Senin, 25 April 2011

Tak setuju UU Perumahan, silahkan Judicial Review

Senin, 25 April 2011 | 13:45  oleh Dani Prasetya
UU PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
DPR: Tak setuju UU Perumahan, silahkan judicial review

JAKARTA. Komisi V DPR mempersilakan pihak yang tidak setuju dengan isi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). DPR menilai, undang-undang tersebut sudah mempertinbangkan secara komprehensif berbagai pemikiran dan masukan.

Anggota Komisi V DPR Abdul Hakim bersikukuh semua materi dan ketentuan dalam undang-undang itu sudah sesuai dengan norma yang berlaku. "Norma atau ketentuan mana yang tidak disetujui? Jika memang ada, judicial review saja ke MK," ujarnya, Senin (25/4).

Undang-undang tersebut itu merupakan amandemen dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Regulasi itu sempat mengalami ganjalan saat menuju pengesahannya pada Januari 2011 karena dinilai tidak mengakomodasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam mendapat akses perumahan.

Ada sekitar tujuh pasal dalam undang-undang yang tidak menjamin pemenuhan perumahan layak bagi MBR. Apalagi, alokasi perumahan layak huni yang dimaksud dalam regulasi itu masih sebatas bagi MBR yang memiliki batasan daya beli.

Pakar Perumahan dan Permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar menjelaskan, definisi MBR masih dikenali secara sangat sederhana melalui istilah layak atau tidak layak oleh bank. Konsep tersebut yang selama ini dikenal memudahkan bisnis perbankan, pengembang, dan pemerintah. "Sama sekali tidak akan mampu menjangkau kebutuhan riil perumahan rakyat dari kalangan miskin dan tak mampu," tutur dia.

http://nasional.kontan.co.id/v2/read/1303713944/65652/DPR-Tak-setuju-UU-Perumahan-silahkan-judicial-review


Revitalisasi Perumnas tak jelas


Kebijakan sistem penyediaan perumahan tak tertata baik

OLEH SITI NURAISYAH DEWI

JAKARTA Pemerintah dinilai belum memiliki sikap dan arah kebijakan yang tegas untuk mendukung revitalisasi Perum Perumnas sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC).
.
Pengamat perumahan dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar mengatakan ketidakjelasan sikap pemerintah menyebabkan kebijakan perumahan dan perkotaan semakin kehilangan arah.
.
"Kalau kami perhatikan di negara maju, masalah perumahannya dikembangkan dalam pendekatan korporasi misalnya The Housing and Development Board Singapura, Urban Renaissance Jepang," tutur Jehansyah kepada pers, beberapa waktu lalu.
Menurut Jehansyah, masalah yang ada sekarang bukan teknis mengenai berapa tower unit rumah yang susun yang dibangun, tetapi mengenai kebijakan sistem penyediaan perumahan {housing delivery system) yang baik.
.
Lebih lanjut, dia menuturkan revitalisasi peran Perumnas sebagai NHUDC adalah peran yang paling logis jika Perumnas diberikan mandat penyelenggaraanhousing delivery system dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan rakyat.
Selain itu. kata Jehansyah, belum ada solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga miskin sebagaimana diinstruksikan Presiden.
.
Penyebabnya adalah belum adanya kebijakan yang mendukung pembentukan lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ile-gal.
.
Direktur Pemasaran Perum Perumnas Teddy Robinson Siahaan mengatakan perusahaan pelat merah tersebut memang berkeinginan merevitalisasi perannya sebagai badan yang membangun dan bertanggung jawab atas pengadaan perumahan rakyat.
.
"Perumnas ingin mengembalikan tugas pokoknya dan fungsinya terhadap penyelenggaraan perumahan rakyat. Selama ini Perumnas selalu dikaitkan dengan rumah murah, Perumnas sendiri telah tersebar di seluruh Indonesia." kata Teddy saat dihubungi Bisnis, kemarin.
.
Selain itu, menurut Teddy, revitalisasi peran Perumnas ditambah dengan improvisasi menambah cadangan lahan setiap tahun. Setiap membangun pada lahan yang luas, sambungnya, Perumnas selalu menyisihkan sebagai cadangan lahannya.
.
Dia menambahkan cadangan lahan tersebut, nantinya pada 15 tahun hingga 20 tahun lagi akan menjadi emas. Saat ini. Perumnas memiliki cadangan lahan sekitar 2.200 hektare yang tersebar di seluruh Indonesia.
.
Sayangnya, cadangan lahan yang dimiliki oleh Perumnas masih jauh dari cukup untuk kebutuhan yang mencapai 20.000 hektare
.
Penyisihan anggaran
.
Tak heran, perusahaan pelat merah itu sempat mendesak pemerintah menyisihkan dana anggaran pendapatan dan belanja negara untuk keperluan pembebasan tanah bagi opti-malisasi pembangunan rumah sejahtera.
.
Teddy sempat mengeluhkan sulitnya memperoleh tanah dan harga yang terus terkerek naik, sedangkan cadangan lahan dari tahun ke tahun semakin menipis.
.
Padahal idealnya pemanfaatan tanah baru dilakukan 3 hingga 4 tahun setelah pembelian sehingga ada kenaikan harga tanah yang cukup signifikan.
.
"Dana APBN yang dibutuhkan untuk 10.000 rn2 tanah sekitar Rp4 triliun, dengan asumsi tiap m2 tanah dikenakan harga sekitar Rp40.000, dengan kapasitas tanah seluas itu, baru kita bisa punya land bank untuk cadangan 3 hingga 4 tahun ke depan,"ujarnya.
.
Sejauh ini, cara yang dilakukan Perumnas dalam pengadaan lahan di daerah, kata Teddy, Perumnas membeli atau bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.
.
"Paling cepat dan mudah pada pengadaan lahan di daerah dengan bekerja sama dengan pemda yaitu pemda menyediakan tanah. Perumnas yang membangun perumahan murah yang konsumennya sebagian besar pegawai negeri sipil (PNS) setempat dengan harga yang lebih murah," imbuhnya.
.
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat Sri Hartoyo pernah mengatakan sebagai BUMN di bidang perumahan, Perumnas seharusnya berperan lebih optimal dalam merespons program pembangunan rumah murah dengan mengesampingkan keuntungan layaknya pengembang swasta.
.
Menurut dia, pembangunan rumah sangat murah berpotensi tidak dilirik pasar. Karena itu, peran Perumnas dalam program tersebut sangat strategis.
.
Kementerian Perumahan Rakyat menjamin apabila program ini berjalan sesuai dengan target, insentif fiskal dapat diberikan seperti pembebasan PPN dan pembayaran PPh final hanya 1% seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.31/ PMK.03/20U mengingat harga rumah ini di bawah Rp70 juta. (M.ruimisvah@btsnis.co.uH) -

http://202.52.131.11/node/652433


Sabtu, 23 April 2011

KLARIFIKASI POSISI INDONESIA PADA APMCHUD

SELECTED NEWS

Thursday, 14 April 2011 12:43

Jakarta, 14/4/2011 (Kominfonewscenter) – Dalam beberapa pemberitaan disebutkan di berbagai forum internasional, atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) mengatakan Indonesia senantiasa berkomitmen pada masalah urbanisasi. Demikian juga, atas nama Ketua Konferensi Menteri-Menteri Perumahan dan Pembangunan Perkotaan se-Asia Pasifik (APMCHUD/Asia Pacific Ministerial Conference in Housing and Urban Development), Menpera menyampaikan keberhasilan kawasan Asia Pasifik dalam merumuskan Deklarasi Solo 24 Juni 2011 meningkatkan kerja sama di bidang permukiman dan urbanisasi.
.
“Tanpa mengurangi arti posisi terhormat Indonesia di forum tersebut, kiranya ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi dalam hal ini”, kata anggota KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M. Jehansyah Siregar, Ph.D di Jakarta Rabu (13/4). Jehansyah menjelaskan secara detail klarifikasi tersebut menyangkut pertama, memang disadari urusan perumahan selalu terkait dengan urusan pembangunan kota dan pengelolaannya.
.
Urusan perumahan (kota) dan pengelolaan kota adalah dua hal yang sangat kompleks, sehingga perlu dikelola dengan sangat seksama dan objektif, terlepas dari campur tangan kepentingan birokrasi maupun politik praktis. Namun justru di sinilah permasalahan yang dihadapi Indonesia, yaitu arah kebijakan, pola pengelolaan kota-kota dan mekanisme penyediaan perumahan rakyat yang masih sangat lemah.
.
“Dalam kondisi backlog perumahan dan permukiman kumuh perkotaan yang semakin meningkat, kesediaan Indonesia menjadi Ketua APMCHUD dapat dinilai sangat berani”, kata Jehansyah yang juga Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung). Menurut Jehansyah, jika dibanding dengan kota-kota lain di negara-negara Asia Pasific, kota-kota Indonesia sebenarnya masih jauh dari berkelanjutan, masih jauh dari nyaman dan tingkat pelayanan publik yang masih sangat rendah.
.
Kedua, meskipun urusan perumahan terkait dengan perkotaan, namun tupoksi Kemenpera tidak memiliki portofolio urusan perkotaan, sebagaimana ada di Kemendagri (Direktorat Perkotaan) maupun di Kemen PU (DJPR dan DJCK). “Sehingga kepemimpinan Kemenpera sebagai Ketua APMCHUD rasanya kurang memadai dan tidak akan efektif”, katanya.
.
Ketiga, kelemahan posisi Menpera dalam kepemimpinan urusan perumahan yang dipadukan dengan urusan perkotaan terlihat pada kesempatan perumusan Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP No. 1/2011) tahun lalu. Sebenarnya sudah muncul usulan agar undang-undang ini memadukan kedua hal ini, dengan mengatur urusan perumahan dan perkotaan secara terpadu. Namun karena memang Kemenpera sebagai wakil pemerintah dalam perumusan ini tidak memiliki portofolio dalam urusan perkotaan, dan kelemahan dalam mengajak instansi lainnya pula untuk merumuskan bersama-sama, maka akhirnya urusan perumahan gagal dipadukan dengan urusan perkotaan di dalam undang-undang ini.
.
Keempat, di dalam prakteknya, justru banyak proyek pembangunan menara rusunawa yang dibangun Kemenpera tidak terencana sejalan dengan rencana kota yang baik. Banyak rumah susun dibangun di lahan kecil-kecil dan terpencar-pencar. Tidak sedikit rumah susun dibangun hanya setengah twin-blok atau satu menara saja di lahan 3000 sampai dengan 5000 m2. Hal ini terpaksa dilakukan karena pengadaan tanah dan konstruksi yang tidak terpadu di dalam suatu sistem penyediaan perumahan publik.
Akibatnya, pembangunan menara-menara rusunawa cenderung merusak daya dukung prasarana dan fasilitas kota.
.
Demikian pula dengan pola yang hanya mengandalkan mekanisme perumahan komersial dengan menyerahkan urusan dari hulu hingga hilir sepenuhnya kepada para pengembang swasta, akhirnya menghasilkan tata wilayah dan perkotaan yang terpencar (scattered) dan menjalar-jalar (sprawl). Pembangunan kawasan permukiman skala besar dan kota-kota baru untuk golongan menengah atas menghasilkan tata wilayah perkotaan yang tidak berkelanjutan.
.
Kelima, belum ada sikap dan arah kebijakan yang tegas dari Kemenpera untuk mendukung revitalisasi Perumnas sebagai NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) sebagaimana sudah diusulkan oleh Perumnas sendiri. Padahal, sebagaimana di negara-negara yang sudah maju urusan perumahannya (HDB di Singapura, UR di Jepang dan KNHC di Korea), revitalisasi peran Perumnas sebagai NHUDC adalah peran yang paling logis jika Perumnas diberikan mandat penyelenggaraan public housing delivery system dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan rakyat.
.
Keenam, demikian pula, belum ada kebijakan Kemenpera yang mendukung pembentukan lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system, dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ilegal perkotaan sebagaimana contoh di negara-negara lain (CODI di Thailand, URA di Singapura dan HCA di Inggris).
.
Ketidaksiapan ini semakin tampak dengan belum adanya solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga-keluarga miskin di kolong jembatan (permukiman kumuh ilegal) sebagaimana diinstruksikan Presiden SBY beberapa waktu lalu. Jehansyah menilai semua kenyataan itu menunjukkan langkah-langkah Kemenpera belum didukung oleh arah kebijakan yang efektif, sistem kelembagaan, maupun kerangka regulasi yang komprehensif dan terpadu dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan untuk seluruh rakyat dan mencapai kota-kota yang bebas permukiman kumuh.

”Jika demikian, kegiatan-kegiatan tersebut hanyalah menyisakan keberanian Kemenpera untuk memimpin APMCHUD sebagai tidak lebih dari seremoni belaka:, kata Jehansyah. Jehansyah mengemukakan, agar posisi Indonesia di APMCHUD tidak hanya sebatas seremonial, dalam arti tidak semakin jauh angan-angan dari kenyataan, perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pembangunan perumahan dan perkotaan secara menyeluruh.

Sebagai langkah awal perlu dilakukan reposisi terhadap peran Kemenpera, peran Perumnas, pembentukan lembaga Perumahan Komunitas, maupun reposisi lembaga-lembaga terkait pembangunan perumahan dan pembangunan kota-kota, yang sejalan pula dengan pemantapan kerangka regulasinya secara terpadu. (myk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1286:klarifikasi-posisi-indonesia-pada-apmchud&catid=37:luar-negeri&Itemid=2

Kamis, 21 April 2011

Arah Kebijakan Rumah Susun dan Penataan Kota: Mau Kemana?

(Materi Press-release Visi Indonesia 2033 di Jakarta, Rabu, 20 April 2011)

Praktek penyediaan perumahan dan pengelolaan pembangunan perkotaan di tanah air masih menunjukkan wajah permukiman dan kota-kota yang suram dan penuh dengan ketidakadilan. Lingkungan permukiman dan perkotaan di tanah air bisa dikatakan sebagai anti-poor bahkan anti-urban, artinya bertentangan dengan pola hidup urban (kota) yang sesungguhnya. Padahal dalam konteks Indonesia yang masih banyak warganya yang tergolong miskin, seharusnya ada keberpihakan negara yang didasari oleh tujuan untuk menciptakan kota yang pro-poor dan berbudaya serta rumah layak untuk seluruh rakyat.
Salah satu potret kota yang anti-urban adalah wajah perumahan bersusun untuk golongan masyarakat bawah. Rumah-rumah susun sederhana (Rusuna) tidak terawat dan berubah menjadi kumuh adalah pemandangan nyata di kota-kota metropolitan tanah air. Pada gilirannya, rumah-rumah susun yang sedianya ditujukan sebagai manifestasi masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia, sebagaimana Danchi di kota-kota besar Jepang, Apartments di Inggris dan Flats di Amerika Serikat, akhirnya gagal dan justru berubah menjadi monumen yang menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan bangsa ini.

Beragam Masalah Tanpa Akar Masalah
Berdasarkan analisis media, banyak masalah yang dijumpai dalam pembangunan rumah susun, khususnya rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Di antara masalah yang sering diungkapkan adalah tidak dihuninya hingga ratusan menara rumah susun, baik di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, maupun di daerah lainnya. Padahal anggaran yang dikeluarkan negara semakin besar dan semakin banyak menara yang terus dibangun.
Beberapa masalah pada dasarnya bersumber dari sisi pasokan maupun kebutuhan. Dari sisi pasokan di antaranya adalah kendala penyediaan infrastruktur, utilitas dan fasilitas. Banyak menara rumah susun yang tetap dibangun tanpa dukungan utilitas listrik dan prasarana air bersih. Menara-menara hunian tersebut semakin tidak layak huni karena tidak dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, pendidikan maupun fasilitas ekonomi seperti pasar tradisional.
Sedangkan masalah yang muncul dari sisi kebutuhan adalah dikatakan sulitnya mengajak masyarakat berpendapatan rendah dan warga permukiman kumuh yang umumnya tergolong miskin untuk mau menghuni unit-unit rumah susun. Masyarakat miskin juga sering mendapatkan getahnya sebagai penyebab kekumuhan rumah susun. Mereka sering dipersalahkan karena dipandang tidak tertib, sulit diatur dan tidak memiliki budaya menghuni rumah susun.
Kalau kita perhatikan identifikasi masalah yang sering diungkapkan pihak pemerintah tersebut, bukankah sangat logis kalau warga sasaran tidak berkenan pindah dan menetap di rumah susun tersebut? Hal ini karena unit-unit, blok-blok, maupun lingkungan permukiman yang disediakan semuanya memang tidak layak huni dan tidak sesuai dengan pola kehidupan mereka. Oleh karena itu tidak mengherankan jika lingkungan blok-blok rusunawa tidak kunjung tumbuh menjadi permukiman yang berkelanjutan.
Sulitnya menyediakan tanah yang sesuai untuk pembangunan Rusunawa di daerah perkotaan, ditengarai pula sebagai masalah. Pemerintah pusat selalu mendesak pemerintah daerah untuk menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun gedung-gedung rumah susun yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah nasional. Pola kerjasama yang tidak jelas seperti ini akhirnya menyebabkan pemda-pemda kesulitan melepas tanah miliknya yang terbatas untuk pembangunan rumah susun. Menyerahkan aset daerah untuk dikelola di dalam proyek-proyek pemerintah nasional tidak bisa dilakukan begitu saja. Muaranya, serah terima Rusunawa dari Pempus ke Pemda selalu bermasalah dalam penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), baik secara prosedur maupun tertib administrasi.
Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik dan tidak berkembang menjadi aset negara dan aset publik yang terus meningkat kualitasnya dan menjadi solusi beragam masalah sosial-ekonomi-lingkungan kota. Rumah-rumah susun malah akhirnya turut menambah masalah sosial-ekonomi-lingkungan yang sudah ada.
Setelah kurang mendapat dukungan tanah dari pemerintah daerah, pengadaan paket-paket gedung rumah susun mencari lokasinya yang lain di lahan-lahan milik perguruan tinggi, pesantren, tentara dan polisi. Kelompok sasaran yang sudah ada, kejelasan instansi, dan kesanggupan mengelola menjadi faktor pendorong untuk memilih lahan-lahan ini. Akhirnya terjadilah salah sasaran karena bagaimanapun mahasiswa dan prajurit bukanlah kelompok prioritas sasaran sektor perumahan rakyat.
Masalah pembangunan rusunawa tidak berhenti sampai di sini. Pemerintah pusat selalu menimpakan masalah kepada Pemda, PLN, PDAM dan warga masyarakat sendiri. Pemda dinilai kurang mendukung, baik dalam alokasi anggaran, penyediaan tanah, kelengkapan utilitas, subsidi pemeliharaan fasilitas, maupun dalam upaya mengajak warga MBR. Jika demikian, apakah logis beragam masalah rusunawa ini adalah kesalahan pihak Pemda, PDAM, PLN dan warga masyarakat tersebut? Di berbagai negara yang telah maju penyediaan perumahannya, tidak ada dijumpai kemampuan pemerintah daerah yang melebihi kemampuan pemerintah pusat dalam urusan perumahan.

Akar Masalah
Menghadapi beragam pernak-pernik masalah seputar pengadaan rumah susun ini kita dihadapkan pada situasi yang semakin kompleks. Apakah artinya kondisi dari masalah-masalah pembangunan rusuna yang berbelit ini? Banyak pihak dengan berbagai pandangannya angkat bicara dengan mengatakan pernak-pernik masalah teknis yang telah disebutkan di atas. Akhirnya upaya mencari pemecahan masalahnya kemudian menjadi tidak berarah dan terkesan tambal sulam karena tidak menyentuh akar masalahnya.
Kita tidak bisa membiarkan masalah ini terkatung-katung terus karena urbanisasi yang tinggi seiring pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi di daerah perkotaan perlu terus didukung oleh berbagai kebijakan pembangunan terpadu. Ini sebenarnya bukan masalah teknis teknologis dan bukan pula masalah produksi rumah secara kuantitatif.
Praktek penyediaan perumahan dan pengelolaan pembangunan perkotaan yang ada sekarang masih menunjukkan terjadinya fragmentasi kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah telah terperangkap di dalam sistem perumahan komersial dengan terlalu kuatnya peran pemerintah memfasilitasi pasar properti. Pemerintah juga terjebak dalam ritual tahunan penyediaan paket-paket proyek.
Sebenarnya masalah yang lebih mendasar lagi adalah lemahnya arah kebijakan dan pilihan instrumen serta pendekatan pengadaan perumahan dan pengelolaan perkotaan di tanah air. Masalah sistem penyediaan perumahan adalah absennya sistem perumahan publik (public housing delivery system) yang didukung sistem perumahan komunitas (community housing) di tanah air, baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Lembaga dan Sistem Penyediaan Perumahan Umum
Di bawah payung arah kebijakan perumahan rakyat (papan) di dalam GBHN, pengadaan rumah susun sederhana sejak tahun 1980-an dilakukan oleh Perumnas sebagai perusahaan publik pembangunan perumahan. Namun karena moda perumahan umum tidak kunjung dikembangkan, dan Perumnas tidak pernah diberi peran sebagai sentral moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun sederhana hingga kini tetap diadakan dalam skema proyek konstruksi. Akhirnya muncullah berbagai masalah seperti di atas.
Untuk itu, pengadaan rumah susun perlu dikembalikan kepada tujuan semula, yaitu pengembangan moda perumahan umum. Karena rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menyalahkan penghuni karena belum membudayanya tinggal di rumah bersusun. Melalui seleksi penghuni yang terencana baik maka penghuni rumah susun yang terpilih adalah mereka yang sudah siap menempati rumah bersusun. Kemandirian perumahan umum bertumpu pada akumulasi aset milik publik yang dibangun dan dikelola secara terencana dan berkelanjutan.
Dengan memperhatikan kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beragam masalah rumah susun sederhana muncul akibat fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan dan absennya moda perumahan publik. Moda perumahan umumlah yang perlu dikembangkan, dan bukan masalah rumah susunnya! Artinya, bukan membenahi segala masalah yang muncul sekedar untuk mendukung terlaksananya proyek-proyek konstruksi rumah susun.

Visi ke Depan Pembangunan Perumahan dan Perkotaan
Pembangunan perumahan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kota dan pengelolaannya. Komitmen menyediakan rumah layak huni bagi seluruh rakyat seiring sejalan dengan komitmen mengelola urbanisasi yang berkelanjutan. Urusan perumahan (kota) dan pengelolaan kota adalah dua hal yang sangat kompleks, sehingga perlu dikelola dengan sangat seksama dan objektif, terlepas dari campurtangan kepentingan birokrasi rente maupun politik praktis.

Namun justru di sinilah permasalahan yang dihadapi Indonesia, yaitu arah kebijakan, pola pengelolaan kota-kota dan mekanisme sistem penyediaan perumahan rakyat yang masih sangat lemah. Dalam kondisi backlog perumahan dan permukiman kumuh perkotaan yang semakin meluas, jika dibanding dengan kota-kota lain di negara-negara Asia Pasific, kota-kota Indonesia sebenarnya masih jauh dari berkelanjutan, masih jauh dari nyaman dan tingkat pelayanan publik yang masih sangat rendah.

Di dalam prakteknya, justru banyak proyek pembangunan menara rusunawa yang dibangun tidak terencana sejalan dengan rencana kota yang baik. Banyak rumah susun dibangun di lahan kecil-kecil dan terpencar-pencar. Tidak sedikit rumah susun dibangun hanya setengah twin-blok atau satu menara saja di lahan 3000 sd 5000 m2. Hal ini terpaksa dilakukan karena pengadaan tanah dan konstruksi yang tidak terpadu di dalam suatu sistem penyediaan perumahan publik. Akibatnya pembangunan menara-menara rusunawa cenderung merusak daya dukung prasarana dan fasilitas kota.

Demikian pula dengan pola yang hanya mengandalkan mekanisme perumahan komersial dengan menyerahkan urusan dari hulu hingga hilir sepenuhnya kepada para pengembang swasta, akhirnya menghasilkan tata wilayah dan perkotaan yang terpencar (scattered) dan menjalar-jalar (sprawl). Pembangunan kawasan permukiman skala besar dan kota-kota baru untuk golongan menengah atas menghasilkan tata wilayah perkotaan yang semakin tidak berkelanjutan, yang ditandai kemacetan, kekumuhan, dan banjir.

Belum adanya sikap dan arah kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk mendukung revitalisasi Perumnas sebagai NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) sebagaimana sudah diusulkan oleh Perumnas sendiri, menyebabkan masalah perumahan dan perkotaan semakin kehilangan arah. Padahal, sebagaimana di negara-negara yang sudah maju urusan perumahannya (HDB di Singapura, UR di Jepang dan KNHC di Korea), revitalisasi peran Perumnas sebagai NHUDC adalah peran yang paling logis jika Perumnas diberikan mandat penyelenggaraan public housing delivery system dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan rakyat. 

Belum adanya solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga-keluarga miskin di kolong jembatan (permukiman kumuh ilegal) sebagaimana diinstruksikan Bapak Presiden beberapa waktu lalu ditandai dengan belum adanya kebijakan yang mendukung pembentukan lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system, dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ilegal. Padahal sudah ada contoh di negara-negara lain seperti CODI di Thailand, URA di Singapura dan HCA di Inggris. 

Semua kenyataan ini menunjukkan langkah-langkah pemerintah yang belum didukung oleh arah kebijakan yang efektif, sistem kelembagaan, maupun kerangka regulasi yang komprehensif dan terpadu dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan untuk seluruh rakyat dan mencapai kota-kota yang bebas permukiman kumuh.

Untuk itu kiranya perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pembangunan perumahan dan perkotaan secara menyeluruh. Di dalam perumusan Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP No. 1/2011) tahun lalu sebenarnya sudah muncul usulan agar undang-undang ini memadukan kedua hal ini secara terpadu. Namun karena kelemahan koordinasi untuk merumuskan bersama-sama, maka akhirnya urusan perumahan gagal dipadukan dengan urusan perkotaan di dalam undang-undang ini.


***

Oleh: M. Jehansyah Siregar, Ph.D
Anggota Tim Visi Indonesia 2033

Penyediaan Perumahan Tak Sinkron dengan Tata Kota

Oleh Anugerah Perkasa & Siti Nuraisyah Dewi
Bisnis Indonesia.com
Published On: 20 April 2011
.
JAKARTA: Kebijakan penyediaan perumahan rakyat dinilai tidak sinkron dengan sistem pengelolaan kota, yang ditunjukkan dengan maraknya pembangunan proyek rumah susun yang justru merusak daya dukung prasarana serta fasilitas kota. Anggota Tim Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar mengatakan praktik penyediaan perumahan dan pengelolaan pembangunan perkotaan selama ini justru menegaskan terjadinya fragmentasi kebijakan dan sistem penyediaan perumahan rakyat.
.
"Di dalam praktiknya, justru banyak proyek pembangunan menara untuk rumah susun yang dibangun tidak terencana dan sejalan dengan rencana tata kota yang baik," ujar Jehansyah dalam diskusi bertajuk Arah Kebijakan Rumah Susun dan Penataan Kota: Mau Kemana?, hari ini.
.
Menurut dia, banyak pembangunan rumah di atas lokasi lahan yang relatif kecil dan terpencar-pencar. Hal tersebut, sambung Jehansyah, disebabkan tidak terpadunya sistem pengadaan tanah dan konstruksi.
.
Selain itu, papar Jehansyah, pemerintah hanya mengandalkan mekanisme perumahan komersial dengan menyerahkan urusan dari hulu hingga hilir sepenuhnya pada pengembang swasta.
.
Dia mengungkapkan hasil dari pembangunan yang menyerahkan sepenuhnya pengembangan kepada swasta adalah tata kota yang terpencar dan menjalar.
.
Dia juga menambahkan persoalan lainnya adalah adanya desakan pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam penyediaan tanah. Padahal, sambung Jehansyah, pola kerja sama yang tidak jelas semacam ini justru membuat daerah kesulitan untuk  melepas tanah yang merupakan asetnya untuk pembangunan rumah susun.
.
"Tak hanya itu, pemerintah pusat selalu menimpakan masalah kepada daerah, PLN serta PDAM. Hal itu karena pemerintah daerah dinilai tidak mendukung baik dalam alokasi anggaran maupun penyediaan tanah dalam penyediaan perumahan rakyat," ujarnya.
.
Jehansyah memaparkan belum adanya solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan rakyat, ditandai dengan tidak  adanaya dukungan pembentukan lembaga khusus perumahan rakyat. Padahal, sambungnya, negara-negara lain sudah memiliki lembaga khusus tersebut seperti yang dilakukan oleh Thailand, Singapura dan Inggris. (gak)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/20990-penyediaan-perumahan-tak-sinkron-dengan-tata-kota

---------------------------

PERUMAHAN
RUU Rumah Susun Terancam Macet

Kamis, 21 April 2011

Jakarta, Kompas - Penyusunan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun terancam macet. Hal itu karena masih banyak perbedaan persepsi di antara sejumlah instansi pemerintah dalam mengakomodasi masalah perumahan. Anggota Panitia Kerja RUU Rumah Susun Komisi V DPR dari Fraksi Partai Hanura Saleh Husein mengemukakan itu dalam Diskusi ”Arah Kebijakan Rumah Susun dan Penataan Kota: Mau Ke Mana?” di Jakarta, Rabu (20/4).
.
Menurut Saleh, pembahasan RUU Rusun yang tertunda sampai Mei 2011 kemungkinan masih akan terganjal banyak persoalan. Penyebabnya adalah belum ada pemahaman yang sama antarpemerintah, yakni Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, dan Badan Pertanahan Nasional.
.
Perdebatan yang muncul di antaranya soal kepemilikan bersama di rusun. Ada yang menganggap pengembang sebagai pemilik dan pengelola, sedangkan ada yang menghendaki pengelolaan rusun sepenuhnya oleh perhimpunan penghuni rumah susun.
Ia menilai, pelaksanaan program rumah susun saat ini terganjal sejumlah persoalan, baik kepenghunian, permasalahan dari pengembang, maupun birokrasi pemerintah daerah.
.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra M Sanusi menilai, akar persoalan perumahan rakyat adalah tidak adanya konsolidasi oleh pemerintah pusat dan daerah untuk penyediaan lahan.
.
Anggota Tim Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar mengemukakan, sudah saatnya pemerintah membangun sistem penyediaan perumahan publik. Penyediaan perumahan publik tidak bisa diserahkan hanya ke pengembang swasta. (LKT)


http://cetak.kompas.com/read/2011/04/21/04472222/ruu.rumah.susun.terancam.macet

Minggu, 03 April 2011

Pemerintah Sebaiknya Segera Hentikan Mekanisme Pasar Atau Pendekatan Proyek

SELECTED NEWS
Wednesday, 30 March 2011 12:17

Jakarta, 30/3/2011 (Kominfonewscenter) – Skema pembiayaan perumahan untuk masyarakat kelas bawah lebih sesuai melalui sistem penyediaan perumahan swadaya, pendekatan ini mengutamakan intervensi dilakukan pada sisi kebutuhan melalui pengorganisasian para pegawai rendah maupun pekerja kerah biru (work based housing) maupun pengorganisasian komunitas permukiman kumuh atau informal (community based housing).

Lebih lanjut, skema pengadaan tanah dan pembiayaan serta dukungan prasarana akan mengacu pada proses pemberdayaan organisasi. Hal itu dikemukakan Narasumber KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M. Jehansyah Siregar, Ph.D. di Jakarta Selasa (29/3). Jehansyah menegaskan, pemerintah sebaiknya segera menghentikan mekanisme pasar maupun pendekatan proyek, apalagi jika proyek-proyek tersebut menimbulkan hutang negara hingga puluhan triliun rupiah.

”Alih-alih permukiman kumuh berkurang, malah hutang negara bertambah”, kata Jehansyah yang juga anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung).

Jika Kementerian Perumahan merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan skema perumahan komunitas ini, ada baiknya juga Kemenko Kesra ataupun Kementerian Sosial dengan paradigma baru "pembangunan sosial", mengambil inisiatif ini. Menurut Jehansyah skema inilah yang bisa menjawab tantangan Presiden SBY tentang rumah sangat murah untuk keluarga di permukiman kumuh.

”Bukan memplesetkan gagasan rumah sangat murah ini menjadi BLT Perumahan”, katanya. Memang mengaitkan pinjaman perumahan dengan usaha kecil dapat lebih menjamin kemampuan pengembalian cicilan rumah. Namun skema ini sebenarnya adalah skema bantuan usaha kecil, bukan skema utama di bidang perumahan untuk kalangan bawah.

Meskipun untuk beberapa jenis usaha kecil berbasis rumah tangga bantuan perumahan ini cukup membantu, namun tidak semua jenis usaha kecil membutuhkan bantuan pembangunan perumahan. Jehansyah menyimpulkan skema KUR bukan skema utama di bidang perumahan untuk kalangan bawah. Masih banyak segmen kelas bawah yang membutuhkan skema rumah sangat murah yang tidak sesuai dengan skema KUR ini.

Mereka adalah dari kalangan pegawai rendah, buruh, maupun berbagai penyedia jasa informal, mereka ini bukan tergolong bankable sebagaimana menjadi syarat pengucuran skema KUR. Untuk itu pemerintah (Kemenpera) perlu mengembangkan skema lain yang lebih sesuai untuk sebagian besar kelompok masyarakat kelas bawah.

Jehansyah menekankan hendaknya pemerintah tidak mengandalkan skema perbankan atau skema pembiayaan untuk menyelesaikan semua kebutuhan perumahan kelas bawah. Housing finance is not finance, artinya pemerintah perlu menghindari pengembangan skema pengadaan perumahan kelas bawah yang diturunkan dari skema pembiayaan (perbankan). “Pendekatan yang salah kaprah ini hanya akan berpotensi menyimpangkan kelompok sasaran ataupun menjerat kalangan bawah untuk pinjaman yang tidak mereka butuhkan”, kata Jehansyah.

Sedangkan skala keekonomian perumahan komunitas lebih luas untuk memperkuat pondasi ekonomi kerakyatan. Karena skema perumahan komunitas ini lebih berfokus pada community development, dengan perumahan dan permukiman sebagai instrumen pemberdayaan komunitas. Sistem penyediaan perumahan komunitas tidak mengutamakan produksi rumah dari sisi suplai, tidak juga mementingkan skema formal perbankan sebagai tulang punggung pembiayaannya.

Ada berbagai mekanisme yang khas untuk sistem penyediaan perumahan komunitas ini. Untuk mengembangkan sistem penyediaan ini pemerintah harus mengembangkan sistem kelembagaan yang kuat.
Sebagai preseden kita bisa meniru Homes and Community Agency (HCA) seperti di Inggris, demikian juga di Thailand ada Community Organisation Development Institute (CODI).

Pemerintah perlu segera mengembangkan sistem ini mengingat tantangan capacity building dan institutional development yang cukup berat. “Apalagi dengan memasukkan target kapasitas pemerintah daerah”, kata Jehansyah. (md)


http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1254:pemerintah-sebaiknya-segera-hentikan-mekanisme-pasar-atau-pendekatan-proyek&catid=44:nasional-kesra&Itemid=53

Ledakan Penduduk Picu Backlog Rumah

Pemerintah perlu fokus pada 8 kota besar

(Bisnis Indonesia, Rabu-30 Maret 2011)
JAKARTA: Kementerian Perumahan Rakyat menilai ledakan jumlah penduduk berimbas pada meningkatnya defisit perumahan atau backlog.

Deputi Kemenpera Bidang Perumahan Formal Pangihutan Marpaung mengatakan saat ini Kemenpera dalam penyediaan perumahan rakyat, yaitu melalui pendekatan sektor badan usaha dan perumahan swadaya. Selama ini hitungan Kemenpera sebanyak 700.000 per tahun jumlah keluarga baru sehingga membutuhkan 700.000 unit rumah per tahun. Hitungan kami bukan jumlah penduduk, tetapi secara tidak langsung dengan adanya pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan backlog. Selain itu, penambahan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan wilayah perkotaan semakin padat. Berdasarkan data 2006, 50% penduduk ada di kota.

Pangihutan menuturkan selama ini sektor badan usaha mampu membangun 170.000 unit hingga 200.000 unit per tahun sehingga ada sekitar 500.000 unit backlog per tahun yang nantinya ditutup dengan pembangunan rumah swadaya meskipun tidak sepenuhnya terpenuhi. Pangihutan menjelaskan, perumahan swadaya sendiri menghadapi dua kendala yaitu rendahnya kemampuan teknis masyarakat menengah bawah dalam membangun serta penghasilan rendah. Dia menambahkan solusi penyediaan perumahan rakyat harus bersinergi antara kota dan desa, keduanya tidak dapat dilakukan secara terpisah. Di perkotaan harus disiasati dengan membangun rumah susun, di desa dengan pembangunan landed houses.

Pakar Permukiman Institut Teknologi Bandung Muhammad Jehansyah Siregar juga mengatakan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat dapat berdampak tidak langsung pada backlog yang jumlahnya dapat melebihi 1,2 juta unit per tahun. Sebenarnya tidak bisa dilihat hanya berdasarkan jumlah penduduk, perlu data lebih spesifik lagi misalnya berapa keluarga baru, berapa kebutuhan rumah bagi lajang. Tetapi memang pada akhirnya secara tidak langsung penambahan jumlah penduduk yang besar akan meningkatkan jumlah kebutuhan perumahan, kata Jehansyah.

Antisipasi backlog

Jehansyah menyebutkan setidaknya ada 2 hal yang harus dilakukan oleh pemerintah guna mengantisipasi backlog yang semakin bertambah. Pertama, dibentuknya kajian terkait perumahan yang selama ini belum ada. Menurut dia, perhitungan jumlah keluarga dikurangi jumlah rumah yang ada merupakan jumlah yang masih kasar. Harus ada data yang lebih spesifik seperti jumlah keluarga berapa, bagaimana tipe keluarga, dinamika perkembangan keluarga bagaiman. Tetapi kalau tidak ada data memang hitungan kasar itu dapat digunakan, katanya.

Solusi kedua, Kemenpera memfokuskan penanganan masalah perumahan di kota metropolis saja karena permasalahan utama perumahan ada di kota. Menurutnya, semakin bertambahnya jumlah penduduk, besarnya tingkat urbanisasi ke kota metropolis akan semakin besar.

Jehansyah berharap Kemenpera fokus pada penanganan permasalahan perumahan di delapan kota metropolis Indonseia seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Palembang, Makassar. Sementara itu, untuk penanganan perumahan di perdesaan Kemenpera hanya memberikan bantuan teknis apabila dibutuhkan oleh beberapa kementerian lainnya yang memang telah mempunyai program perumahan desa.

Sebelumnya Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sugiri Dyarief menyebutkan jumlah penduduk hasil Sensus Penduduk 2010 yang mencapai 237,6 juta jiwa, jelas menunjukkan gejala ledakan penduduk. Selama 10 tahun terakhir, penduduk bertambah 32,5 juta jiwa, dengan rata-rata pertumbuhan 1,49% per tahun. (Siti Nuraisyah Dewi)

http://www.reidkijakarta.com/rei/web/?mod=news&do=detail&cat=1&id=475