Senin, 27 Desember 2010

Membangun Sistem yang Bertumpu pada Keseimbangan Multi-Moda Penyediaan Perumahan

Dalam konteks Indonesia, keberpihakan negara seharusnya didasari oleh tujuan merumahkan seluruh rakyat secara berkeadilan. Dengan demikian, kelompok-kelompok yang paling tidak berdaya dalam pengadaan perumahannya perlu mendapatkan perhatian lebih, namun tetap dengan memperhatikan sistem multi-moda secara berkeseimbangan.  Di negara yang berideologi Pancasila, seharusnya negara tidak memihak kepada salah satu moda penyediaan perumahan saja, melainkan memihak seluruh moda penyediaan perumahan tersebut secara berkeadilan. Baik di sektor publik, sektor sosial masyarakat, sektor swadaya masyarakat, maupun di sektor swasta (real estat). Mengembangkan keempat moda perumahan secara seimbang berarti memberdayakan pelaku-pelaku dan membangun relasi-relasi antara semua pelaku yang sesuai karakter setiap moda.
1.  Memberdayakan Pasar Perumahan secara Komprehensif
Membangun sistem penyediaan perumahan multi-moda adalah sejalan dengan upaya untuk memberdayakan pasar perumahan secara komprehensif di semua moda penyediaan. Di tingkat global telah diajukan suatu konsep yang dinamai “enabling housing market”. Secara singkat, konsep enabling housing market berarti pasar perumahan yang bersifat memampukan. Terkandung pula makna menguatkan (strengthening) dan memberdayakan (empowering) dalam arti yang luas.
Pemberdayaan pasar perumahan tidak dapat ditafsirkan secara sempit sebagai ekspansi pasar perumahan komersial yang terus didorong-dorong untuk menyediakan perumahan untuk kelompok miskin. Tanpa penguatan moda perumahan publik dan pemberdayaan moda perumahan swadaya, arah ekspansi perumahan komersial hanya menyebabkan penyimpangan dan inefisiensi pemanfaatan sumber-sumberdaya publik seperti perijinan pemanfaatan ruang, perolehan tanah, pendapatan pajak, alokasi infrastruktur, dan fasilitasi pembiayaan.
Pengenalan adanya multi-moda penyediaan perumahan lebih jauh mengarah pada pengenalan pasar perumahan secara lebih komprehensif tanpa berfokus pada pasar komersial saja. Pasar perumahan komprehensif bukan hanya didasarkan pada perilaku dan iklim pasar properti (real estat) yang bersifat komersial, namun juga pasar perumahan swadaya (terutama swadaya informal), maupun pasar perumahan umum dan sosial. Mengapa untuk perumahan umum, swadaya dan sosial disebut juga sebagai pasar perumahan? Karena bagaimanapun ada dinamika kebutuhan dan pasokan (supply and demand) di setiap segmen tersebut yang terus bertumbuh secara alamiah.
Di satu sisi, ada kebutuhan dan permintaan efektif akan rumah-rumah dalam segala tingkatan dan karakter pengadaannya. Kebutuhan efektif beragam moda perumahan inilah yang harus dikenali, untuk kemudian diberdayakan sistem penyediaannya dengan baik. Mengenali kebutuhan perumahan bukan sebatas melalui atribut tingkat pendapatannya seperti selama ini. Sedangkan dari sisi pasokan perumahan, dengan segala bentuk moda pengadaannya, perlu dikembangkan sistem pasokan yang sesuai dengan kebutuhannya. Pengembangan sistem penyediaan yang responsif terhadap ragam karakter kebutuhan inilah yang perlu dikembangkan dalam multi-moda penyediaan perumahan.
2.  Membangun Sistem Penyediaan Perumahan Multi-Moda
Upaya membangun sistem penyediaan perumahan multi-moda pertama-tama perlu dilakukan dengan mengenali adanya karakteristik khas dari moda-moda penyediaan perumahan. Kebijakan yang tidak mengenali adanya segmentasi moda penyediaan perumahan akan menimbulkan kekacauan, terutama dalam memberikan penguatan kelembagaan prioritas, kekacauan dalam penyediaan fasilitasi, subsidi, dan sebagainya.
Kedua, membangun sistem penyediaan perumahan multi-moda yang memberdayakan dan menyasar (addressing) intervensi pada input system (tanah, prasarana dan pembiayaan perumahan).
Ketiga, memperbaiki pula sistem pendukung (administrasi tanah, penataan ruang, perijinan, pengukuran kinerja, penghitungan kebutuhan, dsb).
Keempat, mengelola sama baiknya, sistem pasokan dan sistem kebutuhan sekaligus dalam pasar perumahan komprehensif. Misalnya, memberdayakan calon komunitas penghuni rumah susun secara terpadu dengan proses konstruksi rumah susun, sebagai keterpaduan moda perumahan swadaya dan moda perumahan umum.
Kelima, mengembangkan sistem kelembagaan dan kerangka peraturan yang terpadu dan saling memberdayakan antara keempat moda (komersial, publik, sosial, dan swadaya) tersebut. Kunci pengembangan kelembagaan adalah pembagian peran yang tepat dan sinergis antara pemerintah nasional, pemerintah daerah, badan-badan milik negara dan badan-badan milik daerah, pengembang real estate, kelompok perumahan di masyarakat, lembaga pembiayaan, badan-badan penyedia prasarana dan sarana, dan sebagainya.
Konsep sistem penyediaan perumahan multi-moda yang memberdayakan memerlukan proses sosialisasi yang memadai untuk dipahami secara tepat dan menyeluruh oleh semua pihak yang terkait. Jika tidak, pemahaman yang tidak sama justru akan membentuk kendala pemahaman (cognitive constraint) dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya. Sebagai contoh, memahami pasar perumahan sebagai semata pasar perumahan komersial adalah salah satu contoh kendala pemahaman.
Dengan kerangka umum seperti ini, maka pasar perumahan yang memberdayakan akan menghasilkan praktek pasar perumahan yang berbeda antara suatu negara dengan negara lainnya. Berbeda pula antara suatu daerah (bukan daerah administrasi) dengan daerah lainnya ketika tiba di negara besar seperti Indonesia. Lebih jauh, kiranya pemberdayaan pasar perumahan secara komprehensif ini membutuhkan pengkajian dan pengembangan konsep yang memadai dalam konteks pasar perumahan di Indonesia.

***

Fragmentasi Moda-moda Penyediaan Perumahan di Indonesia

Praktek penyediaan perumahan yang ada sekarang menunjukkan masih terlalu kuatnya peran pemerintah memfasilitasi pasar perumahan komersial atau pasar properti (real estate) dan masih marjinal dan belum terbangunnya moda perumahan umum, perumahan sosial dan moda perumahan swadaya masyarakat. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya fragmentasi (keterpecahan) program dan proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah. Semuanya ini didasari oleh kekacauan perumusan arah kebijakan perumahan oleh pemerintah. Hingga akhirnya mewujud dalam wajah kota-kota di tanah air yang anti-poor, hingga anti-urban, suram dan penuh dengan ketidakadilan. Penjelasan berikut ini menggambarkan contoh-contoh kasus, isu-isu, dan pandangan-pandangan menyangkut urusan perumahan dan permukiman yang menunjukkan situasi keterpecahan moda-moda penyediaan perumahan tersebut. 

1.  Problematika Rumah Susun Sederhana
Rumah-rumah susun sederhana (Rusuna) yang tidak terawat dan berubah menjadi kumuh adalah pemandangan nyata di kota-kota metropolitan tanah air. Rumah-rumah susun sederhana tersebut tidak kunjung mampu dikelola dengan baik, dan banyak pula yang mangkrak atau tidak dihuni. Pada gilirannya, rumah-rumah susun yang sedianya ditujukan sebagai manifestasi masyarakat kebanyakan (kelas menengah perkotaan) di Indonesia, sebagaimana Danchi di kota-kota besar Jepang, Apartments di Inggris dan Flats di Amerika Serikat, akhirnya gagal dan justru berubah menjadi monumen-monumen yang menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan bangsa ini.
Permasalahan pembangunan Rusuna bukan hanya menampilkan wajah kemiskinan bangsa saja. Masyarakat miskin dan tradisional juga sering mendapatkan getahnya sebagai penyebab kekumuhan rumah susun. Mereka sering dipersalahkan karena dipandang tidak tertib, sulit diatur dan tidak memiliki budaya menghuni rumah susun.
Sulitnya menyediakan tanah yang sesuai untuk pembangunan Rusunawa di daerah perkotaan, ditengarai pula sebagai masalah. Pemerintah nasional juga selalu mendesak pemerintah daerah dengan peraturan pembagian urusan pusat dan daerah, bahwa perumahan adalah urusan daerah. Oleh karena itu Pemda harus menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun gedung-gedung rumah susun yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah nasional. Pola kerjasama yang tidak jelas seperti ini akhirnya menyebabkan pemda-pemda sendiri sulit melepas tanah miliknya yang terbatas untuk pembangunan rumah susun. Mengapa? Karena menyerahkan aset daerah untuk dikelola di dalam proyek-proyek pemerintah nasional di bidang perumahan rakyat maupun di bidang pekerjaan umum tidak bisa dilakukan begitu saja.
Pada gilirannya, Pemda-pemda yang telah menyetujui tanahnya dibangunkan rumah susun dari pusat pun, tetap mengalami kesulitan yang lain lagi, yaitu tidak mendapatkan persetujuan anggaran pengelolaan rumah susun dari DPRD setempat. Mengapa? Karena bangunan rumah susun dibiayai anggaran APBN, sedangkan APBD tidak boleh membiayai aset nasional, meskipun berada di atas tanah milik daerah. Aset nasional juga tidak diperkenankan untuk diserahkan ke daerah. Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik, dan pemerintah daerah merasa jera untuk menyerahkan tanahnya yang lain lagi. Alih-alih berkembang menjadi aset publik yang terus meningkat kualitasnya dan menjadi solusi beragam masalah sosial-ekonomi-lingkungan kota, rumah-rumah susun malah akhirnya turut menambah masalah sosial-ekonomi-lingkungan yang sudah ada.
Setelah kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah, pengadaan konstruksi gedung-gedung rumah susun sederhana yang diiringi pengucuran anggaran negara hingga beratus-ratus milyar rupiah terus mencari sasaran lokasinya yang lain untuk didirikan. Akhirnya pengucuran paket-paket (package delivery, yang mirip program BLT penanggulangan kemiskinan) mendapatkan sasarannya di lahan-lahan milik perguruan tinggi dan kesatuan tentara. Kelompok sasaran yang sudah ada, kejelasan instansi, dan kesanggupan mengelola menjadi faktor-faktor favorit untuk memilih lahan-lahan ini. Akhirnya terjadilah hal yang juga tidak dapat dibenarkan, yaitu salah sasaran. Bagaimanapun mahasiswa dan prajurit bukanlah kelompok prioritas sasaran penyediaan perumahan rakyat, karena sudah ada potensi alokasi anggaran lain di bidang pendidikan dan tentara/kepolisian yang lebih tepat untuk itu. Di dalam pengembangan suatu skema program, penentuan kelompok sasaran ini sangat fatal yaitu sebagai justifikasi prioritisasi (prioritization justification).
Pembangunan rumah susun sederhana milik (Rusunami) juga mengalami masalah, yaitu adanya anggapan kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam memberi perijinan, terutama Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada dasarnya bukanlah masalah perijinan yang dihadapi. Masalah IMB muncul sebenarnya akibat Pemerintah Daerah memandang pengadaan rusunami masih berada di domain moda perumahan komersial. Meskipun program Rusunami diinisiasi oleh Kementerian Perumahan Rakyat dengan berbagai dukungan fasilitasi keringanan pajak dan dukungan prasarana, tidak dapat ditutupi pula, bahwa kebijakan fasilitasi tersebut lebih memperlicin bisnis properti daripada mencapai kelompok sasaran. Sebagaimana diketahui, praktek bisnis properti selalu berupaya menaikkan koefisien lantai bangunan (KLB), sedangkan cukup memprihatinkan pula bahwa pemerintah daerah selalu mencantumkan nilai KLB yang rendah di kawasan yang sangat diminati para investor properti. Kemudian, pembangunan Rusunami akhirnya menjadi kesempatan dan pembenaran bagi para pebisnis properti untuk menaikkan angka KLB, hal mana motif-motif seperti ini sudah sangat dikenali khususnya oleh Pemerintah DKI Jakarta. Akibatnya, terjadi konflik antara Kemenpera, Pemda DKI Jakarta dan para Pengembang.
Menghadapi beragam pernak-pernik masalah seputar pengadaan rumah susun ini kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang semakin komopleks. Kemudian, apakah artinya kondisi dari masalah-masalah pembangunan rusuna yang berbelit ini? Memang banyak pihak dengan berbagai pandangannya angkat bicara. Ada yang mengatakan ini karena ketersediaan tanah perkotaan yang langka dan mahal, ada yang mengajukan perlunya ditingkatkan kapasitas pengelola, perlu diberdayakan perkumpulan penghuni, perlu ditingkatkan kepedulian pemda/pemko, pemda-pemda dipaksa harus mau menyediakan tanah-tanah untuk dibangun Rusuna, hibah aset nasional kepada daerah harus bisa dilaksanakan, dan sebagainya. Ada pula yang cukup memprihatinkan, yaitu yang mengaitkannya dengan perlunya undang-undang rumah susun yang baru. Demikianlah, muncul kemudian pernak-pernik masalah yang berserakan dan terpecah-pecah (scattered and fragmented). Upaya mencari pemecahan masalahnya kemudian menjadi tidak berarah dan terkesan tambal sulam. Padahal akar masalah dari ragam masalah itu sederhana saja, yaitu absennya sektor perumahan publik (public housing) di tanah air, baik perumahan publik di tingkat nasional maupun di daerah. Mengapa demikian? Berikut ini adalah penjelasannya.
2.  Rusuna di dalam Moda Perumahan Umum
Pengadaan rumah susun sederhana sejak tahun 1980-an menurut sejarahnya diadakan oleh Perum-Perumnas sebagai perusahaan publik pembangunan perumahan. Inilah yang menjadi latar belakang penyusunan Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Namun karena moda perumahan umum tidak kunjung dikembangkan, dan keberadaan Perum-Perumnas tidak pernah berperan sebagai sentral dari moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun sederhana hingga kini tetap diadakan dalam skema yang bertumpu pada proyek-proyek pengadaan konstruksi. Karena itu muncullah berbagai masalah seperti di atas. Untuk itu, pengadaan rumah susun perlu dikembalikan kepada tujuannya semula, yaitu berada di dalam rangka pengembangan moda perumahan umum.
Pertama, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik/umum tidak akan menurun kualitasnya hanya karena lemahnya operasi dan perawatan bangunan dan lingkungan (building and estate management). Manajemen bangunan dan lingkungan yang dikelola oleh sebuah perusahaan umum, sebagaimana di Jepang, tidak selalu mengikuti pola manajemen bangunan perusahaan swasta. Sebagai contoh kekhasan manajemen perusahaan perumahan umum, yaitu perusahaan umum dapat memberdayakan kelompok ibu-ibu rumah tangga usia lanjut yang sudah tidak terserap pasar tenaga kerja komersial. Pada gilirannya, manajemen perumahan umum ini turut berkontribusi menciptakan pasar tenaga kerja terkendali dan membuka pasar baru, yaitu pasar tenaga kerja yang tidak dapat dimasuki oleh mereka yang tidak memenuhi syarat, seperti selain ibu-ibu dan yang masih muda.
Kedua, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menghadapi masalah tanah. Mengapa? Karena rumah-rumah susun akan ditempatkan pada kawasan dengan skala cukup besar yang disiapkan secara komprehensif, baik penataan ruang, prasrana dan utilitasnya. Tanah yang diperoleh berasal dari alokasi tanah khusus untuk perumahan publik yang berasal dari tanah-tanah terlantar maupun alih fungsi dari tanah-tanah milik negara. Dasarnya adalah adanya peran lama yang diberikan kepada perusahaan perumahan umum milik negara yang dihidupkan kembali, yaitu untuk menjalankan praktek bank tanah.
Ketiga, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menghadapi masalah perijinan IMB sebagaimana dihadapi dalam pembangunan Rusunami seperti diuraikan di atas. Mengapa demikian? Karena dengan berada di domain moda perumahan umum, pengadaan rusunami terbebas dari motif bisnis dan mencari keuntungan, melainkan mengembangkan aset-aset publik dan menyediakan kebutuhan perumahan kelas menengah bawah. Pemerintah daerah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan perumahan warganya dan mengembangkan kawasan secara harmonis, tidak memiliki alasan untuk tidak mendukung peruntukan perumahan umum di wilayahnya. Kemudian, di dalam moda perumahan umum, pengadaan rusunami dikembangkan dalam suatu skala kawasan kota, sedemikian sehingga telah memiliki arah dalam alokasi peruntukan dan pemanfaatan ruang kota secera terancana. Kemudian pula diberlakukan peraturan bangunan dan lingkungan yang khusus (project spesific regulation). Dengan demikian masalah konflik KLB dan IMB sudah padam sejak dari hulunya.
Keempat, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menghadapi kesalahan sasaran atau kesulitan menemukan penghuni, karena sudah direncanakan sejak awal termasuk perencanaan kelompok prioritas penghuni sasarannya. Salah satu divisi penting dari moda perumahan umum adalah divisi perencanaan kelompok sasaran penghuni, yang dilengkapi oleh divisi penyeleksian penghuni (tenant screening division/team) yang memiliki seperangkat tim dan instrumen seleksi yang mantap. Divisi seleksi penghuni sebagai bagian perusahaan perumahan umum hanya berorientasi pada terselenggaranya perumahan umum yang tertib dan harmonis, sehingga tidak memiliki tendensi memilih penghuni karena asal membayar yang cukup.
Kelima, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menyalah-nyalahkan penghuni karena belum membudayanya tinggal di rumah bersusun. Melalui seleksi penghuni yang terencana baik maka penghuni rumah susun yang terpilih adalah mereka yang sudah siap menempati rumah bersusun, yang umumnya datang dari kalangan perkotaan menengah bawah, berpendidikan dan memiliki pekerjaan formal. Bagaimana dengan komunitas berpendapatan rendah dan miskin yang masih memiliki gaya hidup tradisional paguyuban dan kebanyakan menjalankan sektor informal? Sebagaimana pengalaman di Thailand, lembaga perumahan umum di sana (NHA, National Housing Authority) bekerjasama dengan CODI (Community Organisation Development Institute) untuk membina komunitas-komunitas MBR dan miskin kota dan mengembangkan praktek moda perumahan swadaya (self-help housing mode). Dalam proyek-proyek peremajaan kawasan kumuh di Bangkok, NHA membuat perencanaan tapak dengan konsep campuran (mix strata income) dan memberi alokasi tanah untuk perumahan swadaya yang dibina oleh CODI. Kemudian kepada warga MBR dan miskin diberi pilihan untuk mengikuti program NHA dengan penyediaan rumah susun ataukah mengikuti program CODI yang berisi program pemberdayaan komunitas dan perumahan swadaya yang menghasilkan produk rumah deret berkepadatan tinggi.
Keenam, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan mengalami kesulitan pembiayaan. Seperti diketahui, sumber dana dari APBN bagaimanapun memiliki keterbatasan untuk membiayai pembangunan konstruksi gedung rumah susun terus menerus dari tahun ke tahun. Pengadaan rumah-rumah susun dalam skema proyek konstruksi (seperti selama ini) tidak akan mampu mengakumulasi aset kawasan, tanah dan bangunan yang mengalami apresiasi. Banyak aset rumah susun akan habis begitu saja, atau malah justru menjadi aset yang membebani biaya perawatan karena rumah-rumah susun berkontribusi pada penurunan kualitas suatu kawasan. Pengadaan rumah-rumah susun seperti ini akan selalu membebani pembiayaan pengadaan rumah susun selanjutnya dan berakhir dengan ketidakberlanjutan pembiayaan.
Namun tidak akan demikian dengan rumah-rumah susun yang diadakan di dalam moda perumahan umum yang baik. Pada tahap awal, perusahaan publik di bidang perumahan dapat memperoleh penyertaan modal negara yang bersumber dari APBN, dan sebagai BUMN dapat memperoleh penyertaan modal dari Dana BUMN yang kini sedang dikembangkan. Kemudian pada suatu tingkatan tertentu setelah memiliki aset kawasan yang terakumulasi dan terapresiasi, maka otoritas perumahan publik sudah harus mampu menyediakan konstruksi bangunan rumah-rumah susun secara mandiri tanpa membebani fiskal negara terus menerus. Kemandirian perumahan umum pada kondisi ini hanya dapat dicapai melalui akumulasi aset yang dibangun dan dikelola secara terencana dan berkelanjutan. Aset-aset milik publik seperti tanah negara, prasarana dan sarana dasar, fasos dan fasum dan bangunan perumahan umum, yang dikelola dengan baik dengan mengoptimalkan mekanisme perijinan, rencana tata ruang, rencana tata bangunan serta rencana pengelolaan bangunan dan kawasan yang juga bersumber dari lembaga publik, seharusnya hanya akan memproduksi lingkungan binaan yang berkualitas dan semakin terapresiasi dari waktu ke waktu. Mengapa ini bisa terjadi? Tidak lain karena moda perumahan umum akan meredam praktek spekulasi tanah dan properti, dan melimpahkan hasil apresiasi nilai kawasan menjadi aset publik untuk kepentingan publik. Sedangkan bisnis properti dapat dijalankan secara berdampingan dan saling mengisi di dalam suatu kawasan pengembangan yang terencana dan terkendali dengan baik.
Ketujuh, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menjadi biang kekacauan fiskal sebagaimana masalah rusunawa yang terjadi di daerah-daerah, yaitu akibat bangunan dibiayai oleh APBN dan tanah adalah aset daerah yang membutuhkan perawatan dari biaya APBD. Kinerja otoritas perumahan umum bukanlah seperti yang terjadi sekarang ini, yaitu asal proses konstruksi rumah susun telah selesai maka selesailah dan kinerja dinilai dari keberhasilan memenuhi kurva S sebuah manajemen proyek konstruksi. Sedangkan proses perencanaan pra-konstruksi dan pasca konstruksi kurang diperhatikan dan dilaksanakan secara terpisah-pisah. Tentu tidak demikian. Kinerja otoritas yang menjalankan moda perumahan umum memadukan semua proses pra-konstruksi, konstruksi dan pasca konstruksi. Sehingga kinerja yang diukur bukanlah pelaksanaan konstruksi semata, melainkan pengelolaan aset perumahan dan permukiman secara sosial, ekonomi dan lingkungan. Karena itu, dengan dana awal yang bersumber dari APBN/Aset Nasional atau dari APBD/Aset Daerah, moda perumahan umum tidak akan menimbulkan kekacauan fiskal, karena otoritas tersebut dapat dikembangkan masing-masing di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Masing-masing dengan misi yang sama, yaitu merumahkan rakyat dan mengembangkan kawasan permukiman dan perkotaan untuk menjadi aset publik yang berkualitas. Tanpa mencampur aduk aset nasional dan daerah, kerjasama dapat dilakukan di tingkat perencanan kawasan dan pelaksanaan lapangan. Pada gilirannya, semakin besar dan berjayanya otoritas perumahan umum, baik di tingkat nasional dan daerah, akan mewujud menjadi aset nasional dan daerah yang menjamin keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman dan perkotaan.
Dengan memperhatikan kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beragam masalah rumah susun sederhana muncul akibat fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan dan absennya moda perumahan publik. Moda perumahan umumlah yang perlu dikembangkan, dan bukan masalah rumah susunnya! Artinya, bukan membenahi segala masalah yang muncul sekedar untuk mendukung terlaksananya proyek-proyek konstruksi rumah susun. Bahwa produk perumahan publik itu biasanya berbentuk rumah-rumah bersusun, adalah benar. Namun jika proyek konstruksi rumah susun hendak digunakan sebagai pendekatan untuk mengidentifikasi masalah yang terus bermunculan, kondisi ini hanya akan mengantarkan pada: satu, penghamburan sumber-sumberdaya publik dan hilangnya kesempatan mengakumulasi aset-aset publik, dua, perkembangan kawasan permukiman yang berserakan (scattered) dan tidak berkelanjutan, dan tiga, semakin meluasnya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan rakyat.
3.  Konflik Peran dari Moda Perumahan Komersial
Fragmentasi dan kesemrwutan (fragmented and intertwined) moda-moda penyediaan perumahan menyebabkan kaburnya peran perumahan komersial yang dipaksakan untuk turut menyediakan perumahan sederhana. Jika melihat komposisi asosiasi para pengembang swasta (REI dan APERSI) yang didominasi oleh para pengembang kecil dan hanya sedikit pengembang besar, sebenarnya terjadi kekacauan peran ketika secara organisasi mereka diminta untuk berperan menyediakan perumahan sederhana. Kekacauan peran muncul akibat ada ketidakjelasan motif, dimana semua pengembang swasta baik yang kecil maupun yang besar seharusnya tetap memiliki motif yang sama, yaitu mencari keuntungan. Memang para pengembang kecil masih lebih berminat dan lebih tahan untuk memproduksi rumah-rumah sederhana, dikarenakan skala usahanya yang memang masih kecil. Namun, apakah semakin kecil skala usaha pengembang swasta berarti semakin kecil motif mencari untungnya? Atau hanya untungnya yang kebetulan masih kecil dan sementara itu selalu menanti kesempatan untuk mendapat untung besar melalui berbagai spekulasi dan fasilitasi dari pemerintah?
Keadaan inilah yang menjelaskan mengapa sebagian pengembang kecil yang sebelumnya bergabung di dalam REI kemudian keluar dan membentuk asosiasi baru bernama APERSI. Para pengembang kecil yang semula kurang mendapat kesempatan di organisasi pertama kemudian mendapat kesempatan untuk menjadi besar setelah membentuk asosiasi baru. Fenomena ini adalah gambaran kacaunya moda perumahan komersial yang berinterferensi secara langsung dengan sumber-sumber daya publik yang dikucurkan melalui pendekatan project delivery termasuk property business liquidity facilities. Sumber-sumberdaya perumahan umum yang tidak dikelola di dalam suatu moda perumahan umum / moda perumahan swadaya / moda perumahan sosial, pada gilirannya akan mengacaukan pula moda perumahan komersial.
Di dalam multi-moda penyediaan perumahan yang terstruktur dengan baik, semua sumberdaya kunci publik hanya akan dikelola melalui moda-moda penyediaan yang terjamin, terhindar dari ragam praktek makelar proyek, terlindung dari praktek spekulasi, dan tidak rentan dari penyimpangan tujuan dan kepentingan. Moda-moda penyediaan itu adalah moda perumahan umum, moda perumahan swadaya, moda perumahan sosial, dan moda perumahan komersial yang kesemuanya ditempatkan pada posisinya.
Sebuah otoritas perumahan umum misalnya, ketika mengembangkan suatu kawasan perumahan sederhana, tentunya tidak perlu menyediakan sendiri jasa konstruksi untuk seluruh pekerjaannya. Otoritas perumahan umum melalui sistem lelang yang transparan bekerjasama dengan para penyedia jasa konstruksi. Pada titik inilah kesempatan terbuka luas bagi para kontraktor swasta, baik dalam pematangan tanah, pengadaan infrastruktur maupun bangunan. Kesempatan bagi para pengembang swasta juga terbuka melalui pengembangan lingkungan-lingkungan siap bangun yang diproduksi oleh otoritas perumahan umum. Dengan demikian, pengembangan moda perumahan umum pada dasarnya tidak mematikan usaha swasta, meskipun dalam pengadaan perumahan sederhana.
Nah, para kontraktor mitra potensial otoritas perumahan umum inilah yang sebenarnya kini berwujud sebagai pengembang-pengembang kecil yang tergabung di dalam asosiasi pengembang (REI dan APERSI) dan bergabung bersama-sama secara kontras dengan para pengembang besar yang memang sudah memiliki modal besar dalam berbagai bentuknya. Akhirnya, dominasi moda perumahan komersial tanpa segmentasi yang jelas dan absennya moda perumahan umum hanyalah menimbulkan iklim spekulatif di kalangan pengembang, yaitu adanya upaya-upaya, terutama dari para pengembang kecil, untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya publik sebagai sarana untuk melejitkan dirinya untuk menjadi pengembang besar. Konflik peran perumahan komersial ini pada gilirannya mengintervensi sumber-sumberdaya publik yang seharusnya dikerahkan untuk membangun moda perumahan umum, sehingga menghambat berkembangnya moda perumahan umum.
Kaivani dan Werna (2001) menyatakan bahwa: “The expansion of the role of private market of housing provision in developing countries was advocated by the World Bank”. Memang kebijakan berbagai fasilitasi bisnis properti untuk memperluas perannya dalam penyediaan perumahan sederhana selalu didorong oleh lembaga World Bank. Hal ini dapat dipahami karena bagaimanapun bank tetaplah bank, yang berkepentingan agar senantiasa dapat memberi pinjaman, dan dana yang dipinjamkannya kembali dengan lancar secepat mungkin, meskipun digunakan untuk kepentingan publik. Dan, usaha swasta dipandang sebagai satu-satunya moda yang dapat diandalkan untuk kepentingan bank tersebut. Berkembang atau tidaknya moda perumahan umum bukanlah kepentingan bank. Apalagi moda perumahan umum dan pengembangan perkotaan yang semakin mandiri mendanai berbagai pembangunan infrastruktur di dalam negeri, sama sekali bukan kepentingan Bank Dunia maupun lembaga sejenisnya.
Bank Dunia dan berbagai lembaga lain juga mendorong berkembangnya kerjasama publik-swasta (KPS) dalam berbagai pelayanan publik. Berbagai skema kemitraan publik-swasta ini sangat berbeda keadaannya dengan skema kerjasama yang sama di negara-negara yang telah maju pelayanan publiknya. Jika di negara maju KPS dilatar belakangi oleh efisiensi pelayanan publik dimana pelayanan publik sudah mencapai tingkat yang mampu memimpin dan mengendalikan kinerja pelayanan, standar pelayanan dan produk sebagai barang publik, maka KPS di negara-negara lambat berkembang masih ditandai lemahnya pelayanan di sektor publik.
Bagaimanapun, tentunya kepentingan negara sebesar Indonesia tidak bisa disandarkan pada advokasi sebuah lembaga bank saja. Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumberdaya publik, penguatan kualitas pelayanan di sektor publik dan kemandirian dalam pembangunan perumahan dan pengembangan kawasan adalah cita-cita bangsa dan amanat konstitusi yang tidak bisa semata dititipkan kepada sebuah bank. Kepemimpinan sektor publik (dan bukannya dominasi sektor publik, public sector led, instead of public sector domination) di atas sektor komersial, sosial dan swadaya masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman adalah suatu prakondisi dan merupakan mata rantai yang selama ini diabaikan.
4.  Intervensi Perumahan Komersial
Jika moda perumahan umum diabaikan dan tidak berkembang seperti diuraikan di atas, maka fenomena yang tampak adalah moda perumahan komersial justru berkembang tidak terkendali sebagai akibat dari adanya konflik peran. Perumahan komersial pada akhirnya mengintervensi sumber-sumberdaya publik, baik berupa kemudahan perijinan perolehan tanah mentah dalam skala besar, penyediaan infrastruktur permukiman, maupun fasilitasi pembiayaan dalam bentuk subsidi bunga hingga bantuan likuiditas. Rekayasa finansial yang seharusnya berada di domain bisnis perbankan dan bisnis properti, dimana perumahan komersial (commercial housing) menjadi bagiannya, akhirnya pun membebani arena perumahan rakyat, selain mengantarkan pembangunan perumahan rakyat mendukung praktek ekonomi gelembung (bubble economic).  
Bagaimanapun, moda perumahan komersial yang merupakan bagian bisnis properti tetap berorientasi mencari keuntungan. Para pengembang swasta yang berasosiasi di dalam REI dan APERSI tergabung di dalam klaster-klaster dagang dan industri. Karena itu sangat wajar sekali jika klaster-klaster ini tergabung di dalam wadah Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia seperti selama ini. Oleh karena itu berbagai pengaruh dan negosiasi kalangan pengembang perumahan komersil terhadap berbagai simpul sumberdaya publik haruslah dibatasi. Infrastruktur publik, subsidi dan fasilitasi kemudahan pembiayaan, ijin penguasaan lahan mentah, ijin peruntukan tata ruang, adalah diantara sumberdaya publik yang tidak boleh diakses oleh praktek perumahan komersial, dan harus diarahkan untuk menguatkan moda perumahan umum. Praktek perumahan komersial hendaknya dibina dalam kamar dagang dan industri agar dapat tumbuh berkembang sebagai pengusaha properti yang handal dan kompetitif.
Memperhatikan karakter, kepentingan dan klaster tempat dimana seharusnya para pengembang perumahan komersial berada dan dibina sebagaimana diuraikan di atas, kebijakan di bidang perumahan rakyat yang berorientasi membina para pengembang perumahan komersial sebenarnya adalah suatu arah kebijakan yang salah kaprah (misleading). Karena perumahan rakyat bukanlah salah satu cabang sektor industri dan perdagangan yang melahirkan berbagai kebijakan dan program fasilitasi kegiatan industri dan bisnis. Kesalahkaprahan ini berakibat pada upaya pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat yang terdistorsi seperti kebijakan pembiayaan fasilitasi likuiditas, fasilitasi kemudahan perijinan maupun fasilitasi infrastruktur, yang kesemuanya ditujukan untuk memfasilitasi bisnis properti. Kesalahkaprahan yang paling memprihatinkan adalah membiarkan praktek spekulasi dalam akuisisi tanah mentah dalam pemberian ijin lokasi, dan hal ini dipandang sebagai aktifitas bisnis yang normal saja.
Akibat dari intervensi perumahan komersial dan berbagai kesalahkaprahan ini adalah: (kesatu), ketepatan dan proses identifikasi kelompok sasaran program perumahan rakyat menjadi sering terabaikan, (kedua), pemberdayaan kelompok-kelompok sasaran yang tidak mampu menjangkau harga rumah di pasaran, dan hanya mampu setelah diberdayakan dan diorganisir, tertutup oleh paket-paket fasilitasi bisnis properti, (ketiga), selain itu, kesempatan untuk mengakumulasi aset publik melalui moda perumahan umum dan aset masyarakat melalui moda perumahan swadaya menjadi hilang, dan (keempat), pengembangan kapasitas kelembagaan untuk mengelola sumber-sumberdaya publik dan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun di daerah, tidak mendapat tempat lagi di bidang perumahan yang menggunakan kata “rakyat” ini.
Lalu, apa yang harus dilakukan terhadap praktek perumahan komersial ini? Hal yang mendasar adalah bahwa perumahan komersial (real estate) tidak boleh lagi menempel pada urusan perumahan rakyat, melainkan harus diatur secara multi-sektoral.
·         Pertama-tama, moda perumahan komersial tidak bisa dipaksa untuk memikul beban misi merumahkan rakyat. Upaya mengekspansi pasar perumahan komersial untuk melayani kebutuhan perumahan MBR dan kelompok miskin sudah menunjukkan kegagalan menjangkau kelompok tersebut.
·         Kedua, perumahan komersial seharusnya benar-benar diarahkan untuk mengisi segmen perumahan menengah atas yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat dari segmen MBR dan Miskin. Di segmen menengah atas,  motif mencari keuntungan dari sisi pasokan mendapatkan justifikasi dan bertemu dengan sisi permintaan yang mencari kualitas dan kepuasan (profit making meet the quality and satisfaction). Dengan demikian, akan terjadi restrukturisasi secara alamiah, yang mana pengembang swasta yang sanggup bertahan pada bisnis properti secara profesional, dan yang mana pengembang yang pada dasarnya adalah penyedia jasa konstruksi, untuk kembali kepada kapasitasnya sebagai kontraktor secara profesional pula.  
·         Ketiga, praktek perdagangan perumahan komersial tidak boleh lagi dijalankan di atas alas pemanfaatan sumber-sumberdaya publik yang tidak diregulasi oleh suatu moda penyediaan publik. Skema-skema fasilitasi bisnis properti yang menggunakan dana-dana publik sudah terbukti mengandung kelemahan yang nyata sekali untuk menjangkau kelompok prioritas secara efektif.
·         Keempat, setelah regulasi sumberdaya publik secara efektif dikelola oleh otoritas perumahan publik, moda perumahan komersial diserahkan pembinaannya di dalam kamar tersendiri di bidang perindustrian (Kemenperin) dan bidang perdagangan (Kemendag).
·         Kelima, moda perumahan komersial perlu dijalankan di dalam kerangka peraturan pertanahan yang tertib yang diregulasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tertib penguasaan tanah (titling) harus lebih dikendalikan oleh sistem peraturan pemanfaatan tanah (guna tanah dan administrasi tanah) untuk keperluan bisnis, daripada dicoba dikelola melalui otoritas seorang kepala daerah dalam mengeluarkan perijinan lokasi usaha.
·         Keenam, untuk menghindari terjadinya pengembangan kawasan permukiman yang berserakan (scattered) dan menjalar-jalar (sprawling), maka moda perumahan komersial hanya boleh dijalankan di dalam suatu kawasan yang sudah memiliki rencana tata ruang dan tata bangunan yang jelas dan berkekuatan hukum (Perda). Sedangkan untuk kawasan di luar itu, praktek perumahan komersial hanya boleh membangun di suatu kawasan yang dikelola oleh suatu otoritas publik, sebagaimana telah diatur di dalam UU 4/1992 mengenai Kasiba-Lisiba.
·         Ketujuh, untuk menjaga stabilitas moneter di dalam negeri, skema-skema pembiayaan di dalam moda perumahan komersial perlu dijalankan secara tertib melalui pengawasan Bank Indonesia, dengan mengawasi praktek-praktek pembiayaan, peminjaman dan penjaminan yang dilakukan bank-bank dan lembaga-lembaga pembiayaan dan penjaminan. Berbagai program pembiayaan fasilitasi yang dijalankan untuk mendukung likuiditas bisnis properti dikendalikan dalam rangka likuiditas bisnis sebagaimana praktek perdagangan lainnya.
Praktek perumahan komersial yang tidak dikelola melalui moda penyediaan tersendiri telah berakibat pada konflik peran, intervensi terhadap urusan perumahan rakyat dan fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan. Oleh karena itu, ketujuh arah pengelolaan moda perumahan komersial seperti di atas perlu menjadi acuan dalam penyusunan arah kebijakan perumahan komersial (real-estate policy direction). Perumahan komersial adalah bagian dari industri properti, yang menjadi urusan bidang Perindustrian, dan bagian dari urusan perdagangan properti, yang menjadi urusan bidang Perdagangan, serta bukan urusan utama bidang Perumahan Rakyat.
Untuk menjamin terlaksananya kebijakan real-estat atau kebijakan properti ini, selain mengefektifkan pelaksanaan UU Perumahan dan Permukiman, UU Penataan Ruang, UU Bangunan Gedung, UU Pemerintahan Daerah, dan memantapkan otoritas publik melalui penetapan UU Perumahan Umum, pengendalian dan pembinaan moda perumahan komersil perlu diperkuat dengan beragam peraturan perundang-undangan. Setidaknya ada tiga sistem legislasi yang perlu diundangkan, yaitu:
1.      Undang-undang Real Estat atau Undang-undang Properti,
2.      Undang-undang Pertanahan, yaitu sebagai bentuk reformasi agraria dan perubahan dan atau penggantian UUP Agraria, dan
3.      Undang-undang Pertelaan atau mengenai strata title, yang mengatur tata cara penguasaan dan pemindahan penguasaan unit-unit properti yang berjenjang.
5.  Permasalahan Strata Title dan Pemilikan Asing
Isu lain yang berkembang tanpa arah akibat adanya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan adalah isu pertelaan atau strata title dan pemilikan unit apartemen oleh warga asing. Kedua isu ini berkaitan erat, karena pemilikan unit apartemen oleh warga asing mensyaratkan adanya pola penguasaan unit apartemen atau rumah susun secara berstrata. Di  satu sisi,  urusan ini memang penting dan perlu diatur untuk mendukung bisnis properti di tanah air. Namun di sisi lain perlu pula didudukkan persoalannya secara hati-hati dalam kaitannya dengan urusan pertanahan dan urusan perumahan rakyat.
Pada dasarnya urusan penguasaan properti dan tanah, baik dalam bentuk berstrata (strata title) maupun tidak berstrata, adalah termasuk ke dalam urusan pertanahan/agraria, dan lembaga utama yang mengurusnya adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Urusan strata title ini tidak ada kaitannya langsung dengan tujuan merumahkan rakyat. Artinya, ini bukanlah domain urusan Perumahan Rakyat, melainkan urusan bidang Pertanahan. Peran bidang Perumahan Rakyat sebatas mendukung (supporting) sedangkan BPN memimpin (leading), dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, meskipun terkait dengan pembangunan apartemen atau rumah susun, pembahasan strata title tidak boleh dicampur aduk antara penyediaan melalui moda perumahan komersial dengan isu Rumah Susun sebagai suatu produk dari moda Perumahan Umum (Public Housing). Masing-masing moda penyediaan perumahan memiliki karakter masalah dan pemecahannya yang berbeda-beda, baik dalam kerangka peraturan maupun sistem kelembagaannya.
Lebih jauh, sebagaimana disebut di atas, diperlukan suatu pengaturan tertentu mengenai pertelaan ini. Sebagai yurisprudensi dan preseden moda perumahan komersial, di Singapura ada undang-undangnya tersendiri yang berjudul Land Strata Title Act. Urusan pertelaan bukan diatur di dalam Undang-undang di bidang perumahan rakyat (Housing Act atau Public Housing Act) dimana visi di bidang ini adalah membangun sistem penyediaan perumahan rakyat.
Kemudian, mengapa dikatakan bahwa isu strata title ini berkembang tanpa arah akibat fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan? Pertama-tama mari kita simak kembali, bahwa pembicaraan tentang strata title telah bercampur aduk antara isu rumah susun yang dilaksanakan dengan pendekatan proyek di satu sisi, adanya desakan pihak pengembang properti untuk segera membuat pengaturannya demi lancarnya bisnis apartemen kelas atas dan untuk warga asing di sisi lain, serta adanya kendala peraturan di bidang pertanahan. Sekali lagi, situasi ini muncul akibat belum terbangunnya moda perumahan komersial dan moda perumahan umum secara jelas. Moda perumahan komersial belum memiliki pengaturan melalui Undang-undang Properti dan Undang-undang Strata Title. Sedangkan moda perumahan umum belum dimantapkan dalam posisi memimpin (lokomotif) dan memberi acuan standar kualitas dan model penanganan kepada moda perumahan komersial.
Dalam banyak pembicaraan, sering disebut-sebut bahwa preseden di Singapura dimana diperkenankan menguasai satuan unit apartemen atau rumah susun secara berstrata dengan masa pakai yang sangat lama, yaitu hingga 99 tahun. Menjadi pertanyaan, mengapa di Singapura bisa namun di Indonesia tidak bisa? Tentu saja hal ini tidak bisa begitu saja diterapkan di Indonesia. Pertanyaannya, siapa yang menerbitkan hak strata title tersebut?
Hal-hal penting yang luput dari perhatian dan kajian adalah bahwa: pertama, meskipun diberikan masa yang sangat panjang hingga mencapai empat generasi, hak berstrata yang diberikan ini bagaimanapun adalah tetap hak pakai (leasehold) dan bukan hak milik (freehold). Oleh karena itu, perlu dipisahkan terlebih dahulu, apakah penguasaan unit berstrata tersebut hendak diberikan dalam bentuk hak pakai atau hak milik.
Kedua, moda perumahan umum di Singapura sudah dibangun sejak tahun 1960-an dan kini sudah berkembang dengan cukup pesat dan berakumulasi pada sistem penyediaan yang mantap yang diselenggarakan oleh sebuah otoritas pelaksana yang dinamai Housing Development Board (HDB). Pada prakteknya, HDB inilah yang menerbitkan sertifikat hak pakai hingga masa 99 tahun tersebut. Artinya, keberadaan HDB bukanlah lembaga yang bisa di on-off begitu saja. Boleh dikatakan, tidak ada seorangpun pejabat HDB yang akan menyaksikan kapan berakhirnya masa pakai yang pernah diterbitkan oleh lembaganya pada masa yang bersangkutan menjabat suatu posisi di HDB. Artinya, sistem kelembagaan HDB sebagai penyelenggara moda perumahan publik sangatlah mapan, semapan negara Singapura itu sendiri, sehingga mampu menjamin pemanfaatan tanah dan properti di atasnya dalam waktu yang sangat lama. Kemapanan dan otoritas HDB atas tanah dan properti di atasnya boleh dikatakan sama kuatnya dengan otoritas administrasi pertanahan yang mengesahkan alas hak pakai pertama kali kepada HDB. Sepanjang negara masih memberi otoritas kepada HDB yang mengemban misi perumahan publik dan pengembangan perannya sebagai pengelola kawasan permukiman, hak pakai HDB atas tanah-tanah yang telah atau akan dikuasainya tidak dapat dialihkan. Di sini, keberadaan dan kemapanan lembaga HDB inilah yang menjadi penting, sebagai representasi pengembangan moda penyediaan perumahan umum. Ketiadaan sistem lembaga inilah yang menyebabkan pembicaraan strata title tidak akan memiliki arah yang jelas.
Kesimpulannya, bukan isu strata title nya yang menjadi titik perhatian, melainkan multi-moda penyediaan perumahanlah yang perlu diatur dengan baik dan dibangun kelembagaanya secara sistematis. Tanpa landasan sistem penyediaan yang baik maka pembicaraan akan mengarah pada penanganan yang semakin terfragmentasi. Sebuah otoritas perumahan umum yang mapan tentunya tidak akan bermasalah jika menerbitkan hak pakai satuan unit apartemen kepada warga negara asing, meskipun dalam jangka waktu yang lama. Karena melalui otoritas publik, pemilik tanah tetaplah negara.
Pada gilirannya kemudian, setelah ada praktek yang mantap yang dikembangkan melalui moda perumahan umum sebagai acuan dan model, praktek pengembang swasta di dalam moda perumahan komersial dapat pula diberikan otoritas untuk mengadakan apartemen dengan unit-unit yang dapat dikuasai secara berstrata. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan: pertama, adanya otoritas publik (Pemerintah Kota/Kabupaten) yang mengawasi dan mengendalikan praktek ini, kedua, adanya landasan kelembagaan pengembang swasta yang mantap dan stabil, dan ketiga, pemberian hak pakai dalam jangka waktu tertentu yang lebih singkat daripada yang diberikan oleh otoritas perumahan publik.
6.   Kesimpulan
Dengan memperhatikan kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Kompleksitas masalah perumahan rakyat muncul akibat belum terbangunnya multi-moda dan adanya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan,
2.      Beragam masalah perumahan rakyat berkembang karena absennya moda perumahan publik sebagai pemimpin (lokomotif) dari suatu aransemen multi-moda penyediaan perumahan.
3.      Beragam masalah yang kompleks di seputar urusan perumahan rakyat tidak dapat dibenahi secara sporadis dan sepotong-potong (ad-hoc and piecemeal) dengan arah sekedar untuk mendukung terlaksananya proyek-proyek pengadaan perumahan semata, yang sudah dialokasikan anggarannya.
4.      Semakin meluasnya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan rakyat hanya semakin menjauhkan bangsa ini dari cita-cita pengembangan sistem penyediaan perumahan rakyat (housing delivery system),
5.      Tanpa sistem yang terbangun dari berkembangnya multi-moda penyediaan perumahan rakyat, tetap tidak ada pilihan bagi komunitas informal dan kaum miskin kota yang selalu berhasrat untuk semakin berdaya dan sejahtera hidupnya serta hendak bertempat tinggal di dekat tempat kerjanya dan diterima sebagai warga kota. Tidak ada pilihan bagi mereka, selain tetap menghuni permukiman liar dan kumuh. Kegagalan perumahan rakyat tetap melekat yang terlihat indikasinya dari luas permukiman kumuh yang semakin bertambah dari tahun ke tahun (sekitar 47.000 Ha tahun 2000, 54.000 Ha pada tahun 2004 dan menjadi 57.000 Ha pada tahun 2009, BPS)


***

Konsep Dasar Multi-moda Penyediaan Perumahan Rakyat


Berbagai program pembangunan perumahan yang dijalankan pemerintah hingga kini belum kunjung memberikan harapan terpenuhinya pemenuhan perumahan yang layak bagi seluruh rakyat. Pembangunan rumah sederhana, subsidi kredit pemilikan rumah sederhana, rumah susun sederhana sewa maupun milik, fasilitasi perumahan swadaya dan pengembangan kawasan permukiman, adalah di antara program-program yang menunjukkan kinerja yang belum melembaga dan berkelanjutan. Visi satu keluarga menghuni sebuah rumah layak huni tampaknya masih jauh dari harapan realisasi nyata. Pada kenyataannya, penyediaan rumah-rumah sederhana (RSH) dengan dukungan subsidi kredit pemilkan rumah (KPR) dengan harga jual maksimum yang dipatok (Rp 55 juta) masih belum terjangkau oleh lapisan besar masyarakat berpenghasilan rendah, kelompok miskin maupun mereka yang berpenghasilan tidak tetap dari sektor informal.
Tidak kunjung terpenuhinya kebutuhan perumahan segmen masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok miskin terutama di kawasan yang sedang mengkota (urbanised area) terjadi di tengah kesan adanya keberlanjutan program subsidi KPR dan pengadaan blok demi blok Rusunawa. Padahal sebenarnya, program subsidi KPR yang berasal dari subsidi APBN setiap tahun, lebih berhasil memperlancar bisnis properti para pengembang, ketimbang semakin menjangkau kemampuan dan kebutuhan perumahan rakyat berpenghasilan rendah dan miskin. Hal ini terlihat indikasinya dari luas permukiman kumuh di perkotaan yang semakin bertambah dari tahun ke tahun (sekitar 47.000 Ha tahun 2000, 54.000 Ha pada tahun 2004 dan menjadi 59.000 Ha pada tahun 2009, BPS).
Penambahan luas permukiman kumuh dan informal adalah pertanda tidak adanya pilihan bagi kaum miskin kota yang hendak bertempat tinggal di dekat tempat kerjanya, dengan pengeluaran untuk perumahan dan transportasi yang mampu mereka jangkau. Selain menghuni lahan-lahan terlarang dan terlantar yang tidak terawasi, fenomena unsustainable housing and settlements ini terus semakin memadatkan dan memperluas permukiman kumuh dan semakin memiskinkan warga masyarakat. Pertambahan luas permukiman kumuh ini seiring pula dengan laju urbanisasi yang tetap tinggi di kota-kota besar dan metropolitan di tanah air. Sehingga selain mengindikasikan kelemahan program perumahan rakyat, menunjukkan pula lemahnya pengelolaan proses urbanisasi di tanah air.
Meskipun telah diamanatkan Undang-undang untuk segera mengatasinya dan setiap tahun tidak sedikit anggaran pembangunan dikerahkan, penanganan permukiman kumuh yang tak kunjung menunjukkan hasil ini mengindikasikan pula tidak pernah terjadinya proses formalisasi/ regularisasi dari perumahan dan permukiman informal, yang merupakan wujud permukiman masyarakat MBR dan miskin, ke dalam pola-pola pembangunan kota yang formal. Ketiadaan kajian-kajian dari berbagai program perumahan yang dijalankan pemerintah menyebabkan rendahnya stabilitas kebijakan dalam jangka panjang, dan menjadikan program perumahan dan permukiman bersifat sporadis tahunan dan tidak melembaga. Ancaman ketidakberlanjutan dapat saja terjadi sewaktu-waktu, seperti ketika dilikuidasinya Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 1999-2004, dan menurunnya peran dan melemahnya kapasitas Perum-Perumnas dan lembaga-lembaga terkait perumahan lainnya.
Ketidakberlanjutan program-program pemerintah ini bukan hanya menunjukkan porsi suplai perumahan formal yang tetap kecil sebesar 10 - 20 % dibanding pengadaan yang dilakukan masyarakat secara swadaya sebesar 80 - 90%, namun keadaan ini mengindikasikan tidak pernah terbangunnya sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) secara komprehensif dan terintegrasi antar ragam multi moda, sehingga lebih bisa menjamin target rumah yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 28-H UUD 1945.

1.    Absennya Sistem Penyediaan Perumahan (Housing Delivery System)
Amanat Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat di bulan Agustus 1950, yaitu bahwa cita-cita penyediaan perumahan rakyat dapat dicapai dalam kurun waktu setengah abad, pada dasarnya mengandung makna bukan hanya untuk mencapai setiap keluarga Indonesia tinggal di sebuah rumah layak huni, ataupun bukannya bermakna terbangunnya berjuta-juta rumah sederhana, namun itulah kurun waktu yang diperlukan untuk membangun suatu sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) yang mantap dan responsif terhadap dinamika kebutuhan perumahan rakyat. Artinya, sistem penyediaan perumahan yang telah mampu menuntaskan masalah kekurangan rumah dan sekaligus mampu mengikuti perkembangan kebutuhan perumahan seiring pertambahan penduduk dan proses urbanisasi yang cepat. Untuk itu, sistem penyediaan perumahan perlu dibangun di atas kerangka sistem regulasi, sistem kelembagaan, dan kapasitas yang semakin memadai dan terintegrasi dalam suatu tata hubungan (linkages) dari semua pelaku (agents) di bidang perumahan dan permukiman.
Pengembangan sistem penyediaan perumahan bukanlah dilakukan dengan cara menyusun dokumen-dokumen pedoman yang tidak mewujud secara efektif di lapangan. Bukan pula dengan menyediakan beragam paket-paket program yang lebih berorientasi proyek semata. Praktek penyelenggaraan perumahan seperti ini sudah menunjukkan hasilnya, yaitu bahwa kebutuhan perumahan seluruh rakyat selama 60 tahun sejak 1950 hingga kini tidak kunjung dapat dipenuhi. Selain tentunya, belum kunjung melembaganya sistem penyediaan perumahan, yang ditunjukkan dengan subsidi kredit pemilikan rumah yang selalu setiap tahun ditambal dari anggaran pembangunan (APBN), perusahaan publik yang lemah (Perum-Perumnas), dan Kementerian Perumahan Rakyat yang secara berulang dibubarkan dan dibentuk kembali.
Ketika di tingkat nasional saja semua elemen sistem penyediaan perumahan rakyat tidak kunjung terbangun, maka sungguh sulit dibayangkan bagaimana sistem penyediaan perumahan di daerah dapat segera dibangun. Negara Indonesia adalah negara kesatuan dan bukan berbentuk federasi. Artinya, peran kepamongan dari pemerintah nasional untuk memberdayakan sistem penyediaan perumahan yang terpadu di berbagai tingkatan kepemerintahan sangatlah esensial. Ditetapkannya peraturan mengenai pembagian tugas antara pemerintah nasional dan daerah dalam urusan perumahan sungguh tidak dapat dijadikan langkah awal yang efektif untuk membangun sistem penyediaan perumahan rakyat. Mengapa? Karena latar-belakang ditetapkan peraturan tersebut lebih berorientasi melempar tanggung jawab anggaran semata. Sedangkan pembangunan sistem penyediaan perumahan lebih bertumpu pada proses institusionalisasi moda-moda penyediaan permahan yang mantap. Yaitu moda perumahan yang terpadu antara pusat dan daerah dan terutama antara sektor publik dan masyarakat. Artinya di sini, meskipun tidak untuk dipertentangkan, keberadaan modal kelembagaan (institutional capital) jauh lebih penting ketimbang modal biaya (financial capital) yang selalu tersedia dalam jumlah tertentu.
Jika kita melihat kenyataan di lapangan, laju formasi permukiman kumuh dan informal (liar) terus meluas dan berkembang tidak terbendung. Ketika subsidi KPR, Rusunawa dan Rusunami akhirnya jatuh di tangan yang tidak berhak, ketika pasar perumahan sekunder terkendala pasar perumahan primer yang belum kondusif (insecure), kredit mikro perumahan tidak menunjukkan progresifitas pengentasan yang berarti, ketika pengembangan kawasan melalui kasiba-lisiba yang telah ditetapkan di dalam undang-undang namun tidak dijalankan, maka penyelenggaraan perumahan sesungguhnya yang terjadi adalah semata memberi paket-paket program secara terus menerus tanpa membangun kelembagaan sistem penyediaan perumahan yang efektif. Baik di tingkat nasional maupun daerah, dimana masalah skala penanganan menjadi isu penting pula (the strategic notion of scale).
Sebagai hasilnya, pasar perumahan rakyat tidak berkembang secara sehat. Praktek yang terjadi adalah pasar properti komersial yang lebih menempatkan perumahan sebagai komoditi. Urusan perumahan rakyat pun ikut terseret ke dalam rimba bisnis properti yang spekulatif. Akibatnya, berbagai sumberdaya publik berupa tanah, prasarana, bangunan, pembiayaan hingga perijinan berubah menjadi objek perdagangan dan akan habis tak terencana dan tanpa kontribusi berarti terhadap pengembangan sistem dan proses institusionalisasi pengelolaan kota dan lingkungan. Pada gilirannya, keadaan inilah yang berkontribusi pada terbentuknya lingkungan binaan yang tidak berkelanjutan, yaitu lingkungan binaan yang selalu menghasilkan telapak ekologis yang melampaui daya dukung lingkungannya.
Selain sistem yang belum terbangun, kondisi tersebut menunjukkan pula peran pemerintah sebagai regulator yang belum berjalan secara efektif. Isunya kemudian, bukan lagi antara peran pemerintah sebagai regulator dan operator seperti yang banyak diwacanakan selama ini. Namun bentuk sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) seperti apa yang efektif dan perlu dibangun secara progresif? 

2  Konsep Dasar Multi-Moda Penyediaan Perumahan  
Sistem penyediaan perumahan yang dibangun secara terus menerus menempatkan peran pemerintah untuk merespon dan meregulasi pasar perumahan secara komprehensif. Bukan hanya bersandar pada pasar properti komersial yang spekulatif dan liberal. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan intervensi efektif untuk meregulasi pasar perumahan menuju pasar perumahan yang berimbang dan berkeadilan. Sedangkan pasar perumahan yang berimbang dan berkeadilan hanya dapat dikembangkan melalui pengenalan adanya multi-moda penyediaan perumahan.
Sistem Penyediaan Perumahan dikembangkan di atas pengenalan adanya beragam moda penyediaan perumahan. Pertanyaannya kini, apa definisi konseptual mengenai multi-moda penyediaan perumahan rakyat? Keivani dan Werna (2001) dalam artikelnya di jurnal Progress in Planning menulis penjelasan sebagai berikut:
Modes of housing provision can be defined by the processes through which such provision is achieved. A useful analytical tool for identifying and examining these processes is the concept of structures of provision which is based on the identification of social relations and interactions of agents involved in all aspects of housing provision, i.e. production, exchange and consumption (Ball and Harloe, 1992; Healey and Barret, 1990; Ball, 1983, 1986). The key to understanding the processes involved in land and property development, including housing, is identified as the relationship between the interests, strategies and actions of agents involved in land development and the socioeconomic and political framework including values regarding land, property, buildings and the environment which governs or structures their decisions.
Moda-moda penyediaan perumahan diartikan sebagai suatu proses dan cara-cara tertentu dalam penyediaan perumahan, sedemikian sehingga tujuan penyediaan dapat dicapai. Oleh karena itu, ada suatu kebutuhan untuk sungguh-sungguh memahami pelaku-pelaku (agents) dan hubungan-hubungan (linkages) di dalam setiap arena moda penyediaan perumahan. Kesatuan simpul-simpul dan relasi-relasi ini dapat bersifat struktural hirarkis maupun struktural jejaring.
Dengan memahami pelaku-pelaku (agents) dalam suatu moda, maka akan dihadapkan pada cara-cara dan pola-pola bagaimana para-pelaku berupaya menguasai dan mengelola sumber-sumberdaya (tanah, infrastruktur, biaya, perijinan, kewenangan kebijakan, kewenangan anggaran, hingga material dan teknologi) untuk kemudian mengambil keputusan-keputusan dan melakukan serangkaian aksi-aksi dalam menghasilkan produk-produk perumahan dan permukiman, yang dipengaruhi oleh bagaimana motif, kepentingan dan strategi-strategi yang digunakan. Pelaku-pelaku ini meliputi perusahaan perumahan sektor publik, pengembang swasta, para pejabat bidang perumahan di tingkat nasional, para pejabat tinggi di daerah, para politisi terkait, para investor, para pemilik tanah, konsultan dan kontraktor, kelompok-kelompok masyarakat dan para aktifis pendamping masyarakat, para akademisi dan kalangan profesional, dan para jurnalis media massa.
Sedangkan upaya untuk memahami hubungan-hubungan (linkages) dalam suatu moda akan membawa pada kerangka-kerangka regulasi dan sistem kelembagaan terkait yang ada di suatu negeri, baik di tingkat nasional, provinsi maupun daerah, yang mempengaruhi suatu proses dan pola penyediaan perumahan. Termasuk pula bagaimana kebijakan dan bentuk-bentuk intervensi pemerintah baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro ekonomi. Tidak terlepas pula, dan tidak kalah pentingnya, adalah bagaimana persepsi dan nilai-nilai yang ada dan tumbuh di masyarakat terhadap pola-pola hubungan tersebut.
Relasi antara para pelaku dan kaitan-kaitannya adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan dialektis, yang tergantung pada adanya upaya-upaya aktif dan terus menerus dari pelaku-pelaku untuk berinteraksi satu sama lain, baik secara individual maupun organisasi, hingga akhirnya membentuk suatu jejaring tertentu (networks).
Sejak jejaring ini secara aktif mempengaruhi kebijakan perumahan, maka interaksi ini menghasilkan yang disebut sebagai jejaring kebijakan perumahan (housing policy networks, Siregar, 2006). Di antara jejaring kebijakan yang terbentuk, jejaring yang cukup kuat terbentuk adalah jejaring kebijakan pembiayaan perumahan (housing finance policy networks) dan jejaring kebijakan pengadaan tanah untuk perumahan (housing land policy networks), serta jejaring kebijakan perumahan yang berorientasi tujuan (objective setting housing policy networks). Jejaring pembiayaan perumahan dan jejaring tanah perumahan adalah jejaring yang konsisten, yang ditandai oleh keluaran kebijakan subsidi KPR dan kemudahan pengadaan tanah yang konsisten pula (policy networks affect policy outcomes). Sedangkan jejaring kebijakan tujuan pembangunan perumahan (ideal) relatif rentan, timbul dan tenggelam. Perkembangan kebijakan perumahan (public housing policy) dimana Perum-Perumnas sebagai public housing corporation berada di lingkaran jejaring kebijakan berorientasi tujuan pembangunan perumahan tersebut, juga menjadi bagian yang tidak terus berkembang semakin mantap.
Sebagai kesimpulan, pertama, adanya pemahaman akan pelaku (agents) dan hubungan (linkages) dari sudut pandang ini akan menampakkan adanya perbedaan-perbedaan antara suatu moda dengan moda lainnya.
Kedua, bentuk jejaring kebijakan perumahan yang ada ditentukan oleh keseimbangan dan tarik menarik antara peneguhan negara untuk mengamankan kepentingan-kepentingan objektif dari moda-moda utama untuk mencapai tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat, dengan kepentingan-kepentingan individual dari para pihak yang selalu berupaya untuk melanggengkan kepentingannya yang didorong oleh motif-motif ekonomi.
Ketiga, sebagai implikasi terhadap praktek perumahan, moda-moda penyediaan perumahan tidak dapat diartikan secara sangat sederhana sebagai proyek-proyek konstruksi gedung-gedung perumahan semata, ataupun sebagai upaya untuk mengikuti arus pasar perumahan komersial semata. Pembangunan rumah susun, misalnya. Proses konstruksi gedung rumah susun adalah bagian elemen teknis dari suatu moda tertentu. Bukan sebaliknya, moda penyediaan perumahan adalah elemen dari konstruksi gedung rumah susun.

3  Kajian Umum Multi-Moda Penyediaan Perumahan untuk Rakyat
Mengapa multi-moda penyediaan perumahan perlu dikembangkan sebagai acuan pengembangan kerangka regulasi, kebijakan dan strategi, serta kelembagaan di bidang perumahan di tanah air? Jawabannya adalah pertama, agar terbangun arena-arena dan jejaring-jejaring kebijakan dan implementasinya, yang sesuai dengan tujuan bersama, karakter dan kepentingan masing-masing pelaku pembangunan. Kedua, berdasarkan lingkup moda-moda yang jelas tersebut, agar utilisasi sumber-sumberdaya publik (tanah, infrastruktur, biaya, dan anggaran pembangunan) dapat dikelola secara efisien dan efektif sesuai kebutuhan objektif pembangunan perumahan untuk seluruh rakyat. Ketiga, yaitu agar tujuan pembangunan perumahan rakyat dapat diselenggarakan secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Dengan mengacu adanya pola-pola tertentu yang terbentuk dari interaksi para-pelaku pembangunan perumahan yang dilatarbelakangi oleh tujuan-tujuan dan kepentingannya, maka multi-moda penyediaan perumahan rakyat dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini.
 
 
Kajian berikut ini mengacu pada tujuan-tujuan pentingnya pembagian moda-moda penyediaan perumahan seperti di atas. Memperhatikan praktek penyelenggaraan perumahan yang dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha swasta, setidaknya ada 4 (empat) moda atau bentuk-bentuk penyedian perumahan, yaitu: Moda Perumahan Swadaya, Moda Perumahan Umum, Moda Perumahan Sosial dan Moda Perumahan Komersial.


Perumahan swadaya adalah moda penyediaan perumahan yang paling banyak memproduksi perumahan rakyat di tanah air. Berdasarkan data produksi perumahan secara formal oleh Perum-Perumnas dan pengembang swasta yang lebih kurang hanya memenuhi 15 % dari kebutuhan perumahan setiap tahunnya, berarti ada lebih kurang 85% pengadaan perumahan dilakukan melalui moda perumahan swadaya. Baik dilakukan secara formal individual maupun informal. Para pimilik tanah yang memegang hak status yang jelas kemudian mengurus ijin bangunan ketika membangun rumahnya adalah tergolong moda perumahan swadaya formal (individual). Sedangkan warga yang menempati bantaran sungai dan lahan kosong kemudian membangun hunian mereka sendiri, tergolong perumahan swadaya informal.
Karakter khas dari moda perumahan swadaya adalah mereka membangun rumahnya sesuai dengan kebutuhannya (highly customized). Dengan memperhatikan pembangunan perumahan merupakan hubungan alami antara manusia  dengan lingkungannya, maka pembangunan perumahan secara informal dan tidak terencana adalah suatu konsekwensi logis pemenuhan kebutuhan alami tersebut. Sehingga berangkat dari pemikiran ini, upaya yang perlu dilakukan adalah membangun sistem yang dapat mempercepat proses regularisasi dan formalisasi proses merumahkan rakyat dan bangsa (housing the people, housing a nation).
Perumahan umum dan perumahan sosial adalah moda-moda penyelenggaraan perumahan yang dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah nasional maupun pemerintah daerah. Di negara-negara sosialis seperti China dan Rusia (di era Uni Soviet), negara lebih memihak pada moda perumahan sosial. Di negara-negara kesejahteraan (welfare state) seperti Swedia, Finlandia dan Norwegia, Jerman, Jepang dan Singapura, keberpihakan lebih ditujukan kepada moda perumahan umum dan terbukti relatif sukses membawa ekonomi negara-negara tersebut sebagai ekonomi yang kokoh didukung oleh nilai lingkungan binaan yang semakin terapresiasi.
Sedangkan moda perumahan komersial atau real estat adalah semua praktik penyediaan perumahan yang diadakan oleh pengembang swasta secara terencana. Moda real estat menjadikan produksi perumahan sebagai suatu moda bisnis yang terorganisir. Salah satu ciri khas pengadaan perumahan real estate (komersial) adalah adanya motif mencari untung yang layaknya menjadi motif dunia usaha. Kesamaannya dengan perumahan umum adalah bahwa baik perumahan umum maupun perumahan komersial diselenggarakan secara terencana dalam skala kecil hingga skala besar dan bersifat formal.
Di negara-negara demokrasi yang menonjol seperti Amerika Serikat, kebebasan individual warganya lebih menonjol dengan moda perumahan swadaya dan perumahan komersial, namun dilakukan di dalam iklim regulasi dan sistem yang sudah melembaga. Namun demikian tumpuan pada sistem pembiayaan dan penjaminan yang berlebihan di Amerika Serikat ternyata hanya menghasilkan ekonomi gelembung (tidak riil) dan terbukti berkontribusi merubuhkan bangun ekonomi Amerika Serikat. Hanya di negara-negara yang sedang berkembang saja moda perumahan komersial biasanya mendominasi di tengah iklim regulasi dan kelembagaan yang sangat lemah.


***
 
Pustaka:
Angel, Shlomo, 2000, Housing Policy Matters, Oxford University Press.
Beng, Yap Chin, 2010, Affordable Housing Options for the People, Presentation at International Housing Conference, Singapore, Housing Development Board (HDB).
Housing Development Board (HDB), 1985, Housing A Nation, 25 Years Public Housing in Singapore,  Maruzen Asia, Singapore.
Kaivani, Ramin, Edmundo Werna, 2001, Modes of housing provision in developing countries, Progress in Planning 55 (2001), p 65-p118, Pergamon, Elsevier Science Ltd.
Kementerian Perumahan Rakyat, 1992, Rumah untuk Seluruh Rakyat.
Houlihan, Barrie, 1988, Housing Policy and Central-Local Government Relations, Avebury, Gower Publishing Company Limited, England.
Pugh, Cedric, 2001, The Theory and Practice of Housing Sector Development for Developing Countries Housing Studies, Vol. 16, No. 4.
Siregar, M. Jehansyah, 2006, Identifying Policy Networks in the Development of Indonesian Housing Policy, Disertasi pada Urban Planning and Regional Development Laboratory, Department of Urban Engineering, The University of Tokyo, Jepang.
Struyk, R; Hoffman, M dan Katsura. H (1990); The Market for Shelter in Indonesian Cities. The Urban Institute Press, Washington DC
Turner, John F C, 1983, From Central Provision to Local Enablement: New Directions for Housing Policies, Habitat International, Vol. 7 No.5, Pergamon Press Ltd.
Turner, John F C, 1986, Future Directions in Housing Policies, Habitat International, Vol. 10, No.3, Pergamon Press Ltd.
UNCHS, 1990, The Global Strategy for Shelter to the Year 2000.
UNCHS, 2005, Financing Urban Shelter, Global Report on Human Settlements 2005
UN-ESCAP dan UN-HABITAT, 2008, Housing the Urban Poor in Asian Cities, Quick Guide for Policy Makers.