Mengurangi backlog rumah, 2) Mengurangi luas kumuh,
3) Meningkatkan keterjangkauan (affordability)
kalangan MBR, 4) Meningkatkan peran Pemda dalam bidang PKP, 5) Meningkatkan
kemitraan Pemerintah-Swasta-Masyarakat, dan 6) Meningkatkan kapasitas fiskal
pemda melalui pengelolaan aset. Namun semua misi ini belum menampakkan hasilnya
karena sejak Kongnas 2009 hingga tahun 2012, permasalahan bidang PKP yang
kompleks masih diselesaikan secara sangat sederhana melalui sistem peraturan
yang saling tidak sinkron dan tumpang tindih, melalui proyek-proyek pengadaan barang
dan jasa tahunan maupun melalui subsidi pembiayaan secara terus menerus. Padahal
sudah diamanatkan untuk segera memulai dibangunnya sistem kelembagaan dan tata
kelola yang berkapasitas tinggi yang menjamin berlangsungnya proses pemupukan
sistem penyediaan (housing delivery
system) dan proses pemberdayaan sehingga terjadi peningkatan akses secara
nyata.
Di dalam situasi absennya peran pemerintah dan ketiadaan sistem ini maka
para pihak termasuk pemerintah daerah lebih banyak
mengambil sikap pasif (pembiaran) sehingga terciptalah iklim yang kondusif bagi berkembangnya praktek makelar-proyek
maupun makelar-perijinan di seputar
sumber-sumberdaya kunci PKP. Keadaan yang tidak bersistem seperti ini akhirnya
hanya menciptakan ekonomi biaya tinggi, anggaran pembangunan yang tidak
menghasilkan keluaran yang efektif setiap tahunnya dan masih menunjukkan adanya
jurang yang dalam antara pemerintah dan berbagai komponen masyarakat termasuk pemerintah
daerah, komunitas permukiman, para profesional, dan pihak pengusaha swasta.
Dengan mengacu pada target-target Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) 2010-2014 Bidang Perumahan Rakyat, beberapa program perlu mendapatkan
evaluasi seperti dipaparkan di bawah ini.
3. Program Perumahan Formal
1. Pembangunan Rumah Susun Sederhana
Sewa (Rusunawa). Program perumahan formal ditandai dengan program
pembangunan menara-menara Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) secara masif
dengan satuan Twin-Block (TB) berisi sekitar 100 unit yang dalam setahun
terakhir dirubah desain dan satuannya. Pada 2010 terbang (un 49 TB dari target
yang sama. Namun pada 2011 dari target 143 TB tidak ada yang terbangun.
Kemudian pada 2012 dengan target 127 TB dan realisasi 126 TB. Dengan skema
multi years ditargetkan pula pembangunan 91 TB yang masih belum direalisasikan.
Pada tahun 2012 total target 218 TB dan dilaporkan realisasi 217 TB.
Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL
SESUAI RPJMN 2010-2014
SATUAN
|
RPJMN
2010-2014
|
2010
|
2011
|
2012
|
REALISASI
s.d. 2012
|
|||||
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
TOTAL
|
%
|
|||
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
Pembangunan rusunawa
TB
|
380
|
49
|
49
|
143
|
0
|
218
|
217
|
266
|
70,00
|
Meskipun tampaknya target 2010-2014 sebanyak 380 TB hampir tercapai, yaitu
hingga 2012 tercapai sebanyak 266 TB (70%) namun pelaksanaan di lapangan menuai
beragam masalah, karena pencapaian target hanya bertumpu pada penyebaran proyek-proyek
konstruksi menara TB secara berserak-serak (scattered)
di seluruh penjuru nusantara. Dalam kenyataannya kualitas rusunawa yang terbangun banyak yang tidak
memenuhi persyaratan minimal. Rumah-rumah susun sederhana
(Rusuna) tidak dilengkapi
prasarana utilitas air dan listrik, fasos dan fasum. Kondisi ini diperburuk
dengan kesulitan pemerintah pusat dalam proses penyerahan aset ke pemerintah
daerah maupun pengguna lainnya. Akhirnya rusuna tidak terawat, berubah menjadi
kumuh karena tidak dihuni. Kondisi ini menjadi
pemandangan nyata di kota-kota besar tanah air dan berubah menjadi monumen yang menunjukkan wajah
keterbelakangan bangsa ini.
Selain itu pembangunan Rusunawa dipandang
mengalami kesulitan menyediakan tanah
yang sesuai dengan peruntukannya. Pemerintah pusat selalu mendesak pemerintah
daerah untuk menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun menara-menara
rusunawa yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah pusat. Pemda-pemda akhirnya
kesulitan mendapatkan anggaran pengelolaan dari APBD karena bangunan rumah
susun dibiayai APBN. Aset nasional juga tidak diperkenankan untuk diserahkan ke
daerah secara masif. Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik. Pola
kerjasama dengan mencampur aset daerah dan nasional tidak bisa dilakukan begitu
saja. Setelah kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah, akhirnya
pengucuran paket-paket rusunawa TB lebih mudah mendapatkan lahan-lahan milik pesantren,
perguruan tinggi, TNI dan POLRI. Padahal seharusnya santri, mahasiswa dan
prajurit bukanlah kelompok prioritas perumahan rakyat, karena sudah ada
anggaran lain di bidang agama, pendidikan dan tentara/kepolisian yang lebih
tepat. Akhirnya program rusunawa tidak memupuk sistem penyediaan perumahan umum
dan semakin menjauhi sasaran keluarga-keluarga Masyarakat Berpendapatan Rendah
(MBR) di perkotaan sehingga semakin jauh dari target pengurangan housing backlog.
2. Program Fasilitasi Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami). Program Rusunami juga mengalami masalah, yaitu adanya anggapan kurangnya
dukungan pemerintah daerah dalam memberi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun
penetapan harga maksimum. Masalah ini muncul sebenarnya akibat Pemerintah
Daerah memandang pengadaan rusunami belum berada di domain publik dan masih dipandang
sebagai perumahan komersial. Akibatnya, berbagai dukungan fasilitasi keringanan
pajak dan dukungan prasarana lebih dipandang memperlicin bisnis properti
daripada mencapai kelompok sasaran kelas menengah bawah. Akhirnya program
rusunami juga menghadapi problem yang sama, yaitu salah sasaran.
Akar masalah dari
ragam masalah itu (rusunawa dan rusunami) adalah absennya sistem perumahan publik
di tanah air, baik di tingkat
nasional maupun di daerah. Pengadaan rumah susun
sederhana sejak tahun 1980-an menurut sejarahnya diadakan oleh Perumnas sebagai
perusahaan publik pembangunan perumahan. Namun karena moda perumahan umum tidak
kunjung dikembangkan, dan keberadaan Perumnas tidak pernah berperan sebagai
sentral dari moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun sederhana hingga
kini tetap diadakan melalui proyek-proyek pengadaan konstruksi tahunan. Karena
itu muncullah berbagai masalah seperti di atas. Untuk itu, pengadaan rumah
susun sederhana perlu dikembalikan kepada tujuannya semula, yaitu berada di
dalam rangka pengembangan moda perumahan umum dan penguatan lembaga operator
baik di tingkat nasional maupun daerah.
3. Fasilitasi Perumahan Komersial. Dari berbagai program
di bidang perumahan formal, bisa dinilai bahwa praktek-praktek perumahan komersial tidak
dikelola secara terpadu dengan sistem penyediaan perumahan secara umum. Eksklusi
penanganan perumahan komersial pada gilirannya berakibat pada beragam konflik di lapangan, yaitu antara
pengusaha, pejabat daerah dan masyarakat. Sebagai contoh adalah
konflik-konflik dalam pembebasan tanah, konflik pengelolaan antar kawasan,
konflik antara penghuni dan pengembang dan pengelolaan, konflik dalam penjualan
kepada konsumen, dan sebagainya. Berbagai konflik ini pada dasarnya adalah
bentuk-bentuk pembiaran pemerintah dalam mengelola industri properti, bisnis
properti dan penerapan hukum-hukum properti. Bagaimanapun, penyediaan perumahan
rakyat tidak bisa dilepaskan dari penanganan urusan perumahan komersial dan
bisnis properti secara utuh.
Untuk itu, ada banyak bentuk pengaturan yang perlu
dikembangkan dalam fasilitasi perumahan komersial sebagai bagian dari industri
properti di tanah air, yaitu seperti mengatur pola kepemilikan apartemen (strata title), integrasi penataan kawasan permukiman skala besar,
pengaturan hunian berimbang, hingga kepemilikan apartemen oleh orang asing.
Dalam hal pengaturan kepemilikan apartemen oleh orang
asing, untuk mendapatkan peluang dan manfaatnya di satu sisi, dan di sisi lain
untuk mencegah terjadinya liberalisasi sumberdaya perumahan, pemerintah perlu segera mempersiapkan perangkat regulasi dan kelembagaan khusus yang mengendalikan sistem penyediaan
properti bagi warga negara asing (WNA) di Indonesia. Pemberian hak pakai (lease hold) properti dengan waktu jangka panjang bisa ditetapkan secara bervariasi selama 25, 35, 50 hingga 70 tahun berdasarkan kondisi-kondisi tertentu yang
ditetapkan. Pengelolaan hak pakai ini memerlukan
pengaturan sistem penyediaan terutama kapasitas lembaganya yang harus dikembangkan di tingkat daerah. Untuk mencegah terjadinya
liberalisasi perlu ada lembaga yang diberi wewenang
besar oleh pemerintah untuk mengelola pembangunan dan pengelolaan perumahan, dimana pengaturan alokasi ruang untuk perumahan
orang asing dan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dikelola sekaligus secara terpadu di tingkat kota
atau daerah.
4. Program Penataan Kali Ciliwung. Salah satu program perumahan formal di tahun
2012 adalah penataan permukiman dan penyediaan perumahan untuk warga di
bantaran Kali Ciliwung, Jakarta. Program ini berisi pembangunan puluhan menara
rumah susun dengan anggaran hingga 600 milyar rupiah. Ternyata proyek ini gagal dilaksanakan namun
sudah terlanjur menghabiskan anggaran negara untuk perencanaannya. Sejumlah kegagalan adalah tidak diperolehnya
persetujuan pemakaian tanah di kawasan Beerland. Semula dikabarkan disetujui
seluas 40 hektar, lalu menciut menjadi 7 hektar, dan hingga kini tidak jelas
persetujuannya. Kegagalan lain juga adalah ketidaksiapan pengorganisasian komunitas,
baik komunitas warga Ciliwung maupun komunitas warga Beerland. Kegagalan berikutnya adalah dalam
menyiapkan lokasi area baru sebagai destinasi permukiman kembali. Semula
dijanjikan di Rawa Bokor, lalu ternyata setelah belum dilakukan penyiapan.
Kemudian nama wilayah Citayam sudah muncul sebagai tempat yang dijanjikan, yang hingga kini kedua
wilayah tersebut tidak jelas sebagai wilayah tujuan relokasi. Akhirnya, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera)
mengusulkan membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di atas Kali
Ciliwung dengan konstruksi 15 meter di atas permukaan sungai. Dalam rencana,
rusunawa itu akan memiliki 22 tower dan diprediksi dapat menampung 34.000 orang
yang sekarang tinggal di bantaran Kali Ciliwung. Rencana membangun rumah susun
di atas kali Ciliwung ini akhirnya tidak disetujui oleh Kementerian Pekerjaan Umum di dalam rapat koordinasi
(Rakor) di Kemenko Kesra. Pembangunan rumah susun di atas kali Ciliwung dinilai bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.38 yang mengatakan tidak boleh ada bangunan
selain jembatan yang berdiri diatas sungai.
Pada gilirannya, kegagalan proyek rusunawa Ciliwung
mengacaukan koordinasi program pembangunan yang ada dan lebih memprihatinkan lagi, telah
mengganggu kondisi psikologis puluhan ribu penduduk warga Kali Ciliwung ataupun
warga Beerland akibat terkatung-katungnya masa depan tempat tinggal mereka. Hal ini terjadi karena penanganan
permukiman kumuh yang dilakukan tanpa mekanisme dan sistem penyediaan yang
tepat, terutama mekanisme pengadaan tanah dan mekanisme pendampingan
masyarakat.
Kasus kali Ciliwung menegaskan kembali bahwa proses penetapan kegiatan yang
memanfaatkan dana APBN sering tidak mengikuti kaidah penyusunan kebijakan
publik. Terlihat bahwa rencana penanganan kali Ciliwung tidak didasarkan oleh
suatu kajian sosial, teknik, lingkungan
bahkan tidak dilengkapi oleh dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL), termasuk Resettlement Policy Framework (RPF) maupun Land Acquisition and Resettlement Action
Plan (LARAP) yang menjadi pedoman
dalam melakukan pemukiman kembali. Apalagi
kemudian sangat minim keterlibatan pemangku kepentingan, yang setidaknya dapat dilakukan
melalui diskusi publik agar suara masyarakat dapat terwadahi.
4. Program
Pengembangan Kawasan Permukiman
Program pengembangan kawasan permukiman ditandai oleh kinerja penyediaan
Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU). Terdapat 2 (dua) kegiatan utama, yaitu: 1) Fasilitasi
pembangunan PSU kawasan perumahan dan
permukiman dengan satuan unit rumah, dan 2) Fasilitasi dan Stimulasi Penataan
Lingkungan Permukiman Kumuh dengan satuan luasan hektar.
Berdasarkan target RPJMN 2010-2014, ditargetkan penyediaan PSU untuk
700.000 unit rumah di seluruh tanah air. Pada tahun 2010 dari target 10.374
direalisasikan sebanyak 12.470. Pada tahun 2011, dari target PSU untuk 117.000
unit rumah sederhana, tercapai 97.973 unit. Sedangkan pada tahun 2012 dari
target 126.367 unit, tercapai 87.604 unit. Sampai tahun 2012 telah terbangun
PSU sebanyak 198.047 unit yang berarti 28,29 % dari target 700.000 unit.
Terlepas dari mekanisme penyediaan yang masih perlu dikritisi, kinerja PSU
hingga 2012 masih jauh dari target sehingga sangat membebani upaya pemenuhan 71,7%
sisa target pada dua tahun tersisa.
Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL
SESUAI RPJMN 2010-2014
SATUAN
|
RPJMN
2010-2014
|
2010
|
2011
|
2012
|
REALISASI
s.d. 2012
|
|||||
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
TOTAL
|
%
|
|||
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
Fasilitasi pembangunan PSU
kawasan perumahan dan permukiman
Unit
|
700.000
|
10.374
|
12.470
|
117.010
|
97.973
|
126.367
|
87.604
|
198.047
|
28,29
|
Fasilitasi dan Stimulasi Penataan
Lingkungan Permukiman Kumuh
Hektar
|
655
|
50
|
30
|
100
|
115
|
150
|
228
|
373
|
56,95
|
Sedangkan penyediaan PSU untuk menangani permukiman kumuh, berdasarkan
target RPJMN 2010-2014, ditargetkan penyediaan PSU untuk 655 hektar kumuh di
seluruh tanah air. Pada tahun 2010 dari target 50 ha direalisasikan sebanyak 30
ha. Pada tahun 2011, dari target 100 ha justru melebih dengan tercapainya
realisasi 115 ha. Sedangkan pada tahun 2012 ada fenomena yang menarik karena
terjadi lompatan target dan lompatan capaian sekaligus! Dari target 150 ha,
tercapai 228 ha pada 2012. Sehingga total hingga 2012 tercapai angka 373 ha
yang berarti 56,95 % dari target 655 ha. Namun dengan pencapaian yang hanya
sekitar 125 hektar per tahun, sementara pada tahun 2025 telah dicanangkan Kota
Tanpa Permukiman Kumuh, menjadi suatu pertanyaan bagi kita semua bagaimana
skema pemerintah menyelesaikan luasan kawasan kumuh yang telah mencapai hampir
60 ribu hektar dan pertambahan luasannya mencapai 1.000 hektar per tahun?
Meskipun dari target kuantitatif di atas tampak sudah cukup memenuhi, namun
dalam implementasinya ditemukan berbagai fakta yang mengindikasikan tidak
efektifnya pelaksanaan program PSU bagi pengurangan housing backlog maupun pengurangan kumuh. Sebagai contoh adalah
tidak adanya keterpaduan dan sinergi perencanaan dan pelaksanaan di lapangan
(lokasi pembangunan perumahan). Padahal alokasi program FLPP dan PSU keduanya
sama-sama memiliki satuan unit rumah sederhana. Hal ini karena keduanya masih
dijalankan melalui mekanisme proyek pengadaan barang tahunan dan subsidi oleh
Kemenpera yang dijalankan oleh kedeputian masing-masing secara terpisah-pisah. Lebih
mengkhawatirkan adalah rencana untuk tahun 2013 dimana dari target 121.000 FLPP
hanya dibarengi dengan alokasi 25.000 PSU.
5. Program
Pembiayaan Perumahan
Program pembiayaan perumahan rakyat hanya bertumpu pada perguliran FLPP
(Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang juga masih jauh dari target
pengucuran.
Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL
SESUAI RPJMN 2010-2014
SATUAN
|
RPJMN
2010-2014
|
2010
|
2011
|
2012
|
REALISASI
s.d. 2012
|
|||||
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
TOTAL
|
%
|
|||
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
Bantuan Subsidi Perumahan/FLPP
Unit
|
1.350.000
|
92.431
|
92.431
|
114.201
|
109.592
|
133.000
|
73.923
|
275.946
|
20,44
|
Dari target pengucuran untuk membiayai kredit sebanyak 1.350.000 unit RSH
pada 2010-2014 baru terkucurkan sebanyak 275.946 unit hingga tahun 2012.
Pengucuran FLPP tahun 2012 adalah yang terendah, yaitu hanya 73.923 unit, dibanding tahun 2010 (92.431 unit) dan 2011 (109.592 unit). Pencapaian yang rendah
ini terutama disebabkan oleh inkonsistensi kebijakan Kemenpera yang beberapa
kali telah melakukan kebijakan buka-tutup dan perubahan-perubahan skema FLPP.
Sebagai akibatnya, banyak pengembang perumahan sederhana dan calon pembeli yang
menghadapi kesulitan di lapangan.
Program-program
pembiayaan perumahan lainnya masih belum dikembangkan sama sekali, yaitu untuk
pembiayaan perumahan umum, pembiayaan perumahan swadaya dan pembiayaan
perumahan sosial. Untuk mewadahinya dibutuhkan Undang-Undang
Tabungan Perumahan (UU Taperum) yang
sudah diamanatkan sejak Kongres Nasional tahun 1972 untuk memupuk dana
perumahan, namun belum kunjung dirampungkan oleh Kemenpera. Taperum adalah salah satu
solusi pembiayaan perumahan yang sifatnya jangka panjang dan murah yang kelak akan digabungkan dengan sumber
pembiayaan FLPP. Penyaluran FLPP selama ini menuai banyak permasalahan administrasi
keuangan dan pembiayaan dikarenakan masih bercampur dengan bisnis bank umum dan
belum memiliki wadah dan sistem pengumpulan dana dan pembiayaan perumahan yang
tepat. Besarnya dana FLPP bukan dikarenakan pemupukan dana yang sistematis,
melainkan karena penyaluran yang tersendat namun subsidi APBN terus dikucurkan.
Taperum nantinya perlu diberi kewenangan untuk mengkoordinasi tabungan dan
dana jangka panjang dari berbagai sumber, mengeluarkan skema-skema pola tabungan perumahan, memberikan
pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan rumah, sekaligus mengelola dana
jangka panjang yang berasal dari lembaga lainnya. Selain mendukung
pembiayaan perumahan milik bersubsidi, Taperum nantinya berpotensi untuk
membiayai perumahan swadaya secara berkelompok. Taperum juga berfungsi untuk menertibkan pembelian rumah bersubsidi, dimana masyarakat
pada saat mulai mencicil rumah diharapkan sudah menempati rumah tersebut.
Program pembiayaan perumahan Kemenpera juga belum menyentuh skema
pembiayaan perumahan umum, baik untuk pembiayaan pembangunan skala besar maupun
untuk pembiayaan perumahan umum sewa. Pembiayaan perumahan umum bersifat
pembiayaan lembaga / korporasi, bukan pembiayaan perorangan, yang memiliki konsep
dan mekanisme tersendiri sebagai pembiayaan pembangunan (sovereign finance).
6. Program
Perumahan Swadaya
Program bedah
rumah di bidang perumahan swadaya dilakukan secara sangat masif. Dari target
untuk membiayai pembangunan baru swadaya
50.000 unit untuk tahun 2010-2014, telah tersalurkan total 32.512 unit hingga 2012 (65%). Pada tahun
2010 tersalurkan sebanyak 2000 unit, pada tahun 2011 sebanyak 12.353 unit, dan
pada tahun 2012 sebanyak 18.159 unit.
Dari target untuk
membiayai perbaikan perumahan swadaya
sebanyak 50.000 unit untuk 5 (lima) tahun dari 2010-2014, ternyata pada tahun
2012 telah terjadi lonjakan pelaksanaan yang luar biasa yaitu mencapai total 285.738
unit (571% !). Pada tahun 2010
tersalurkan sebanyak 20.000 unit, pada tahun 2011 sebanyak 35.738
unit, dan pada tahun 2012 melonjak luar biasa sebanyak 230.000 unit.
Sedangkan dari
target untuk membiayai prasarana (PSU)
perumahan swadaya sebanyak 50.000 unit untuk tahun 2010-2014, tiba-tiba
telah mencapai total 48.988 unit hingga 2012 (98%). Pada tahun 2010 tersalurkan sebanyak 13.350 unit, pada tahun 2011
sebanyak 35.638 unit, namun pada tahun 2012 tidak ada realisasi sama sekali, yang
kemungkinan dikarenakan sudah dianggap memenuhi target hampir 100%.
Tabel CAPAIAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN NASIONAL
SESUAI RPJMN 2010-2014
SATUAN
|
RPJMN
2010-2014
|
2010
|
2011
|
2012
|
REALISASI
s.d. 2012
|
|||||
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
DIPA
|
REALISASI
|
TOTAL
|
%
|
|||
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
(Unit)
|
Fasilitasi dan stimulasi
pembangunan perumahan swadaya
Unit
|
50.000
|
2.000
|
2.000
|
15.000
|
12.353
|
20.000
|
18.159
|
32.512
|
65,02
|
Fasilitasi dan stimulasi peningkatan kualitas perumahan
swadaya
Unit
|
50.000
|
10.000
|
20.000
|
37.500
|
35.738
|
230.000
|
230.000
|
285.738
|
571,48
|
Fasilitasi pembangunan PSU
perumahan swadaya
Unit
|
50.000
|
10.000
|
13.350
|
37.500
|
35.638
|
-
|
-
|
48.988
|
97,98
|
Fasilitasi pra-sertifikasi dan
pendampingan pasca-sertifikasi
Bidang
|
30.000
|
-
|
-
|
7.500
|
5.891
|
7.500
|
5.891
|
19,64
|
Dari kinerja yang
cukup aneh di atas, ada beberapa catatan dari program “bedah rumah” di bidang
perumahan swadaya ini. Pertama, ada kecenderungan pengukuran kinerja
penyaluran yang bukan diukur setelah bantuan diterima masyarakat dan selesai
dilaksanakan pekerjaan pembangunan atau perbaikan, melainkan diukur setelah
dana tersalurkan ke rekening penerima manfaat. Bahkan tampaknya telah diukur
hanya setelah dana tersalurkan ke rekening pemerintah daerah karena selalu
adanya keterlambatan penyaluran. Pengukuran kinerja penyaluran seperti ini
sungguh tidak dapat dipertanggung-jawabkan!
Kedua, pada dasarnya kegiatan “bedah rumah” merupakan stimulasi teknis perumahan
swadaya individual dan bukan kegiatan “belas kasihan” (charity) yang lebih bersifat bantuan sosial (bansos). Secara
teknis, skema stimulasi perumahan swadaya membutuhkan pendampingan dan
pemberdayaan. Jika skema ini dijalankan secara konsekwen maka mustahil terjadi
lonjakan pencapaian kinerja hingga lebih 500 % karena membutuhkan pendampingan
dan pemberdayaan masyarakat secara masif. Namun ternyata skema yang digunakan
adalah skema bansos sehingga besaran program bisa mencapai angka-angka yang
sangat fantastis! Untuk itu program perumahan swadaya ini sangat perlu mendapatkan
inspeksi dan audit secara serius dari berbagai lembaga pengawas terkait.
Secara konseptual, ada perbedaan yang mendasar dari perumahan swadaya dan
bantuan sosial, yaitu basis data, mekanisme penjaringan, mekanisme penyaluran
dan sistem kelembagaan keduanya yang berbeda karena tujuannya yang memang
berbeda. Perumahan swadaya (individual) pada dasarnya merupakan program
stimulan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hunian dari rumah-rumah yang
tidak layak huni. Namun ketika bantuan stimulan untuk perumahan swadaya
individual diberikan secara hibah, maka mekanisme ini sudah tergolong sebagai
Perumahan Sosial melalui program Bantuan
Sosial (Bansos), yang memerlukan suatu landasan justifikasi yang kuat dari
si penerima manfaat dari sisi masalah sosial (bukan masalah rumah). Perumahan
sosial yang dijalankan melalui mekanisme bansos sudah tergolong urusan di
bidang sosial, dan bukan tergolong urusan teknis perumahan rakyat. Meskipun
demikian ada beberapa skema perumahan sosial di bidang teknis perumahan rakyat
yang tetap perlu dikembangkan seperti rumah sewa sangat murah (mirip night shelter di Inggris) maupun pondok
boro, dan sebagainya, yang kesemuanya ini bukan tergolong skema bansos dalam
arti jaring pengaman sosial.
Lebih jauh, pasal 21 Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP
no. 1 Tahun 2012) menyebutkan bahwa rumah swadaya
diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Secara prinsip, perumahan swadaya adalah salah
satu instrumen penting dalam pemberdayaan masyarakat. Jika pendekatan individual (individual self-help housing) lebih diarahkan pada perbaikan
rumah-rumah yang tidak layak huni, maka pendekatan berkelompok (community based
self-help housing) pada dasarnya lebih diarahkan pada upaya-upaya
penyediaan perumahan baru yang menggunakan pendekatan bertumpu pada kelompok.
Permasalahannya, program-program perumahan swadaya sama sekali belum
menyentuh Perumahan Swadaya Berbasis
Kelompok yang lebih menyasar keberdayaan kelompok atau komunitas. Pendekatan ini mendudukkan masyarakat sebagai subyek pembangunan di
bidang perumahan bukan sebagai obyek atau sekedar konsumen. Untuk memenuhi kebutuhan
perumahan sesuai dengan kemampuan dan upaya masyarakat, pendekatan berbasis
kelompok sudah terbukti memberikan
berbagai keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih kepada masyarakat
dan sekitarnya.
Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok mensyaratkan adanya basis data berbasis
wilayah yang akurat mengenai kelompok-kelompok masyarakat yang paling mengalami
masalah dalam hal perumahan dan permukimannya, seperti permukiman kumuh maupun squatter di kota-kota metropolitan. Maupun
kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi dikembangkan melalui pengadaan
perumahannya secara berkelompok seperti komunitas-komunitas berbasis tempat
kerja (work-based housing), yaitu
mereka dari kalangan pegawai menengah-bawah, pekerja kelas bawah perkotaan, maupun
para pekerja pabrik. Perumahan Swadaya Berbasis Kelompok menciptakan iklim pembangunan yang kondusif melalui fasilitasi perolehan
tanah, perijinan dan penyediaan biaya dan prasarana.
7. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di
atas kami menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Selain masalah akses ke sumberdaya tanah, infrastruktur dan pembiayaan, masalah yang
sebenarnya lebih mendasar lagi adalah bagaimana mengatasi kendala kapasitas
pemahaman (cognitive constraint) yang
berbeda-beda di kalangan pengambil kebijakan. Perbedaan pandangan dalam soal
pencapaian kinerja tidak akan habis-habisnya jika tidak tidak ada pengenalan
masalah secara komprehensif. Angka housing
backlog yang selalu meningkat perlu dipahami sebagai akibat proses
urbanisasi yang cepat setidaknya di 10 kota metropolitan di Indonesia. Namun
dengan pemahaman bersama yang baik housing
backlog bukan mustahil diatasi melalui kebijakan dan strategi yang tepat.
2.
Krisis
perumahan dan permukiman ditunjukkan oleh lemahnya keberdayaan masyarakat,
rendahnya kapasitas pemerintah dan kebingungan pelaku swasta dalam
berinvestasi. Ini adalah indikasi ketiadaan sistem yang utuh sehingga diperlukan sebuah Reformasi Tata
Kelola Kepemerintahan dan Kepemimpinan Yang
Baik (Good Governance and Leadership) dalam
bidang Housing and Urban Development.
3. Peran pemerintah sebagai regulator di dalam koordinasi
kebijakan maupun sebagai operator di dalam sinkronisasi pelaksanaan kebijakan PKP belum kunjung berjalan secara efektif. Kontinuitas suplai perumahan formal berbanding pengadaan swadaya masyarakat sebesar 15% : 85% bukan semata menunjukkan pentingnya intervensi pada moda
perumahan swadaya. Keadaan ini sebenarnya adalah indikasi dari belum terbangunnya multi-sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) secara terpadu. Berbagai kegagalan
kebijakan dan strategi pemenuhan perumahan adalah indikasi dari belum adanya multi-sistem penyediaan perumahan yang mampu menggenjot angka produksi
rumah asecara signifikan dan efektif mencapai kelompok sasaran.
4.
Untuk menyediakan
perumahan umum secara masif dalam rangka pengurangan backlog, diperlukan
penguatan lembaga pelaksana, baik di tingkat nasional maupun daerah yang diberi
fungsi dan peran mulai dari pengadaan lahan, perencanaan, hingga pengelolaan aset publik. Baik
fungsi dan peran yang lengkap di tingkat
nasional maupun daerah. Lembaga pelaksana perumahan
umum di pusat maupun daerah masing-masing memiliki misi yang sama, yaitu
merumahkan rakyat dan mengembangkan kawasan permukiman dan perkotaan untuk
menjadi aset publik yang berkualitas.
5. Meskipun pemerintah melalui UU.32/2004 dan PP 38/2007 telah
mendesentralisasikan urusan perumahan, namun urusan perumahan rakyat masih jauh dari
selesai karena belum adanya kebijakan
dan strategi yang efektif. Sistem penyediaan yang terbangun lengkap dengan
mekanisme-mekanisme dan kapasitas organisasi dan sumberdaya manusia, masih jauh
dari tersedia di daerah..
8. Rekomendasi
Sebagai rekomendasi dari HUD Institute, ada beberapa usulan langkah-langkah
yang perlu segera dilakukan pemerintah, yaitu sebagai berikut.
Sebagai kesimpulan akhir, melalui kerja keras dan upaya yang
sungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan
perumahan rakyat yang terus semakin meningkat, dan untuk menjalankan
langkah-langkah aksi yang diperlukan,
niscaya target untuk mencapai rumah layak untuk setiap
orang serta menjadikan kota-kota yang
berkelanjutan bebas kumuh bukanlah sesuatu yang mustahil
dapat diwujudkan. Faktor politik di tingkat elit, faktor pengelolaan
pengetahuan kelas menengah perkotaan maupun kesadaran di tingkat rakyat kecil,
akan menentukan sukses atau gagalnya program perumahan
rakyat dan pengembangan permukiman. Memperhatikan
perkembangan yang memprihatinkan ini, kiranya Bapak Presiden dan Bapak Wakil
Presiden perlu mengambil langkah-langkah perbaikan. Momentum Pilpres 2014 perlu
menjadikan isu-isu perumahan rakyat dan permukiman sebagai salah satu agenda
kampanye Presiden. Presiden atau Wakil Presiden yang memiliki pemahaman dan
keinginan politik yang kuat juga menjadi prasyarat awalnya, yang dibarengi
kemauan pemerintah-pemerintah daerah yang semakin meningkatkan peran dan
kapasitasnya di bidang perkim. Tanpa dilandasi pemahaman dan tujuan membangun
sistem, maka target merumahkan seluruh rakyat secara layak dan hilangnya
permukiman kumuh semakin jauh dari harapan bangsa ini.
1. Reformasi Tata Kelola dan
Pembagian Peran
Krisis perumahan dan permukiman yang ditunjukkan
oleh lemahnya keberdayaan masyarakat, rendahnya kapasitas pemerintah dan
kebingungan pelaku swasta dalam berinvestasi, adalah indikasi ketiadaan sistem
penyediaan perumahan yang utuh. Untuk
itu, tidak bisa tidak, diperlukan sebuah Reformasi Tata Kelola Kepemerintahan dan Kepemimpinan Yang Baik (Good Governance and
Leadership), menuju sebuah tatanan yang bisa disebut sebagai Government
Driven Housing and Urban Development atau Public Sector Led Housing and Urban Development.
Untuk memulainnya, pertama-tama diperlukan REFORMASI PERAN, dimana Pemerintah kembali didudukkan sebagai promotor pembangunan. Peran pihak Swasta yang selama ini dibiarkan bertarung satu sama lain secara tidak sehat mestilah ditata kembali menuju tatanan perannya menjadi investor yang efektif dan sebagai generator pengembangan kawasan.
Sedangkan peran masyarakat yang selama ini
dibiarkan tetap tak berdaya, mestilah terus diberdayakan secara terorganisir
dan ditempatkan sebagai
aktor penting pembangunan.
Konsekwensi selanjutnya adalah dibutuhkannya peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM dari
unit-unit pemerintah untuk secara profesional mengelola pelayanan publik di bidang perumahan dan permukiman, untuk memimpin dan
memberdayakan para pelaku lain.
2. Mengembangkan Multi-Sistem Penyediaan
Perumahan
Perlunya
kehadiran multi-sistem
penyediaan perumahan sudah diprediksi oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta pada
Kongres Perumahan Rakyat di bulan Agustus 1950, yaitu bahwa cita-cita
penyediaan perumahan rakyat barulah dapat dicapai dalam kurun waktu setengah
abad. Pesan
Bung Hatta ini bukan bermakna asal terbangun konstruksi beratus-ratus ribu rumah semata, melainkan
bermakna bahwa
itulah kurun waktu yang diperlukan untuk membangun sistem penyediaan yang
mantap dan responsif. Kunci bagi kebijakan dan strategi yang efektif ini adalah keberadaan modal kelembagaan (institutional capital) yang jauh lebih penting ketimbang
modal biaya (financial
capital). Tujuannya agar utilisasi sumber-sumberdaya kunci PKP (tanah, infrastruktur dan pembiayaan) dapat dikelola secara efisien dan
efektif, baik untuk kebutuhan umum, sosial, komersial maupun swadaya.
Adanya multi-sistem penyediaan ini menjadi pembeda
dengan praktek masa lalu yang tidak memiliki sistem yang bersifat long-term and dedicated system. Praktek
konvensional yang hanya terdiri dari proyek-proyek konstruksi menara rumah
susun maupun proyek-proyek peremajaan kumuh di satu sisi, dan proyek-proyek
pembangunan perumahan komersial berbiaya tinggi di sisi lain, tidak akan mampu
menjawab tantangan pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat maupun penataan kota
secara berkeadilan dan berkelanjutan.
UU No.1 Tahun 2011 sebenarnya sudah menggariskan bahwa perumahan
rakyat tidak hanya bertumpu pada subsidi karitatif dari APBN maupun praktek rumah komersial semata. Pasal 21 UU PKP 1/2011 mengamanatkan untuk
memberi perhatian sekaligus pada rumah umum, rumah swadaya, rumah komersial, rumah khusus/sosial dan rumah negara. Penafsirannya bukanlah
menciptakan proyek-proyek konstruksi rumah-rumah dengan aneka nama tersebut. Landasan undang-undang inilah yang
perlu segera direspon dengan mengembangkan multi-sistem penyediaan perumahan yang terpadu, yang meliputi
sistem penyediaan perumahan umum, sistem penyediaan perumahan sosial/khusus,
sistem penyediaan perumahan komersial dan sistem penyediaan perumahan swadaya.
Sedangkan pengelolaan rumah negara sudah ditangani secara khusus bersama
gedung-gedung negara lainnya di bawah bidang pekerjaan umum.
Untuk itu dibutuhkan suatu grand design atau cetak biru pembangunan PKP di Indonesia yang
disepakati semua pemangku kepentingan sehingga menjadi acuan yang tidak
berubah-ubah, yang diiringi pembenahan regulasi dalam jangka dekat perlu segera
disiapkan.
3. Pengembangan Sistem Perumahan Umum
Di dalam sistem penyediaan perumahan umum beberapa langkah perlu menjadi
perhatian. Pertama-tama, diperlukan lembaga
otoritas perumahan umum di pusat maupun daerah dengan kinerja tidak seperti organisasi
proyek yang asal proses konstruksi rumah susun telah selesai maka langsung
dihitung sebagai kinerja. Kerjasama dapat dilakukan melalui penataan zonasi di lapangan
tanpa perlu mencampur aduk aset nasional dan daerah. Semakin berjaya otoritas
perumahan umum, baik di tingkat nasional dan daerah, akan mewujud menjadi aset
nasional dan daerah yang menjamin keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman
dan perkotaan. Dengan penguatan kelembagaan, maka sistem perumahan umum akan
meredam praktek spekulasi tanah dan properti, dan melimpahkan hasil apresiasi
nilai kawasan menjadi aset publik untuk kepentingan publik, disamping secara
efektif mengembangkan investasi properti swasta. Sedangkan bisnis properti
dapat dijalankan secara berdampingan dan saling mengisi di dalam suatu kawasan
pengembangan yang terencana dan terkendali dengan baik.
Kedua, di dalam mekanisme perumahan umum, Perumnas atau badan yang
ditunjuk harus diberi tugas untuk memenuhi kebutuhan perumahan seluruh rakyat,
mengurangi housing backlog dan
pengembangan kawasan permukiman dan perkotaan. Perumnas (ataupun badan lain) harus diberi peran sebagai operator
yang memiliki otorita berdedikasi (dedicated
authority). Berbagai sumberdaya kunci masih dikelola secara terpisah-pisah
baik di tingkat nasional maupun daerah. Untuk itu diperlukan pemahaman yang
utuh untuk membangun suatu sistem penyediaan PKP yang menempatkan Perumnas
maupun pelaku swasta dan masyarakat secara sinergis.
Ketiga, di dalam mekanisme perumahan umum, pembangunan
rusuna/rusunawa tidak akan menghadapi beragam masalah karena tidak dilaksanakan melalui sistem proyek-proyek konstruksi tahunan. Rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik dikembangkan
dengan pendekatan value engineering sehingga akan mampu mengakumulasi aset kawasan, tanah dan bangunan yang mengalami
apresiasi, dan menjamin keberlanjutan pembiayaan tanpa membebani fiskal negara
setiap tahun. Sedangkan dalam
penyediaan tanah, pembangunan rusuna/wa
dibangun pada kawasan skala besar yang berasal dari tanah-tanah terlantar
maupun alih fungsi dari tanah-tanah milik negara. Dalam hal perijinan siteplan
maupun IMB tidak akan bermasalah karena menjadi program resmi, baik oleh
pemerintah pusat di lahan milik instansi pusat, maupun oleh pemerintah daerah
di lahan milik daerah, yang sekaligus menghindari masalah transfer aset APBN menjadi
aset daerah. Selanjutnya, salah satu divisi penting dari
moda perumahan umum adalah divisi perencanaan penghuni (tenant screening division/team) yang memiliki instrumen seleksi
yang mantap, sehingga pembangunan rusuna/wa tidak akan menghadapi kesalahan
sasarannya karena sudah direncanakan sejak awal. Terakhir, pembangunan
rusuna/wa di dalam moda perumahan umum harus membentuk manajemen yang kapabel,
baik dalam membina penghuni untuk tinggal di rumah bersusun maupun menjamin
tidak menurunnya kualitas aset karena bertumpu pada building and estate management yang profesional.
4. Memperkuat Sistem Kelembagaan
Sistem kelembagaan yang mantap menjadi tulang
punggung multi-sistem penyediaan perumahan, yang dibangun melalui sebuah proses
yang panjang sebagaimana dilakukan di negara-negara yang sudah maju urusan
perumahan rakyatnya. Beberapa kelembagaan yang perlu segera disiapkan peran dan
kapasitasnya adalah sebagai berikut:
1.
Badan Pelaksana Rumah Susun (berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011
tentang Rumah Susun) adalah sebuah Badan yang berwenang dan bertanggung-jawab
dalam penyediaan rumah-rumah susun berdasarkan mekanisme perumahan umum, baik
dukungan subsidi pengadaan aset publik secara terintegrasi maupun dukungan
biaya pengelolaannya, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembelanjaan modal
negara sebagai aset publik.
2.
Perumnas dan Perumda. Untuk mengatasi
kesenjangan kekurangan tempat tinggal (backlog) 13,6 juta unit, pemerintah perlu
mengoptimalkan peran Perumnas, karena berdasarkan UU No 1/2011 tentang PKP
pemerintah mengemban tugas untuk membangun rumah umum. Untuk itu perlu
dilakukan evaluasi stratejik terhadap skema pembiayaan yang dijalankan selama
ini, seperti PSO untuk subsidi harga rumah maupun PMN, dalam rangka
pengembangan sistem penyediaan perumahan umum yang baik. Dengan demikian diharapkan
Perumnas bisa mengatasi berbagai kendala seperti pembiayaan, perijinan biaya
tinggi, keterpaduan prasarana dan kelengkapan fasilitas. Melalui pendekatan government driven housing and urban development di dalam sistem ini, melalui Perumnas
dan Perumda yang direvitalisasi menjadi Housing
and Urban Development Corporation (HUDC), pemerintah harus mampu
mengembangkan permukiman berskala besar, sehingga berbagai kalangan swasta
maupun masyarakat semakin memiliki harapan dan kepastian untuk berpartisipasi secara
sinergis di dalam pembangunan perumahan dan perkotaan.
3.
Baledaya Perumahan dan Perkotaan (Housing
and Urban Resource Center) berwenang dan bertanggung-jawab dalam penyediaan
perumahan swadaya dalam perannya sebagai simpul dari sistem penyediaan
perumahan swadaya. Baledaya Perumahan dan Perkotaan
memfasilitasi dialog perumahan dan perkotaan melalui kegiatan forum yang
dinamai Forum Perumahan dan Perkotaan.
4.
Lembaga Dana Perumahan Rakyat yang beroperasional langsung untuk menghimpun dana-dana dari masyarakat.
Pasal 118 UUPKP 1/2011 menyebutkan bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan sistem pembiayaan perumahan rakyat untuk
memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan
untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian
perkotaan dan perdesaan.
5. Membangun Sistem Melalui
Pemanfaatan Peluang Desentralisasi
Pemerintah nasional belum
memiliki kebijakan dan strategi yang efektif dalam mendesentralisasikan urusan perumahan. Mekanisme penyediaan yang seperti apa, sistem
kelembagaan yang bagaimana, dan sebagainya, masih belum jelas untuk bisa
dijadikan model bagi pemerintah daerah. Melalui UU Nomor 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38/2007 memang telah mendesentralisasikan urusan perumahan. Namun
bagaimana proses itu mesti dijalani? Yang jelas, salah satu pertimbangan penting mengenai desentralisasi dalam
urusan perumahan ialah adanya keragaman budaya dan lokalitas terkait perumahan,
selain tentunya semua sumberdaya perumahan (tanah, infrastruktur dan pembiayaan
serta warga penghuni) semuanya ada di daerah.
Membina
Sistem Perencanaan PKP di Daerah. Salah satu peran pokok yang diemban pemerintah nasional adalah membina
pemerintah daerah dalam bidang PKP. Kelemahan pemerintah daerah dalam bidang
PKP ditandai oleh ketiadaan sistem Rencana Pembangunan Perumahan dan
Permukiman, baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, meliputi: Sistem
Penilaian Kondisi Perumahan (housing need
assessment system), Sistem standar kelayakan dan perhitungan keterjangkauan
warga masyarakat, Sistem penilaian pasar properti perumahan, Sistem
pengembangan kelembagaan dan kapasitas, Sistem pengembangan kerangka peraturan
dan pembiayaan.
Upaya untuk membina pemerintah daerah telah dilakukan
oleh Kemenpera melalui kegiatan Dekonsentrasi Lingkup Kemenpera sejak tahun
2010 sampai tahun 2011, namun kemudian dihentikan pada tahun 2012. Seyogyanya
kegiatan ini dapat terus dikembangkan sebagai salah satu ujung tombak
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam penanganan perumahan rakyat.
6. Integrasi Pembangunan Perumahan dan Perkotaan
(HUD, Housing and
Urban Development)
Penyediaan perumahan dan penanganan permukiman kumuh perkotaan di tanah air selama ini masih
menggunakan pendekatan proyek
konstruksi dan penanganan titik-titik kumuh. Pendekatan
lama ini sudah menunjukkan hasil yang kurang efektif. Sementara di tingkat kota, pola pemanfaatan dan pengendalian ruang-ruang kota masih lemah, pengelolaan pembangunan infrastruktur
kota belum terpadu, dan masih belum terbukanya akses terhadap pemanfaatan tanah untuk perumahan
rakyat, sistem pembiayaan yang masih terlalu berorientasi pada bisnis bank umum, dan
masih belum utuhnya cara pandang terhadap proses urbanisasi, menjadi kendala berat dalam penyediaan perumahan dan penanganan
permukiman kumuh.
Kota-kota yang relatif berhasil
menyediakan perumahan bagi seluruh lapisan warganya dan berhasil menghilangkan permukiman kumuh adalah
bukti pengelolaan urbanisasi dan pembangunan kota yang
berkelanjutan, dan hal ini adalah tujuan
yang sangat realistis. Kota-kota di negara-negara maju kini sudah mencapai tahapan
keseimbangan urbanisasi (urbanization
equilibrium). Menghadapi masalah penyediaan perumahan dan permukiman kumuh perkotaan
tersebut, tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan yang sektoral. Efektifitas
penanganan terpadu skala kota mensyaratkan adanya kebijakan, strategi dan
pendekatan yang mengena, dan adanya keterpaduan penanganan program-program aksi
di tingkat kota. Inilah yang disebut dengan pendekatan pada skala kota atau City-wide Approach. Pengembangan multi-sistem
penyediaan perumahan (multi-housing
delivery system) perlu dilakukan
secara responsif terhadap pendekatan skala kota.
Pendekatan skala kota adalah inti dari integrasi
pembangunan perumahan dan penanganan kumuh dengan pengelolaan kota, serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kota secara
keseluruhan(HUD). Untuk menghadapi
tantangan proses urbanisasi yang berat tersebut, sebagai rekomendasi HUD
Institute mengusulkan agar sektor perumahan rakyat dipadukan dengan bidang
permukiman (cipta karya) dan penataan ruang untuk bersama-sama membentuk
Kementerian Perumahan dan Perkotaan yang memiliki tugas untuk mengatasi
kebutuhan perumahan seluruh rakyat dan menjamin terwujudnya kota-kota yang
berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan lingkungan.
7. Pembelajaran Strategis
Selanjutnya, Indonesia perlu segera belajar dan mengadopsi secara
stratejik moda
perumahan umum di Jepang, Korea Selatan, Hongkong atau Singapura yang sudah dibangun
sejak tahun 1960-an dan berakumulasi pada sistem penyediaan yang mantap. Sebagai lembaga simpul, penyelenggaraannya dipimpin oleh
badan otoritas bernama Urban Renaissance
(UR) di
Jepang, Korean Land and Housing
Corporation (KLHC) di Korea Selatan, Perbadanan Kemajuan
Negeri Selangor (PKNS) di Malaysia, maupun Housing
Development Board (HDB)
dan Urban Redevelopment Authority
(URA) di Singapura. Selanjutnya, badan otorita seperti ini menata
kawasan-kawasan kota dan membangun kawasan-kawasan baru sembari mengembangkan
kapasitas bersama-sama dengan pemerintah daerah, kota maupun distrik.
***