Kamis, 25 Agustus 2011

MAHALNYA PERUMAHAN BAGI RAKYAT


MAHALNYA" PERUMAHAN BAGI RAKYAT
Pemerintah Daerah harus memiliki pola pandang yang sama dengan Pemerintah Pusat dalam pemenuhan penyediaan perumahan bagi masyarakat di daerahnya. Survei Badan Pusat Statistik yang dilaksanakan pada 2010 mencatatkan angka 22 persen atau sebanyak 13,6 juta rumah tangga tidak memiliki rumah dari total 240 juta jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan kemampuan pengembang membangun rumah, rata-rata hanya sebanyak 300.000 unit per tahun. Padahal pertumbuhan kebutuhan setiap tahun jauh di atas itu.
Nah, Jika pemerintah tidak memiliki solusi yang cepat dan tepat untuk mengatasinya, maka angka backlog (kekurangan) pasti akan terus menanjaksejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif. Lantas upa yang harus dilakukan pemerintah agar kebutuhan masyarakat itu bisa terpenuhi?
.
Siswono Yudohusodo, Mantana Perumahan Rakyat, mengatakan pemerintah harus berperan dan memampukan intervensi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mampu memiliki hunian yang layak. Hari Perumahan Nasional yang jatuh setiap tanggal 25 Agustus jelasnya justru bisa dijadikan momentum untuk meluruskan arah pengembangan perumahan nasional agar industiri perumahan juga berpihak kepada kebutuhan perumahan bagi MBR.
.
Di era otonomi daerah maka tanggung jawab pembangunan di bidang perumahan memang sebaiknya diberikan pada Pemerintah Daerah. Kelembagaan yang mengatur kebijakan perumahan pada tingkat operasional lapangan ada di tingkat daerah yang langsung menangani lingkungan. "Karena otonomi daerah merupakan sistem manajer!" negara yang memungkinkan suatu keputusan diambil dengan cepat, efektif dan lebih kontekstual dengan memperpendek rentang kendali," ucapnya, beberapa waktu lalu.
.
Selain itu, lanjutnya, masalah perumahan terkait aspek yang amat luas. Jangan lagi terjadi masing-masing daerah hanya mencoba mengatasi permasalahannya sendiri-sendiri. Hal tersebut sebetulnya sudah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Pemda memiliki kewajiban untuk memastikan ketersediaan lahan untuk lokasi pembangunan perumahan bagi masyarakat, penyediaan prasarana sarana dan utilitas (PSU) serta terkait man pembangunan rumah.
.
Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang mengamanatkan bahwa pembangunan perumahan merupakan urusan wajib Pemda. Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi ujung tombak dalam melaksanakan kewajiban menjamin perwujudan akan rumah bagi masyarakat, khususnya bagi MBR.
.
Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan Pemerintah Kabupaten/Kota masih banyak yang terbatas. Karena itulah menurut Suharso Monoarfa, Menteri Negara Perumahan Rakyat, Pemerintah Pusat jelasnya juga akan membantu Pemda untuk mendorong terlaksananya program perumahan di daerah. Dari sisi konsumsi, jelasnya saat ini pemerintah pusat melalui Kementerian Perumahan Rakyat juga mengupayakan agar MBR dapat menjangkau harga rumah yang dibangun oleh pengembang melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
.
Selain itu tahun ini Pemerintah juga memfasilitasi pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas perumahan untuk 24 ribu unit rumah di seluruh Indonesia. Pembangunan itu akan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang perumahan sebesar Rp 150 miliar. Penyaluran DAK merupakan bagian dana perimbangan untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah.
.
"Penyaluran DAK ini dilakukan untuk meningkatkan program perumahan di daerah mengingat fiskal di daerah sangat kecil," ujarnya Beberapa kriteria teknis yakni; harus dipenuhi daerah untuk mendapatkan DAK antara lain meliputi kepadatan penduduk, jumlah angka kumulatif kekurangan rumah, kesiapan lahan, dan lokasi perumahan, serta rencana pembangunan rumah.
.
Jehansyah Siregar, Peneliti dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP) Institut Teknologi Bandung mengatakan, meskipun UU PKP menyebut tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak Pemda, tetapi bukan berarti Pemerintah Pusat bisa melempar tanggung jawabnya. Masih mahal dan sulitnya urusan pengadaan tanah untuk perumahan karena pemerintah masih menggunakan mekanisme bisnis properti dalam pembebasan lahan maupun perizinan. Namun, semua kendala itu akan hilang jika dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana.
.
"Pengembangan sistem penyediaan perumahan publik hendaknya menjadi perhatian, terutama dalam pengadaan tanah perumahan rakyat. Sedangkan peran Pemerintah Daerah utamanya adalah mengendalikan proses ini dengan mengacu pada rencana tata ruang dan menjamin pelaksanaannya secara terarah," jelasnya. Kepada pemerintah, Jehansyah mengusulkan, bisa mengembangkan model bank-bank tanah untuk menjamin ketersediaan lahan bagi pembangunan perumahan rakyat. Bisa dilakukan lewat dua metode, yaitu skala besar untuk pengembangan kawasan terpadu, serta skala menengah dan kecil guna menciptakan kawasan-kawasan permukiman baru.
.
"Pemerintah pusat perlu segera memiliki model bank tanah skala besar melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tugas ini bisa dilaksanakan Perumnas maupun melalui pendirian BUMN, di kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia," ujarnya. Tanpa hal itu, maka ketersediaan lahan yang mudah dan murah untuk perumahan rakyat tidak akan berjalan. TIM INFO TEMPO


http://www.bataviase.co.id/node/774537

Rabu, 17 Agustus 2011

Program rumah murah untuk kaum miskin tak realistis

Selasa, 16 Agustus 2011 | 13:45 WIB

JAKARTA: Program pemerintah tentang rumah murah bagi orang miskin atau kerap disebut Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dianggap tidak realistis terkait dengan minimnya intervensi pemerintah terhadap penguasaan tanah dan tidak adanya pengawasan yang ketat tentang hunian berimbang.
.
Peneliti tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan penguasaan tanah saat ini masih didominasi oleh pengembang swasta terutama dalam skala besar. Selain itu, sambungnya, pengawasan ketat mengenai hunian berimbang dalam satu kawasan tidak dilakukan secara optimal. Dalam hal ini, pengembang diwajibkan membangun satu rumah mewah, tiga rumah skala menengah dan enam rumah murah sehingga biasa dikenal dengan komposisi 1:3:6.
.
"Bukankah pengembang swasta memang memiliki motif mencari keuntungan, sehingga bukan menjadi perhatiannya untuk membangun rumah murah yang tidak menguntungkan?," ujar Jehansyah ketika dikonfirmasi di Jakarta, hari ini.
.
Selain itu, sambungnya, pengembang swasta bisa berkilah dengan prinsip hunian berimbang  dengan memakai komposisi berbeda untuk rumah seharga Rp1,5 milyar --Rp 800 juta--Rp 300 juta rupiah, di mana harga-harga tersebut masih jauh dari jangkauan kelompok MBR. Jehansyah juga mengungkapkan hingga kini tak ada  sanksi yang jelas saat pengembang tidak menerapkan pola hunian berimbang.
.
Dalam pidato kenegaraan hari ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah menyiapkan program untuk kelompok masyarakat miskin di antaranya adalah rumah murah dan sangat murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih untuk rakyat, listrik murah dan hemat, peningkatan kehidupan nelayan, dan peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.
.
Peneliti Tata Kota  Universitas Trisakti Yayat Supriatna sebelumnya mengatakan pembangunan 1 juta rumah sulit direalisasikan.  Sejumlah hal yang mengakibatkan hal itu adalah tidak adanya kesamaan regulasi antara tingkat pusat dan daerah.
.
“Misalnya soal kepastian lahan dan pembangunan infrastruktur di mana daerah tidak bisa didikte. Regulasi yang mendukung penyediaan perumahan itu sama sekali tidak mendukung,” ujar Yayat di Jakarta. Dia mencontohkan bagaimana pembangunan perumahan sangat terkait dengan pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah.
.
Hal tersebut membuat kota-kota besar lebih banyak diprioritaskan oleh pemerintah dan pengembang dalam pembuatan produk hunian. Selain itu, sambungnya, persoalan lainnya adalah mengenai subsidi terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak berjalan maksimal karena lebih banyak digunakan oleh kelompok investor. (sut) 


http://www.bisnis.com/articles/program-rumah-murah-untuk-kaum-miskin-tak-realistis



JEHAN:

Untuk menerapkan program rumah super murah dan murah, pemerintah tidak bisa mengandalkan sistem penyediaan yang ada saat ini, yang hanya bertumpu pada mekanisme perumahan komersial maupun proyek-proyek subsidi yang bersifat karitatif. Dalam iklim demikian, wajar saja jika berbagai kendala menghadang, seperti kesulitan soal pengadaan tanah, infrastruktur, mekanisme pembiayaan yang sesuai dan bahkan kesulitan menghadapi kelompok masyarakat yang menjadi kelompok sasaran.
.
Jika dipaksakan juga maka tetap tidak akan efektif, seperti praktek yang terjadi selama ini. Banyak persoalan baru justru bermunculan, yaitu kelompok sasaran yang meleset, dominasi perumahan komersial, pengembangan kawasan yang tidak terencana dan subsidi yang akan tergerus oleh pasar. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan kapasitas sistem penyediaan perumahan rakyat yang utuh (multi housing delivery system),  meliputi sistem penyediaan perumahan publik yang didukung sistem penyediaan perumahan komunitas.
.
Belajar dari sukses pembangunan perumahan rakyat di mancanegara, kedua sistem ini bertumpu pada lembaga perumahan publik yang otorotatif dan lembaga khusus perumahan swadaya. Berbagai skema seperti penguasaan tanah skala besar, hunian berimbang 1-3-6, konsolidasi tanah, keterpaduan infrastruktur dan fasos-fasum, pemberdayaan jejaring komunitas dan sebagainya, adalah prasyarat dalam penyediaan perumahan murah. Dan ini hanya dapat dijalankan di dalam sistem penyediaan yang komprehensif dan terkendali.

***