Minggu, 13 November 2011

Pemotongan Gaji PNS untuk Bapertarum Dipertanyakan

Penulis : Thalita Rahma
Senin, 14 November 2011 07:00 WIB     

JAKARTA--MICOM: Pengamat perumahan Jehansyah Siregar menilai tidak ada hubungannya jika Menpera memotong gaji PNS untuk keperluan badan pertimbangan tabungan perumahan PNS (Bapertarum).

"Tidak ada hubungannya itu. Janganlah Menpera membuat alasan-alasan yang tidak jelas. Jika ada pemotongan lagi malah akan menjadi agenda terselubung itu," tegasnya, saat dihubungi, Minggu (13/11).

Jehansyah menegaskan dana Bapertarum itu sudah banyak, sehingga sebaiknya disalurkan. Karena PNS tidak mempunyai saluran yang murah melalui dana Bapertarum.

Menurut Jehansyah, yang menyebabkan dana Bapertarum tidak dapat terealisasi dengan baik disebabkan ketidaksiapan Kelembagaan, ketidaksiapan tata ruang dan kota serta kawasan penyediaan perumahan. Lalu, tidak adanya mekanisme pengadaan perumahan yang benar untuk membuat sistem penyediaan perumahan (housing development mechanism).

Ia mengatakan, selama ini selalu muncul peraturan-peraturan yang tidak masuk akal. Seperti golongan IIIA tidak perlu dibuatkan rumah dari dana bapertarum karena sudah cukup kaya.

"Ini aneh bukan? Padahal semua golongan PNS baik dari golongan I sampai golongan atas mendapatkan potongan gaji untuk Bapertarum ini," katanya.

Adanya kecenderungan pemberian dana Bapertarum kepada pengembang dan kontraktor yang mempunyai unsur mencari keuntungan-lah yang dinilai oleh Jehansyah sebagai mekanisme pengadaan perumahan yang salah. "Bukan begitu mekanisme pengadaan perumahannya," cetusnya.

Ia menyarankan, mekanisme pengadaan perumahannya yang perlu dikembangkan. Mekanisme dalam membuat sistem penyediaan perumahan harus berbeda dari sistem penyediaan perumahan komersial.

Jehansyah berpendapat harus jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap dana bapertarum ini? Apakah tanggung jawab ini diberikan kepada Perumnas dan Perumda? dan harus jelas juga kemana penyaluran dana Bapertarum ini. Misalnya, Pemkot atau Pemda menyalurkan dana ke Perumnas atau Perumda untuk membuat kawasan perumahan PNS di kabupaten sorong. Jadi jelas dimana tata ruang, letak tanah untuk kawasan perumahan PNS itu.

Terkait letak tanah, Ia menyampaikan, Sumatera dan Kalimantan masih mempunyai letak tanah yang cukup luas bisa digunakan untuk pembangunan kawasan perumahan PNS.

Jehansyah menegaskan kembali jika Perumnas dan Perumda yang diberikan tanggung jawab terhadap dana Bapertarum maka Perumnas dan Perumda sebaiknya tidak mengambil untung banyak.

"Perumnas dan Perumda tidak ambil untung banyak seperti developer yang mencari untung," tegasnya. (*/OL-10)

http://www.mediaindonesia.com/read/2011/11/14/276068/293/14/Pemotongan-Gaji-PNS-untuk-Bapertarum-Dipertanyakan-

Jumat, 30 September 2011

Perumahan Kumuh Melonjak Tajam

Berita Nasional
Sabtu, 24 September 2011 | 16:47:21 WIB
.
batavia.com - Menurut data Biro Pusat Statistik pada 2010 diketahui bahwa angka housing backlog dan luas perumahan kumuh justru melonjak tajam dari 54 ribu hektare (2004) menjadi 59 ribu hektare (2010). Karena itu pakar perumahan dari Institute Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengevaluasi kinerja sektor perumahan rakyat.
.
“Presiden perlu menimbang-menimbang kembali prestasi anggota kabinetnya selama dua tahun periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ini karena nasib urusan Perumahan Rakyat selama ini menunjukkan kinerja yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai program bisa dinilai meleset dari target,” kata M Jehansyah Siregar di Jakarta, Sabtu (24/9).
.
Ia menilai program perumahan rakyat yang digembar-gemborkan oleh pemerintah tidak efektif dan visioner karena target perumahan rakyat tidak tercapai dan pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) atau rumah susun sederhana sewa (rusunawa) pun terlantar hingga ribuan unit karena tidak dikelola secara utuh.
“Program Rusunami pun banyak ditemui salah sasaran bahkan dijadikan ajang spekulasi kelas menengah atas,” ucapnya.
.
Menurut dia, pembangunan Rusunawa juga banyak salah sasaran ketika terpaksa disediakan untuk mahasiswa dan anggota TNI/POLRI.
“Program perumahan swadaya jauh dari pemberdayaan karena cenderung bagi-bagi uang renovasi rumah saja. Pada akhirnya sama sekali tidak menyentuh keluarga-keluarga miskin kota di permukiman kumuh seperti rumah-rumah kolong jembatan yang disaksikan Presiden SBY di Bogor akhir Februari 2010 lalu,” katanya. Namun, kata anggota Tim Visi Indonesia 2033 ini, hingga kini belum ada skema “delivery” yang menjanjikan untuk melaksanakan instruksi Presiden dengan menyediakan rumah sangat murah bagi masyarakat miskin.
.
Ia pun menyayangkan kinerja Menpera saat ini yang tidak fokus terhadap masyarakat miskin dalam pembangunan Rusunawa. "Kalau Menpera tidak sanggup untuk melaksanakan proggram-programnya, seharusnya bisa meminta pendapat para pengamat atau akademisi, bukan meminta pendapat para pengembang (developer)," ucap Jehansyah. O bon
.
http://www.beritabatavia.com/berita-8931-perumahan-kumuh-melonjak-tajam.html

Kamis, 29 September 2011

SBY Diminta Evaluasi Menpera

Sun, Sep 25, 2011 at 00:47 | Jakarta, matanews.com
.
MENYUSUL rencana Presiden SBY melakukan perombakan kabinet, pakar perumahan dari Institute Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar meminta Presiden mengevaluasi kinerja menteri perumahan rakyat yang dirasa cukup mengkhawatirkan, karena hampir semua program meleset dari target.
“Presiden perlu menimbang-menimbang kembali prestasi menteri perumahan rakyat karena nasib urusan perumahan rakyat selama ini menunjukkan kinerja yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai program meleset dari target,” kata M Jehansyah Siregar di Jakarta, Sabtu 24 September 2011.
.
Ia menilai program perumahan rakyat yang digembar-gemborkan oleh pemerintah tidak efektif dan visioner karena target perumahan rakyat tidak tercapai dan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) pun terlantar hingga ribuan unit karena tidak dikelola secara utuh.“Program Rusunami pun banyak ditemui salah sasaran bahkan dijadikan ajang spekulasi kelas menengah atas,” ucapnya. Menurut dia, pembangunan Rusunawa juga banyak salah sasaran ketika terpaksa disediakan untuk mahasiswa dan anggota TNI/POLRI.
.
“Program perumahan swadaya jauh dari pemberdayaan karena cenderung bagi-bagi uang renovasi rumah saja. Pada akhirnya sama sekali tidak menyentuh keluarga-keluarga miskin kota di permukiman kumuh seperti rumah-rumah kolong jembatan yang disaksikan Presiden SBY di Bogor akhir Februari 2010 lalu,” katanya.
.
Namun, kata anggota Tim Visi Indonesia 2033 ini, hingga kini belum ada skema “delivery” yang menjanjikan untuk melaksanakan instruksi Presiden dengan menyediakan rumah sangat murah bagi masyarakat miskin.
Dari data BPS 2010 diketahui bahwa angka housing backlog dan luas perumahan kumuh justru melonjak tajam dari 54 ribu hektare (2004) menjadi 59 ribu hektare (2010).
.
Ia pun menyayangkan kinerja Menpera saat ini yang tidak fokus terhadap masyarakat miskin dalam pembangunan Rusunawa. Kalau Menpera tidak sanggup untuk melaksanakan proggram-programnya, seharusnya bisa meminta pendapat para pengamat atau akademisi, bukan meminta pendapat para pengembang (developer), ucap Jehansyah. Oleh karena itu, lanjut dia, Presiden SBY perlu segera membuat evaluasi mendalam dan merumuskan kriteria-kriteria menteri yang sanggup memimpin sektor Perumahan Rakyat ini agar “on the right track” dan segera “debottlenecking” sumbat-sumbat di KIB II.
.
Menurut Jehansyah, kinerja menteri yang buruk ini umumnya karena mereka hanya mampu membuat proyek-proyek pengadaan konstruksi, menuntut pemda tanpa pembinaan dan membebani pengembang dengan kewajiban-kewajiban yang merugikan bisnisnya. “Kegagalan kinerja menteri usulan parpol pada dua periode ini, maka Presiden sebaiknya memilih menteri dari jalur profesional/akademisi,” katanya.
.
Ia menambahkan, Menpera yang dibutuhkan rakyat adalah figur yang kapabel dan memiliki visi-misi yang kuat untuk mengembangkan “housing delivery system” (HDS) secara utuh dengan mengutamakan public HDS dan community HDS dan tetap menempatkan commercial HDS sebagai bisnis profesional.
Selain itu, kata dia, figur Menpera juga dapat melakukan pembinaan kapasitas daerah secara efektif melalui konsep, skema-skema dan model-model penanganan yang tepat serta melakukan penguatan kelembagaan penyedia perumahan publik dengan menempatkan Perumnas sebagai Perumnas reformasi (NHUDC).(ant/hms)



http://matanews.com/2011/09/25/sby-diminta-evaluasi-menpera/

Senin, 26 September 2011

Sektor Perumahan Rakyat Perlu Dievaluasi



Jakarta-Pakar perumahan dari Institute Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengevaluasi kinerja sektor perumahan rakyat. “Presiden perlu menimbang-menimbang kembali prestasi anggota kabinetnya selama dua tahun periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II ini karena nasib urusan Perumahan Rakyat selama ini menunjukkan kinerja yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai program bisa dinilai meleset dari target,” kata M Jehansyah Siregar di Jakarta, Sabtu (24/9). Ia menilai program perumahan rakyat yang digembar-gemborkan oleh pemerintah tidak efektif dan visioner karena target perumahan rakyat tidak tercapai dan pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) atau rumah susun sederhana sewa (rusunawa) pun terlantar hingga ribuan unit karena tidak dikelola secara utuh.
.
“Program Rusunami pun banyak ditemui salah sasaran bahkan dijadikan ajang spekulasi kelas menengah atas,” ucapnya.
Menurut dia, pembangunan Rusunawa juga banyak salah sasaran ketika terpaksa disediakan untuk mahasiswa dan anggota TNI/POLRI.
“Program perumahan swadaya jauh dari pemberdayaan karena cenderung bagi-bagi uang renovasi rumah saja. Pada akhirnya sama sekali tidak menyentuh keluarga-keluarga miskin kota di permukiman kumuh seperti rumah-rumah kolong jembatan yang disaksikan Presiden SBY di Bogor akhir Februari 2010 lalu,” katanya.
.
Namun, kata anggota Tim Visi Indonesia 2033 ini, hingga kini belum ada skema “delivery” yang menjanjikan untuk melaksanakan instruksi Presiden dengan menyediakan rumah sangat murah bagi masyarakat miskin. Dari data BPS 2010 diketahui bahwa angka housing backlog dan luas perumahan kumuh justru melonjak tajam dari 54 ribu hektare (2004) menjadi 59 ribu hektare (2010).
.
Ia pun menyayangkan kinerja Menpera saat ini yang tidak fokus terhadap masyarakat miskin dalam pembangunan Rusunawa. Kalau Menpera tidak sanggup untuk melaksanakan proggram-programnya, seharusnya bisa meminta pendapat para pengamat atau akademisi, bukan meminta pendapat para pengembang (developer), ucap Jehansyah. Oleh karena itu, lanjut dia, Presiden SBY perlu segera membuat evaluasi mendalam dan merumuskan kriteria-kriteria menteri yang sanggup memimpin sektor Perumahan Rakyat ini agar “on the right track” dan segera “debottlenecking” sumbat-sumbat di KIB II. O ant


http://hariantopnews.com/2011/09/sektor-perumahan-rakyat-perlu-dievaluasi/

SDA Siap Ajukan Pengganti Suharso

JAKARTA – Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) siap mengajukan nama calon pengganti Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, jika nanti presiden memintanya. Terkait nama yang kini telah dipersiapkan PPP, SDA masih belum mau menjelaskan. “Kalau itu, jawabannya nanti dulu, jangan mengandai-andai, karena yang diganti juga belum jelas,” ujarnya di sela acara pelantikan pengurus DPP PPP 2011-2015, di Hotel Grand Sahid, Jakarta, kemarin.
.
Di KIB jilid II, hingga saat ini, PPP masih menempatkan dua kadernya duduk sebagai menteri. Selain SDA yang menjabat sebagai menteri agama, satu nama lain adalah Suharso Monoarfa. Hingga saat ini, Suharso masih tercatat sebagai salah satu pengurus DPPP PPP. Meski tidak hadir dalam acara pelantikan, mantan bendahara umum PPP tersebut tercatat sebagai salah satu ketua DPP partai berlambang kabah tersebut. Suharso disebut - sebut terancam di-reshuffle usai muculnya secara luas keretakan rumahtangga bapak dua anak tersebut. Dia digugat cerai istrinya, Carolina Kaluku yang merasa sudah diselingkuhi.
.
Secara terpisah, dosen Kelompok Perumahan dan Pemukiman ITB M Jehansyah Siregar mengatakan dua tahun pemerintahan SBY, urusan perumahan rakyat memang menunjukkan kinerja yang sangat mengkhawatirkan. “Berbagai program bisa dinilai meleset dari tujuannya,” kritik Jehansyah yang juga anggota Tim Visi Indonesia 2033 itu. Dia menyebut program rumah susun hak milik (rusunami) banyak yang salah sasaran. Bahkan menjadi ajang spekulasi kelas menengah atas. Begitu juga dengan program rumah susun hak sewa (rusunawa) yang terlantar sampai ribuan unit.
.
“Ujungnya salah sasaran juga ketika terpaksa disediakan untuk mahasiswa dan anggota TNI/POLRI,” katanya.
Nasib serupa juga menimpa program Bantuan Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya (BSP2S). Program itu, ungkap Jehansyah, dalam implementasinya justru jauh dari konsep pemberdayaan. “Malah cenderung bagi-bagi uang renovasi rumah saja dan sama sekali tidak menyentuh keluarga-keluarga miskin kota di permukiman kumuh,” jelasnya.
.
Menurut dia, sudah tujuh bulan berselang. Namun, sampai sekarang belum ada skema delivery yang menjanjikan untuk melaksanakan instruksi presiden dalam menyediakan rumah sangat murah tersebut. “Yang pasti, dari data BPS 2010 diketahui bahwa angka housing backlog (pekerjaan pembangunan rumah yang tak selesai  atau tak lengkap, red) dan luas perumahan kumuh justru melonjak tajam,” kata Jehansyah. Dia berharap Presiden SBY mengevaluasi mendalam Menteri Perumahan Rakyat. “Sebagaimana kegagalan kinerja menteri usulan parpol ini (Suharso Monoarfa), maka SBY sebaiknya memilih menteri dari jalur professional atau akademisi,” saran Jehansyah.(dyn/pri/bay)
.
http://www.radartasikmalaya.com/index.php?option=com_content&view=article&id=15854:sda-siap-ajukan-pengganti-suharso&catid=32:languages&Itemid=47

Presiden Perlu Evaluasi Kinerja Menpera

Sabtu, 24 September 2011
.
JAKARTA (Suara Karya):Pakar perumahan dari Institute Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah menilai rencana perombakan (reshuffle) kabinet merupakan momentum agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengevaluasi kinerja para menterinya, khususnya sektor perumahan rakyat. "Presiden perlu menimbang-menimbang kembali prestasi anggota kabinetnya selama dua tahun periode KIB II ini karena nasib urusan Perumahan Rakyat selama ini menunjukkan kinerja yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai program bisa dinilai meleset dari target," kata M Jehansyah Siregar kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu.
 .
Ia menilai program perumahan rakyat yang digembar-gemborkan oleh pemerintah tidak efektif dan visioner karena target perumahan rakyat tidak tercapai dan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) pun terlantar hingga ribuan unit karena tidak dikelola secara utuh. "Program Rusunami pun banyak ditemui salah sasaran bahkan dijadikan ajang spekulasi kelas menengah atas," ucapnya.
 .
Menurut dia, pembangunan Rusunawa juga banyak salah sasaran ketika terpaksa disediakan untuk mahasiswa dan anggota TNI/POLRI. "Program perumahan swadaya jauh dari pemberdayaan karena cenderung bagi-bagi uang renovasi rumah saja. Pada akhirnya sama sekali tidak menyentuh keluarga-keluarga miskin kota di permukiman kumuh seperti rumah-rumah kolong jembatan yang disaksikan Presiden SBY di Bogor akhir Februari 2010 lalu," katanya.
 .
Namun, kata anggota Tim Visi Indonesia 2033 ini, hingga kini belum ada skema "delivery" yang menjanjikan untuk melaksanakan instruksi Presiden dengan menyediakan rumah sangat murah bagi masyarakat miskin. Dari data BPS 2010 diketahui bahwa angka housing backlog dan luas perumahan kumuh justru melonjak tajam dari 54 ribu hektare (2004) menjadi 59 ribu hektare (2010).
 .
Ia pun menyayangkan kinerja Menpera saat ini yang tidak fokus terhadap masyarakat miskin dalam pembangunan Rusunawa. Kalau Menpera tidak sanggup untuk melaksanakan proggram-programnya, seharusnya bisa meminta pendapat para pengamat atau akademisi, bukan meminta pendapat para pengembang (developer), ucap Jehansyah.
 .
Oleh karena itu, lanjut dia, Presiden SBY perlu segera membuat evaluasi mendalam dan merumuskan kriteria-kriteria menteri yang sanggup memimpin sektor Perumahan Rakyat ini agar "on the right track" dan segera "debottlenecking" sumbat-sumbat di KIB II. Menurut Jehansyah, kinerja menteri yang buruk ini umumnya karena mereka hanya mampu membuat proyek-proyek pengadaan konstruksi, menuntut pemda tanpa pembinaan dan membebani pengembang dengan kewajiban-kewajiban yang merugikan bisnisnya.
 .
"Kegagalan kinerja menteri usulan parpol pada dua periode ini, maka Presiden sebaiknya memilih menteri dari jalur profesional/akademisi," katanya. Ia menambahkan, Menpera yang dibutuhkan rakyat adalah figur yang kapabel dan memiliki visi-misi yang kuat untuk mengembangkan "housing delivery system" (HDS) secara utuh dengan mengutamakan public HDS dan community HDS dan tetap menempatkan commercial HDS sebagai bisnis profesional.

Selain itu, kata dia, figur Menpera juga dapat melakukan pembinaan kapasitas daerah secara efektif melalui konsep, skema-skema dan model-model penanganan yang tepat serta melakukan penguatan kelembagaan penyedia perumahan publik dengan menempatkan Perumnas sebagai Perumnas reformasi (NHUDC).(Antara)
.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=287448
.
http://www.beritasatu.com/articles/read/2011/9/6191/presiden-harus-evaluasi-kerja-menpera
.

Posisi Menteri Asal Bogor Terancam

Senin, 26 September 2011 , 09:04:00

SDA Siap Ajukan Pengganti Suharso Monoarfa
JAKARTA-Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa menjadi salah satu menteri yang terus disebut-sebut bakal ikut di-reshuffle. Sebagai salah satu pimpinan partai yang telah diajak bicara Presiden SBY, Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali menyatakan, pihaknya siap mengajukan nama calon pengganti menteri, jika nanti presiden memintanya.
 
Terpisah, dosen Kelompok Perumahan dan Pemukiman ITB M. Jehansyah Siregar mengatakan, dua tahun pemerintahan SBY, urusan perumahan rakyat memang menunjukkan kinerja yang sangat mengkhawatirkan. “Berbagai program bisa dinilai meleset dari tujuannya,” kritik Jehansyah yang juga anggota Tim Visit Indonesia 2033, itu.(dyn/pri/bay)

http://radar-bogor.co.id/index.php?rbi=berita.detail&id=80094

Kamis, 08 September 2011

Program Rumah Komersial Murah Dinilai Gagal

Oleh Anugerah Perkasa
Kamis, 08 September 2011 | 16:49 WIB
.
Bisnis Indonesia
.
JAKARTA: Moda perumahan komersial diminta untuk tidak lagi mengerjakan perumahan rakyat terutama untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), karena dinilai  gagal mencapai target yang tepat dalam realisasinya.
.
Pakar tata kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan upaya mengekspansi pasar perumahan komersial untuk melayani kebutuhan perumahan MBR dan kelompok miskin sudah menunjukkan kegagalan dalam penjangkauan segmen tersebut.
.
Oleh karena itu, lanjutnya, moda perumahan seperti ini  tidak bisa dipaksa untuk memikul beban misi merumahkan rakyat.
.
"Perumahan komersial seharusnya benar-benar diarahkan untuk mengisi segmen perumahan menengah atas yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat dari segmen MBR dan miskin. Sedangkan segmen menengah atas,  motif mencari keuntungan dari sisi pasokan mendapatkan justifikasi dengan sisi permintaan yang mencari kualitas dan kepuasan," ujarnya hari ini.
.
Menurutnya, praktik perdagangan perumahan komersial tidak boleh lagi dijalankan di atas alas pemanfaatan sumber daya publik yang tidak diregulasi oleh suatu moda penyediaan publik.
.
Menurut dia, skema fasilitasi bisnis properti yang menggunakan dana-dana publik sudah terbukti mengandung kelemahan yang nyata sekali untuk menjangkau kelompok prioritas secara efektif.
.
Jehansyah menambahkan praktik perumahan komersial yang tidak dikelola melalui moda penyediaan tersendiri telah berakibat pada konflik peran, intervensi terhadap urusan perumahan rakyat dan fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan. Dia menilai perumahan komersial adalah bagian dari industri properti, yang menjadi urusan bidang perindustrian dan perdagangan, serta bukan bidang perumahan rakyat.
.
"Beragam masalah perumahan rakyat berkembang karena absennya moda perumahan publik sebagai pemimpin atau lokomotif dari suatu aransemen multi-moda penyediaan perumahan," ujarnya. (sut)
.
http://www.bisnis.com/articles/program-rumah-komersial-murah-dinilai-gagal

Minggu, 04 September 2011

Nasib Perumahan Rakyat

HARI PERUMAHAN
Jumat, 26 Agustus 2011 | 03:34 WIB

Hari Perumahan Nasional, yang diperingati setiap 25 Agustus, sejatinya membawa harapan baru bagi pembangunan rumah rakyat. Apalagi, sektor properti kini sedang naik daun (booming ) sebagai salah satu instrumen investasi.
.
Naik daunnya sektor properti ternyata tidak menular ke perumahan rakyat. Harapan perumahan bagi masyarakat menengah bawah seolah terkubur di balik keruwetan persoalan yang melingkupinya. Di depan mata, kekurangan (backlog) rumah di Indonesia sudah mencapai 13,6 juta unit.
.
Penyerapan rumah rakyat melambat. Ketidakjelasan itu terlihat dari terhentinya proyek rumah susun bersubsidi, program rumah murah yang tersendat, sampai minimnya penyaluran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk masyarakat menengah bawah.
.
Tahun 2011, pemerintah menargetkan penyaluran FLPP total 184.000 unit, meliputi 10.000 unit rumah susun dan 50.000 unit rumah murah. Hingga Agustus 2011, penyaluran FLPP melalui Bank Tabungan Negara baru 60.000 unit, sedangkan rumah murah kemungkinan hanya 8.600 unit tahun ini.
.
Persoalan tidak berhenti di situ. Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia, yang diharapkan berkontribusi memasok rumah bersubsidi, telah mengibarkan ”bendera putih” menyerah untuk menyediakan rumah susun subsidi, terutama di Jabodetabek. Penyebabnya banyak.
.
Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa kerap berargumen, kendala mendasar suplai perumahan rakyat adalah lahan. Sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman diterbitkan, tanggung jawab lahan ada pada pemerintah daerah. Namun, sulit mengharapkan gerak cepat pemerintah daerah.
.
Kendati pemerintah telah menjanjikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 150 miliar pada 62 kabupaten/kota yang bersedia menyediakan lahan perumahan rakyat, upaya itu tak membuahkan hasil optimal. Masih sedikit pemda yang mampu menyisihkan anggaran APBD untuk lahan.    
.
Seakan tambal sulam, Kemenpera menyikapi itu dengan rencana menggulirkan subsidi prasarana sarana umum (PSU) bagi pengembang rumah nonsubsidi, dengan harapan mau menyediakan lahan rumah murah, serta mencanangkan DAK untuk bank tanah tahun 2012. Pemerintah juga menjanjikan stimulus bagi pengembang agar kembali bergairah membangun rumah susun bersubsidi.
.
Pengamat perumahan Jehansyah Siregar mengingatkan, masalah struktural perumahan rakyat tidak bisa diatasi dengan kebijakan tambal sulam dan birokrasi yang berorientasi pada paket-paket proyek. Reformasi sistem penyediaan rumah rakyat harus ditetapkan dan diterapkan.
.
Apakah Hari Perumahan Nasional hanya identik dengan seremonial belaka ataukah membawa harapan pembenahan sistem perumahan rakyat? Harapan masih ada jika komitmen seluruh pemangku kepentingan terbukti. (BM Lukita Grahadyarini)

http://nasional.kompas.com/read/2011/08/26/03341991/nasib.perumahan.rakyat







Kamis, 25 Agustus 2011

MAHALNYA PERUMAHAN BAGI RAKYAT


MAHALNYA" PERUMAHAN BAGI RAKYAT
Pemerintah Daerah harus memiliki pola pandang yang sama dengan Pemerintah Pusat dalam pemenuhan penyediaan perumahan bagi masyarakat di daerahnya. Survei Badan Pusat Statistik yang dilaksanakan pada 2010 mencatatkan angka 22 persen atau sebanyak 13,6 juta rumah tangga tidak memiliki rumah dari total 240 juta jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan kemampuan pengembang membangun rumah, rata-rata hanya sebanyak 300.000 unit per tahun. Padahal pertumbuhan kebutuhan setiap tahun jauh di atas itu.
Nah, Jika pemerintah tidak memiliki solusi yang cepat dan tepat untuk mengatasinya, maka angka backlog (kekurangan) pasti akan terus menanjaksejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif. Lantas upa yang harus dilakukan pemerintah agar kebutuhan masyarakat itu bisa terpenuhi?
.
Siswono Yudohusodo, Mantana Perumahan Rakyat, mengatakan pemerintah harus berperan dan memampukan intervensi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mampu memiliki hunian yang layak. Hari Perumahan Nasional yang jatuh setiap tanggal 25 Agustus jelasnya justru bisa dijadikan momentum untuk meluruskan arah pengembangan perumahan nasional agar industiri perumahan juga berpihak kepada kebutuhan perumahan bagi MBR.
.
Di era otonomi daerah maka tanggung jawab pembangunan di bidang perumahan memang sebaiknya diberikan pada Pemerintah Daerah. Kelembagaan yang mengatur kebijakan perumahan pada tingkat operasional lapangan ada di tingkat daerah yang langsung menangani lingkungan. "Karena otonomi daerah merupakan sistem manajer!" negara yang memungkinkan suatu keputusan diambil dengan cepat, efektif dan lebih kontekstual dengan memperpendek rentang kendali," ucapnya, beberapa waktu lalu.
.
Selain itu, lanjutnya, masalah perumahan terkait aspek yang amat luas. Jangan lagi terjadi masing-masing daerah hanya mencoba mengatasi permasalahannya sendiri-sendiri. Hal tersebut sebetulnya sudah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Pemda memiliki kewajiban untuk memastikan ketersediaan lahan untuk lokasi pembangunan perumahan bagi masyarakat, penyediaan prasarana sarana dan utilitas (PSU) serta terkait man pembangunan rumah.
.
Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang mengamanatkan bahwa pembangunan perumahan merupakan urusan wajib Pemda. Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi ujung tombak dalam melaksanakan kewajiban menjamin perwujudan akan rumah bagi masyarakat, khususnya bagi MBR.
.
Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan Pemerintah Kabupaten/Kota masih banyak yang terbatas. Karena itulah menurut Suharso Monoarfa, Menteri Negara Perumahan Rakyat, Pemerintah Pusat jelasnya juga akan membantu Pemda untuk mendorong terlaksananya program perumahan di daerah. Dari sisi konsumsi, jelasnya saat ini pemerintah pusat melalui Kementerian Perumahan Rakyat juga mengupayakan agar MBR dapat menjangkau harga rumah yang dibangun oleh pengembang melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
.
Selain itu tahun ini Pemerintah juga memfasilitasi pembangunan Prasarana, Sarana dan Utilitas perumahan untuk 24 ribu unit rumah di seluruh Indonesia. Pembangunan itu akan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang perumahan sebesar Rp 150 miliar. Penyaluran DAK merupakan bagian dana perimbangan untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah.
.
"Penyaluran DAK ini dilakukan untuk meningkatkan program perumahan di daerah mengingat fiskal di daerah sangat kecil," ujarnya Beberapa kriteria teknis yakni; harus dipenuhi daerah untuk mendapatkan DAK antara lain meliputi kepadatan penduduk, jumlah angka kumulatif kekurangan rumah, kesiapan lahan, dan lokasi perumahan, serta rencana pembangunan rumah.
.
Jehansyah Siregar, Peneliti dari Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman (KKPP) Institut Teknologi Bandung mengatakan, meskipun UU PKP menyebut tanggung jawab ketersediaan lahan berada di pundak Pemda, tetapi bukan berarti Pemerintah Pusat bisa melempar tanggung jawabnya. Masih mahal dan sulitnya urusan pengadaan tanah untuk perumahan karena pemerintah masih menggunakan mekanisme bisnis properti dalam pembebasan lahan maupun perizinan. Namun, semua kendala itu akan hilang jika dikembangkan melalui mekanisme perumahan publik yang terencana.
.
"Pengembangan sistem penyediaan perumahan publik hendaknya menjadi perhatian, terutama dalam pengadaan tanah perumahan rakyat. Sedangkan peran Pemerintah Daerah utamanya adalah mengendalikan proses ini dengan mengacu pada rencana tata ruang dan menjamin pelaksanaannya secara terarah," jelasnya. Kepada pemerintah, Jehansyah mengusulkan, bisa mengembangkan model bank-bank tanah untuk menjamin ketersediaan lahan bagi pembangunan perumahan rakyat. Bisa dilakukan lewat dua metode, yaitu skala besar untuk pengembangan kawasan terpadu, serta skala menengah dan kecil guna menciptakan kawasan-kawasan permukiman baru.
.
"Pemerintah pusat perlu segera memiliki model bank tanah skala besar melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tugas ini bisa dilaksanakan Perumnas maupun melalui pendirian BUMN, di kota-kota metropolitan di seluruh Indonesia," ujarnya. Tanpa hal itu, maka ketersediaan lahan yang mudah dan murah untuk perumahan rakyat tidak akan berjalan. TIM INFO TEMPO


http://www.bataviase.co.id/node/774537

Rabu, 17 Agustus 2011

Program rumah murah untuk kaum miskin tak realistis

Selasa, 16 Agustus 2011 | 13:45 WIB

JAKARTA: Program pemerintah tentang rumah murah bagi orang miskin atau kerap disebut Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dianggap tidak realistis terkait dengan minimnya intervensi pemerintah terhadap penguasaan tanah dan tidak adanya pengawasan yang ketat tentang hunian berimbang.
.
Peneliti tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan penguasaan tanah saat ini masih didominasi oleh pengembang swasta terutama dalam skala besar. Selain itu, sambungnya, pengawasan ketat mengenai hunian berimbang dalam satu kawasan tidak dilakukan secara optimal. Dalam hal ini, pengembang diwajibkan membangun satu rumah mewah, tiga rumah skala menengah dan enam rumah murah sehingga biasa dikenal dengan komposisi 1:3:6.
.
"Bukankah pengembang swasta memang memiliki motif mencari keuntungan, sehingga bukan menjadi perhatiannya untuk membangun rumah murah yang tidak menguntungkan?," ujar Jehansyah ketika dikonfirmasi di Jakarta, hari ini.
.
Selain itu, sambungnya, pengembang swasta bisa berkilah dengan prinsip hunian berimbang  dengan memakai komposisi berbeda untuk rumah seharga Rp1,5 milyar --Rp 800 juta--Rp 300 juta rupiah, di mana harga-harga tersebut masih jauh dari jangkauan kelompok MBR. Jehansyah juga mengungkapkan hingga kini tak ada  sanksi yang jelas saat pengembang tidak menerapkan pola hunian berimbang.
.
Dalam pidato kenegaraan hari ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah menyiapkan program untuk kelompok masyarakat miskin di antaranya adalah rumah murah dan sangat murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih untuk rakyat, listrik murah dan hemat, peningkatan kehidupan nelayan, dan peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.
.
Peneliti Tata Kota  Universitas Trisakti Yayat Supriatna sebelumnya mengatakan pembangunan 1 juta rumah sulit direalisasikan.  Sejumlah hal yang mengakibatkan hal itu adalah tidak adanya kesamaan regulasi antara tingkat pusat dan daerah.
.
“Misalnya soal kepastian lahan dan pembangunan infrastruktur di mana daerah tidak bisa didikte. Regulasi yang mendukung penyediaan perumahan itu sama sekali tidak mendukung,” ujar Yayat di Jakarta. Dia mencontohkan bagaimana pembangunan perumahan sangat terkait dengan pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah.
.
Hal tersebut membuat kota-kota besar lebih banyak diprioritaskan oleh pemerintah dan pengembang dalam pembuatan produk hunian. Selain itu, sambungnya, persoalan lainnya adalah mengenai subsidi terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang tidak berjalan maksimal karena lebih banyak digunakan oleh kelompok investor. (sut) 


http://www.bisnis.com/articles/program-rumah-murah-untuk-kaum-miskin-tak-realistis



JEHAN:

Untuk menerapkan program rumah super murah dan murah, pemerintah tidak bisa mengandalkan sistem penyediaan yang ada saat ini, yang hanya bertumpu pada mekanisme perumahan komersial maupun proyek-proyek subsidi yang bersifat karitatif. Dalam iklim demikian, wajar saja jika berbagai kendala menghadang, seperti kesulitan soal pengadaan tanah, infrastruktur, mekanisme pembiayaan yang sesuai dan bahkan kesulitan menghadapi kelompok masyarakat yang menjadi kelompok sasaran.
.
Jika dipaksakan juga maka tetap tidak akan efektif, seperti praktek yang terjadi selama ini. Banyak persoalan baru justru bermunculan, yaitu kelompok sasaran yang meleset, dominasi perumahan komersial, pengembangan kawasan yang tidak terencana dan subsidi yang akan tergerus oleh pasar. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan kapasitas sistem penyediaan perumahan rakyat yang utuh (multi housing delivery system),  meliputi sistem penyediaan perumahan publik yang didukung sistem penyediaan perumahan komunitas.
.
Belajar dari sukses pembangunan perumahan rakyat di mancanegara, kedua sistem ini bertumpu pada lembaga perumahan publik yang otorotatif dan lembaga khusus perumahan swadaya. Berbagai skema seperti penguasaan tanah skala besar, hunian berimbang 1-3-6, konsolidasi tanah, keterpaduan infrastruktur dan fasos-fasum, pemberdayaan jejaring komunitas dan sebagainya, adalah prasyarat dalam penyediaan perumahan murah. Dan ini hanya dapat dijalankan di dalam sistem penyediaan yang komprehensif dan terkendali.

***

Kamis, 14 Juli 2011

Program Rumah Murah Sulit Diwujudkan

NERACA
.
Jakarta – Program serba murah dari pemerintahan SBY yang menyerap dana Rp108 triliun, termasuk penyediaan rumah murah dan sehat senilai Rp37 juta/unit tampaknya bisa bernasib seperti rusunami yang dianggap gagal. Selain sulit diwujudkan, juga terkendala banyak hal, mulai dari pembebasan tanah, tingginya bunga hingga masalah payung hukum. Apalagi banyak Pemda tidak siap melaksanakannya.
.
Menurut Pakar Perumahan ITB Mohammad Jehansyah Siregar, rencana pemerintah mengembangkan Risha (rumah instan sederhana sehat) dan Rika (rumah kayu instan) untuk masyarakat kurang mampu adalah salah sasaran. Masalahnya, Risha di patok Rp 37 juta per unit (di luar tanah) dan Rika sekitar Rp 24,6 juta per unit (di luar tanah) masih terlalu tinggi. “Ini jelas dari segi harga terlalu mahal untuk orang tidak mampu, mereka tidak memiliki uang sebanyak itu. Yang mereka punya cuma tenaga,” katanya kepada Neraca, Rabu (13/7)
.
Dia menekankan pemerintah seharusnya jangan terkonsentrasi mengadakan unit-unit rumah. Tapi lebih kepada pengembangan kawasan pemukimannya terlebih dahulu. Mulai dari kesiapan prasarana dan utilitas seperti MCK, sanitasi, air bersih, transportasi, serta penyediaan sarana seperti sekolah, fasilitas kesehatan, pasar, dan dekat dengan tempat bekerja. “Kalau semua itu sudah tersedia, mereka diberi rumah inti juga sudah cukup, nanti akan mereka kembangkan sendiri,” terangnya.
.
Lebih jauh Jehan menilai, developer (pengembang) tidak akan tertarik pada proyek ini karena yang hendak di bangun hanya unit-unit rumah bukan pengembangan kawasan perumahan. Yang mungkin tertarik hanyalah para kontraktor, karena rumah ini akan di produksi dalam jumlah besar. “Tapi tetap saja ini proyek ini tidak perlu, karena salah sasaran,” tegasnya.
.
Hal yang sama dikatakan Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch yang sudah mewanti-wanti jangan sampai program ini akan sama nasibnya dengan program rusunami yang sudah pernah ada. Program perumahan murah untuk rakyat, namun gagal dalam pelaksanaanya. ”Kita paling bisa buat istilah bagus tapi pelaksanaan nggak bagus,”ujarnya kemarin.
.
Alasannya, kata Ali menambahkan, masih banyak pemda yang belum siap mengenai rencana tata ruang di wilayahnya. Baik di pulau Jawa maupun luar Jawa. ”Semua tergantung pada kesiapan pemda dalam penyediaan lahan dan matangnya tata ruang wilayah masing-masing,” terangnya.
.
Terancam Macet
Menurut dia, program ini bisa berhasil apabila kesiapan pemerintah cukup matang. Dalam hal ini adalah penyiapan lahan, mengingat biaya lahan pada program ini dibebankan pada pemerintah. ”Program ini bisa jalan kalau ada dukungan dari pemda karena tanah menjadi tanggung jawab pemda untuk menyediakannya. Kalau nggak akan sulit,” katanya.
.
Diakui mantan Wakil Ketua Komisi V DPR F-PKB, Marwan Jakfar, program ini terancam macet. Karena itu pemerintah perlu lebih serius menggarapnya. “Deadlock ini masih sangat luar biasa. Makanya pemerintah harus lebih aktif menggenjot lagi. Sebab program ini harus di support oleh semua kalangan,”ujarnya kemarin.
.
Dia menambahkan program rumah murah seharga Rp37 juta/unit ini memang agak sulit direalisasikan di Pulau Jawa, apalagi Jabotabek. “Program rumah murah ini untuk di Jawa mungkin agak sulit. Karena harga tanah yang sudah relatif mahal, mungkin kalau untuk di luar Jawa bisa saja,” tandasnya.
.
Yang jelas, lanjut Marwan, masalah perumahan murah ini memang tak bisa lepaa dari pembiayaan perbankan. Karena itu suku bunga kredit ikut menentukan. “Perbankan juga ikut menentukan, misalnya bagaimana pemberian kredit bagi pengembang dan juga tergantung tinggi atau rendahnya pemberian bunga kredit buat pengembang,”cetusnya.
.
Ditempat terpisah, Developer PT Miftah Putra Mandiri, Miftah Sunandar mengungkapkan kesulitannya memenuhi program pemerintah untuk membangun Rumah Sederhana Sehat (RSH) dengan harga murah. Alasannya, pembebasan tanah di Depok sudah mencapai Rp200 ribu per meter. Paling rendah, kata dia, harga perumahan di Depok berada di kisaran harga Rp80 juta per unit.
.
“Perumahan rakyat dan murah sudah sulit di Depok, karena pembebasan lahan biayanya sangat tinggi, paling rendah harganya Rp80 juta, dengan angsuran Rp680 ribu, itu pun lokasinya jauh dari pusat kota, tapi banyak tukang ojek kontrak rumah Rp600 ribu per bulan, kan lebih baik buat cicilan,” ujarnya.
.
Selain itu, kata Miftah, saat ini Pemerintah Kota Depok memberlakukan peraturan dalam Perda tentang perizinan terkait larangan tipe rumah 21 tanah 60 meter persegi. Sebab hal itu terkendala dengan ketersediaan lahan terbuka hijau. “Kami kesulitan, karena harus membangun paling kecil tipe 30 tanah 72 meter persegi, karena harus menyediakan Ruang Terbuka Hijau, sementara harga pembebasan tanah tinggi, mau enggak mau mengikuti aturan pemerintah tapi lokasinya jauh dari pusat kota Depok,” katanya.
.
Keluhan sama datang juga dari pengembang besar dengan tingginya bunga perbankan, Vice President Director PT Agung Podomoro Land Tbk, Handaka Santosa, yang menilai suku bunga perbankan tetap menjadi keluhan. “Kalau kita bilang sejujurnya saat ini bunga itu yang terendah. Zaman dulu (suku bunga) lebih tinggi,” urainya.
.
Handaka menilai, sekarang bunga bank cukup akomodatif. “Tapi sebetulnya kalau dihitung-hitung antara bunga deposito dan kredit, spread harusnya bisa ditekan lagi. Tapi saya ngga bilang ini tinggi,” tukasnya.
Menurut dia, spread suku bunga yang baik bagi dunia properti adalah lebih rendah daripada yang ada sekarang. “Bunga yang diberikan antara deposito dan kredit itu mestinya spread-nya 3%. Itu menunjukkan efisen atau tidak efisiennya bank dalam mengelola dana,” tuturnya.
.
Saat ini, lanjut Handaka, industri properti kalau mengandalkan pendanaan dari pinjaman dari bank akan sangat berat. “Kalau saya di Podomoro kan ngga begitu. Kita biasanya ada modal dan pinjaman itu hanya untuk bridging finance saja,” ucapnya.
.
(iwan/vanya/faozan/cahyo)
.
http://www.neraca.co.id/2011/07/13/program-rumah-murah-sulit-diwujudkan/
 .

Ralat:
"...Yang mereka punya cuma tenaga". Tepatnya yang saya katakan dalam wawancara telepon, "Mereka lebih memiliki tenaga dan waktu ketimbang uang". Juga saya katakan namun tidak dimuat adalah bahwa rumah instan itu tidak sesuai untuk masyarakat bawah. Siapa bilang mereka butuh instan?  Kalau untuk perumahan tanggap bencana iya, rumah instan itu sesuai.

Rabu, 06 Juli 2011

Pemerintah Diminta Jamin Pasokan Rumah di Perkotaan

BY MUHAMMAD RINALDI

Property

Wednesday, 06 07 2011

JAKARTA (IFT) - Pemerintah diminta memberikan perhatian besar dan menjamin upaya memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di perkotaan, ujar pengamat. Diprediksi jumlah penduduk Indonesia pada 2025 akan mencapai 274 juta jiwa dan 60% diantaranya tinggal di kota.

Jehansyah Siregar, Pengamat Permukiman dari Institut Teknologi Bandung mengatakan pemenuhan rumah di perkotaan tidak mungkin dilakukan dengan menyediakan rumah horizontal atau tapak. Dengan harga lahan yang semakin langka dan mahal, pengembangan perumahan vertikal dalam skala besar di perkotaan mutlak dilakukan pemerintah guna mengurangi potensi kekumuhan dan gesekan soial maupun keamanan.

“Kebutuhan perumahan di Jakarta saja hampir 75.000 unit per tahun. Kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi kalau tidak ada satu program khusus yang mampu mendorong pasokan rumah vertikal semacam rumah susun di perkotaan,” ujarnya di Jakarta, Selasa.

Dengan tinggal di tengah kota, orang lebih dekat dengan tempat kerja dan kepadatan lalu lintas yang selama ini menjadi persoalan besar terutama di Jakarta dapat diatasi. Jehansyah memperkirakan kemacetan di Jakarta bisa ditekan 20%-30% dengan adanya pemenuhan kebutuhan rumah susun atau apartemen di tengah kota, baik untuk segmen atas maupun menengah bawah.

Suharso Monoarfa, Menteri Perumahan Rakyat mengatakan pembangunan perumahan saat ini menjadi tanggungjawab penuh pemerintah daerah termasuk pemerintah kota. Karena itu, ke depan dia mengingatkan perlunya pemerintah kota mengantisipasi terjadinya ledakan penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan perumahan.

“Makin banyak penduduk yang memilih tinggal di perkotaan, sehingga pasokan rumahnya perlu diantisipasi. Tidak hanya kesiapan tata ruang dan pendanaan untuk membangun infrastruktur, ketersediaan land bank juga harus dipikirkan,” ujarnya.

Pertambahan penduduk yang cepat di perkotaan hampir terjadi di semua negara. Karena itu, upaya membentuk kota-kota baru yang saat ini mulai digagas diharapkan menjadi solusi mengurangi kepadapatan penduduk di kota yang sudah ada, termasuk mengurangi kebutuhan rumah setiap tahunnya. Menurut Suharso, kota dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Apalagi di berbagai kota besar sepertiJjakarta, Surabaya dan Medan yang penduduknya sudah di atas 10 juta jiwa.

Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik diketahui bahwa kekurangan (backlog) rumah di Indonesia mencapai sekitar 13,6 juta. Belum temasuk kebutuhan setiap tahun yang bertambah akibat adanya perkawinan dan rumah rusak. “Sudah saatnya program perumahan menjadi inti pembangunan perkotaan,” tegas Suharso.

Kendala Tata Ruang

The Housing and Urban Development Institute menilai hampir seluruh kota besar di Indonesia termasuk Kota Jakarta memiliki tata ruang yang semrawut. Kesemrawutan itu akhirnya menimbulkan banyak persoalan rumit seperti soal permukiman dan transportasi.

“Kondisi itu bertambah parah justru setelah era reformasi dan otonomi daerah. Setiap daerah berjalan sendiri-sendiri dalam penataan kotanya,” kata Zulfi Syarif Koto, Direktur Eksekutif The HUD Institute.

Hal yang lazim terjadi adalah perubahan peruntukan yang dilakukan pemerintah daerah tanpa memikirkan dampaknya di masa mendatang. "Banyak kawasan permukiman di Jakarta justru diubah fungsinya menjadi pusat bisnis dan hiburan," katanya.(*)


http://www.indonesiafinancetoday.com/read/10630/contact

Kamis, 30 Juni 2011

Pemerintah perlu kaji kebijakan perumahan

Oleh Siti Nuraisyah Dewi

Published On: 29 June 2011


JAKARTA: Pemerhati perumahan menilai pemerintah sebaiknya perlu mengkaji ulang kebijakan dan berbagai pola pengadaan perumahan rakyat guna memastikan tersedianya rumah bagi masyarakat dan mengurangi kekurangan ketersediaan rumah (backlog). Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan pertambahan backlog dari 8,1 juta unit rumah menjadi 13,6 juta unit rumah menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kebijakan, program dan pendekatan perumahan rakyat selama ini tidak efektif memenuhi target rumah untuk rakyat.
.
“Pertambahan backlog ini akan seiring dengan pertambahan permukiman kumuh perkotaan pula. Artinya, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan dan berbagai pola pengadaan perumahan rakyat. Seharusnya, pemerintah mengembangkan sistem penyediaan perumahan publik yang memimpin perumahan komersial, perumahan sosial dan perumahan komunitas,” tutur Jehansyah kepada Bisnis, beberapa waktu lalu. Menurut Jehansyah, pemerintah dapat memfokuskan pengadaan pengadaan di 10 metropolitan dan 30 kota besar di Tanah Air.
.
Salah satu penggagas Housing and Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan dalam upaya mengatasi backlog, pemerintah sebaiknya menguatkan kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat. Kedepannya, lanjut Zulfi, pemerintah seharusnya menjadikan 6 lembaga sebagai pilar pembangunan perumahan rakyat yaitu Kementerian Perumahan Rakyat, Perum Perumnas, Bank BTN, PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim) dan Bank Pembangunan Daerah.
.
“Selain itu pemerintah perlu duduk bersama dengan para stakeholder perumahan baik di pusat dan daerah guna memfokuskan koordinasi dengan pemerintah daerah,” tutur Zulfi. Dia menuturkan dalam merumuskan kebijakan, pemerintah diharapkan tidak mempunyai kepentingan sesaat terutama dalam pemberian intensif atau stimulant baik fisik maupun non fisik khususnya kepada masyarakat berpendapatan rendah.
.
Lebih lanjut, Zulfi memaparkan diperlukan political will dan good will baik di pusat dan daerah yang berpihak kepada rakyat. Ke depannya, kata dia, khususnya pada tingkat pemerintah pusat, meski yang mengurus sektor perumahan dan kawasan permukiman ada pada Kemenpera, tetapi political will dan good will diharapkan muncul dari kementerian lainnya dengan menanggalkan ego sektoral yang selama ini terjadi.(mmh)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/29252-pemerintah-perlu-kaji-kebijakan-perumahan

Rabu, 22 Juni 2011

Peran Perumnas Harus Dioptimalkan




Oleh Eko Adityo Nugroho

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mengoptimalkan peran Perum Perumnas untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan tempat tinggal {backlog) yang mencapai 13,6 juta unit.
"Peran Perumnas harus dioptimalkan untuk atasi backlog. Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang bertujuan menunjuk Perumnas untuk bangun rumah umum yang dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," ungkap Ketua Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3D Zulfi Syarif Koto kepada Investor Daily di Jakarta, baru-baru ini.
Kewenangan khusus Perumnas, menurut dia, bisa memacu kinerja perusahaan terkait percepatan penyediaan rumah. Peran Perumnas ini mengacu UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengemban tugas untuk membangun rumah umum {public houses) bagi kalangan MBR. "Perumnas juga harus diberi public service obligation (PSO) untuk menunjang fungsi dan tugas-tugasnya," tambahnya.
.
Melalui PSO, terang dia. Perumnas akan fokus membangun rumah umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sedangkan, pe-ngembang-pengembang swasta akan memiliih pengembangan rumah-rumah komersial yang harganya di atas subsidi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) seharga Rp 80 juta.
.
"Beri kemudahan lainnya bagi Perumnas. Misalnya, perizinan untuk rumah umum dipermudah, bangun prasarana sarana dan utilitasnya seperti jaringan listrik, air, dan jalan. Selain itu, hapus biaya-biaya yang tidak jelas. Sediakan pala lih.innya oleh pemerintah daerah. Dengan begitu, rumah-rumah umum bisa dibangun dengan harga yang semurah mungkin," papar Zulfi.
.
Direktur Pemasaran Perum Perumnas Teddy Robinson sebelumnya mengungkapkan, pihaknya akan mendapatkan dana PSO sebesar Rp 400 miliar dari Rp 1 triliun yang diminta ke pemerintah. Dana yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan rumah sejahtera tapak sebanyak 20.650 unit di seluruh Indonesia tersebut di-harapkan dapat dikucurkan awal semester 11-2011.
.
Perumnas mengajukan dana PSO perumahan kepada pemerintah senilai Rp 1 triliun untuk pengembangan 50.000 ribu unit rumah. Tiap rumah sejahtera tapak yang dibangun memperoleh PSO mencapai Rp 20 juta. "Manajemen Perumnas telah diundang Kementerian Perumahan Rakyat untuk membahas kinerja Perumnas sekaligus mengaplikasikan PSO dari kementerian untuk kesinambungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah telah menyatakan komitmen untuk mengucurkan dana dari APBN senilai Rp 400 miliar," tuturnya.
.
Masuknya dana PSO pemerintah, menurut dia, bisa menekan harga jual rumah Perumnas, sehingga bisa diakses masyarakat bawah. "Dana ini akan menjadi subsidi selisih harga rumah normal dengan harga rumah yang diinginkan pemerintah. Misalnya, harga jual 10 rumah akan setara dengan harga jual delapan unit rumah," katanya.
.
Public Housing
.
Anggota Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan, pemerintah harus memiliki public housing delivery system untuk menyediakan rumah murah bagi masyarakat.
.
Sistem kelembagaan publik ini harus dijalankan oleh pengembang publik yang memiliki kemampuan menyediakan serta mengelola bangunan dan kawasan dalam skala besar.
.
Peran ini tidak bisa dijalankan oleh BPN maupun pengembang swasta. "Di sini peran pemerintah nasional melalui pengembang publik, seperti Perumnas masih cukup besar untuk mewujudkan itu," kata dia. Namun, paparnya, peran Perumnas harus direvitalisasi menjadi National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC).

http://bataviase.co.id/node/710741

Sabtu, 04 Juni 2011

Program Rumah Murah Masih Terganjal Lahan

(Kompas, Selasa-31 Mei 2011)
JAKARTA, KOMPAS-Program rumah murah yang dicanangkan pemerintah untuk rakyat berpenghasilan di bawah Rp 2,5 juta per bulan tersendat. Kendala terbesar adalah kepastian lahan dari pemerintah daerah hingga infrastruktur penunjang.
Direktur Utama Perum Perumnas Himawan Arief mengemukakan, pihaknya siap membangun rumah murah sebanyak 16.000 unit seharga Rp 20 juta-Rp 25 juta per unit, serta rumah murah Rp 25 juta-Rp 55 juta per unit tahun 2012.
Meskipun demikian, diperlukan komitmen menyeluruh, baik pemerintah pusat maupun daerah untuk menyediakan kewajiban pelayanan publik dan lahan agar program nasional rumah murah bisa terwujud.
Himawan menambahkan, presiden telah mengarahkan revitalisasi fungsi Perum Perumnas untuk menjadi pelaku utama penyediaan rumah rakyat dan pembangunan perkotaan. Hal itu akan dibahas dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2004 tentang Perum Perumnas.
Pengamat Perumahan dari Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar menilai, proyek rumah murah tanpa lokasi yang terencana tidak akan mampu mengejar kebutuhan perumahan, terutama di perkotaan. Padahal, urbanisasi di 10 kota metropolitan dan 100 kota besar dan sedang membutuhkan sedikitnya 2 juta rumah per tahun.

Untuk itu, diperlukan pemberdayaan perusahaan negara untuk menjadi lokomotif pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar. Hingga kini, total kekurangan rumah di Indonesia sudah mencapai 8,4 juta unit. Adapun laju kekurangan rumah setiap tahun mencapai 400.000 unit. (LKT)

http://www.reidkijakarta.com/rei/web/?mod=news&do=detail&cat=1&id=508

Kamis, 05 Mei 2011

UU PKP - Kemenpera targetkan empat PP dari UU PKP rampung medio 2011

Nasional, Kebijakan

Kamis, 05 Mei 2011 | 19:01  
oleh Dani Prasetya
 
JAKARTA. Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) targetkan empat peraturan pemerintah (PP) dari Undang-undang No1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) rampung pertengahan 2011.

"Targetnya bukan April ini kok, tapi pertengahan tahun. Draftnya sudah selesai sekarang," ujar Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, Kamis (5/5).

Padahal, kementerian itu sebelumnya menargetkan, PP dapat terbit sekitar tiga bulan setelah undang-undang disahkan. Undang-undang PKP itu diterbitkan pada 17 Desember 2010.

PP itu antara lain tentang aturan kepemilikan properti oleh pihak asing yang kemungkinan besar akan merevisi tentang periode waktu kepemilikan properti supaya dapat langsung selama 70 tahun. Saat ini, masa kepemilikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang dua kali selama 20 tahun dan 25 tahun.

Selain itu, PP pun akan disusun dengan materi tentang rumah umum, swadaya, dan rumah negara yang akan dijadikan satu dalam PP yang sama. Juga, PP tentang peningkatan kualitas hunian dan penanggulangan rumah kumuh, serta aturan tentang lembaga yang mengatasi tumpukan pembangunan rumah yang belum dikerjakan (backlog).

Namun, Ketua Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar sebelumnya mengatakan, undang-undang itu hanya berisi arahan teknis proses produksi rumah.

Regulasi hasil amandemen Undang-undang No4/1992 itu dianggap belum dapat menjamin berkembangnya sistem penyediaan rumah. "Yang ada hanya arahan yang terlalu teknis dalam proses produksi rumah-rumah. Hal itu tidak akan mencapai rumah layak untuk seluruh rakyat," jelas dia.

Seperti diketahui, banyak pengamat dan pelaku properti menilai materi regulasi itu masih memiliki kekurangan yang tidak dapat menyelesaikan masalah penyediaan perumahan.

Jehan menyebut, di antaranya, undang-undang inisiatif DPR itu masih memiliki cacat dalam hal permasalahan pengadaan tanah untuk perumahan rakyat, masalah bentuk konkrit jaminan bermukim, pengorganisasian warga permukiman kumuh, hingga pemukiman kembali. "Semua belum jelas sistem delivery-nya," ujar dia.

http://nasional.kontan.co.id/v2/read/1304596861/66680/Kemenpera-targetkan-empat-PP-dari-UU-PKP-rampung-medio-2011

Selasa, 03 Mei 2011

Kebijakan perumahan tak berkembang

Oleh Anugerah Perkasa

Published On: 28 April 2011

JAKARTA: Kebijakan fasilitas pasar perumahan oleh pemerintah dinilai tidak berkembang sehingga tidak dapat menjadi solusi untuk penyediaan perumahan dan kawasan permukiman untuk rakyat dengan baik.

Anggota Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar mengatakan walaupun pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi pasar perumahan, namun tidak kunjung menghasilkan pasar perumahan yang bekerja secara efektif.

Menurut dia, saat kebijakan tidak berkembang dengan baik, justru  jumlah penduduk dan perkotaan semakin mendominasi permukiman.

"Tantangan pemenuhan ragam bentuk kebutuhan perumahan rakyat terus berkembang. Namun pasar perumahan tidak kunjung dapat diregulasi secara efektif. Urusan perumahan rakyat terpinggirkan. Padahal, pembangunan perumahan mendominasi proses pengkotaan," ujar Jehansyah, hari ini.

Dia mencontohkan peranan Bank BTN maupun Perum Perumnas pada sekitar 1974-1980-an dalam fokus penyediaan perumahan umum, yang ditandai dengan penguasaan tanah yang semakin banyak dan pembangunan rumah-rumah susun.

Akan tetapi, setelah periode tersebut, paparnya, Perumnas dan BTN justru terperosok ke dalam bentuk kebijakan perumahan yang lain, yaitu memfasilitasi pasar perumahan yang tanggung.

Selain itu, sambung Jehansyah, ketika pasar primer perumahan belum berjalan dengan baik, pemerintah justru membangun sistem pasar sekunder pembiayaan perumahan dengan mendirikan BUMN khusus di area tersebut yakni PT Sarana Multigriya Finansial.

Dia juga menyoroti tentang kebijakan perumahan yang parsial namun tetap diterapkan hingga kini.

"Sebagai contoh adalah kebijakan kontemporer mengenai pembangunan rusunami, di mana peraturan tata ruang dan bangunan justru dipandang sebagai kendala. Padahal, akibat kurang memperhatikan tata ruang dan peraturan bangunan,  justru memberi dampak buruk terhadap daya dukung kawasan dan keberlanjutan pengelolaan bangunan," ujarnya.

Pendiri Panangian School of Property (PSP) Panangian Simanungkalit mengatakan selama ini pengembang swasta tidak mau masuk dalam bisnis perumahan murah karena dianggap tidak menguntungkan.

Selain itu, katanya, pemerintah daerah seringkali memberikan batasan-batasan sehingga pengembang enggan masuk ke sektor perumahan murah.

"Pemerintah daerah terlalu banyak memberikan batasan, sehingga pengembang swasta tidak mauk masuk. Kemenpera seharusnya membuat regulasi agar perumahan murah dapat diproduksi secara massif denganmemberikan kemudahan izin serta pajak," kata Panangian di Jakarta.

Menurut dia, pemerintah tak memiliki kemauan politik yang besar untuk melakukan terobosan penyediaan rumah secara massif. Padahal, kata Panangian, masalah papan merupakan persoalan mendasar bagi masyarakat di negara mana pun.

Data Kementerian Perumahan Rakyat menyebutkan pembangunan perumahan di Indonesia masih menghadapi tantangan berat terutama terkait dengan masih besarnya 'backlog' (kekurangan) perumahan yang mencapai jumlah sekitar 7,4 juta rumah pada tahun 2009. Disamping itu, masih sekitar 4,8 juta unit rumah diperkirakan dalam kondisi rusak.

Sementara itu permukiman kumuh semakin meluas yang diperkirakan telah mencapai 57.800 hektare. (gak)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/21914-kebijakan-perumahan-tak-berkembang

Senin, 25 April 2011

Tak setuju UU Perumahan, silahkan Judicial Review

Senin, 25 April 2011 | 13:45  oleh Dani Prasetya
UU PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN
DPR: Tak setuju UU Perumahan, silahkan judicial review

JAKARTA. Komisi V DPR mempersilakan pihak yang tidak setuju dengan isi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). DPR menilai, undang-undang tersebut sudah mempertinbangkan secara komprehensif berbagai pemikiran dan masukan.

Anggota Komisi V DPR Abdul Hakim bersikukuh semua materi dan ketentuan dalam undang-undang itu sudah sesuai dengan norma yang berlaku. "Norma atau ketentuan mana yang tidak disetujui? Jika memang ada, judicial review saja ke MK," ujarnya, Senin (25/4).

Undang-undang tersebut itu merupakan amandemen dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Regulasi itu sempat mengalami ganjalan saat menuju pengesahannya pada Januari 2011 karena dinilai tidak mengakomodasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam mendapat akses perumahan.

Ada sekitar tujuh pasal dalam undang-undang yang tidak menjamin pemenuhan perumahan layak bagi MBR. Apalagi, alokasi perumahan layak huni yang dimaksud dalam regulasi itu masih sebatas bagi MBR yang memiliki batasan daya beli.

Pakar Perumahan dan Permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar menjelaskan, definisi MBR masih dikenali secara sangat sederhana melalui istilah layak atau tidak layak oleh bank. Konsep tersebut yang selama ini dikenal memudahkan bisnis perbankan, pengembang, dan pemerintah. "Sama sekali tidak akan mampu menjangkau kebutuhan riil perumahan rakyat dari kalangan miskin dan tak mampu," tutur dia.

http://nasional.kontan.co.id/v2/read/1303713944/65652/DPR-Tak-setuju-UU-Perumahan-silahkan-judicial-review


Revitalisasi Perumnas tak jelas


Kebijakan sistem penyediaan perumahan tak tertata baik

OLEH SITI NURAISYAH DEWI

JAKARTA Pemerintah dinilai belum memiliki sikap dan arah kebijakan yang tegas untuk mendukung revitalisasi Perum Perumnas sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC).
.
Pengamat perumahan dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar mengatakan ketidakjelasan sikap pemerintah menyebabkan kebijakan perumahan dan perkotaan semakin kehilangan arah.
.
"Kalau kami perhatikan di negara maju, masalah perumahannya dikembangkan dalam pendekatan korporasi misalnya The Housing and Development Board Singapura, Urban Renaissance Jepang," tutur Jehansyah kepada pers, beberapa waktu lalu.
Menurut Jehansyah, masalah yang ada sekarang bukan teknis mengenai berapa tower unit rumah yang susun yang dibangun, tetapi mengenai kebijakan sistem penyediaan perumahan {housing delivery system) yang baik.
.
Lebih lanjut, dia menuturkan revitalisasi peran Perumnas sebagai NHUDC adalah peran yang paling logis jika Perumnas diberikan mandat penyelenggaraanhousing delivery system dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan rakyat.
Selain itu. kata Jehansyah, belum ada solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga miskin sebagaimana diinstruksikan Presiden.
.
Penyebabnya adalah belum adanya kebijakan yang mendukung pembentukan lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ile-gal.
.
Direktur Pemasaran Perum Perumnas Teddy Robinson Siahaan mengatakan perusahaan pelat merah tersebut memang berkeinginan merevitalisasi perannya sebagai badan yang membangun dan bertanggung jawab atas pengadaan perumahan rakyat.
.
"Perumnas ingin mengembalikan tugas pokoknya dan fungsinya terhadap penyelenggaraan perumahan rakyat. Selama ini Perumnas selalu dikaitkan dengan rumah murah, Perumnas sendiri telah tersebar di seluruh Indonesia." kata Teddy saat dihubungi Bisnis, kemarin.
.
Selain itu, menurut Teddy, revitalisasi peran Perumnas ditambah dengan improvisasi menambah cadangan lahan setiap tahun. Setiap membangun pada lahan yang luas, sambungnya, Perumnas selalu menyisihkan sebagai cadangan lahannya.
.
Dia menambahkan cadangan lahan tersebut, nantinya pada 15 tahun hingga 20 tahun lagi akan menjadi emas. Saat ini. Perumnas memiliki cadangan lahan sekitar 2.200 hektare yang tersebar di seluruh Indonesia.
.
Sayangnya, cadangan lahan yang dimiliki oleh Perumnas masih jauh dari cukup untuk kebutuhan yang mencapai 20.000 hektare
.
Penyisihan anggaran
.
Tak heran, perusahaan pelat merah itu sempat mendesak pemerintah menyisihkan dana anggaran pendapatan dan belanja negara untuk keperluan pembebasan tanah bagi opti-malisasi pembangunan rumah sejahtera.
.
Teddy sempat mengeluhkan sulitnya memperoleh tanah dan harga yang terus terkerek naik, sedangkan cadangan lahan dari tahun ke tahun semakin menipis.
.
Padahal idealnya pemanfaatan tanah baru dilakukan 3 hingga 4 tahun setelah pembelian sehingga ada kenaikan harga tanah yang cukup signifikan.
.
"Dana APBN yang dibutuhkan untuk 10.000 rn2 tanah sekitar Rp4 triliun, dengan asumsi tiap m2 tanah dikenakan harga sekitar Rp40.000, dengan kapasitas tanah seluas itu, baru kita bisa punya land bank untuk cadangan 3 hingga 4 tahun ke depan,"ujarnya.
.
Sejauh ini, cara yang dilakukan Perumnas dalam pengadaan lahan di daerah, kata Teddy, Perumnas membeli atau bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.
.
"Paling cepat dan mudah pada pengadaan lahan di daerah dengan bekerja sama dengan pemda yaitu pemda menyediakan tanah. Perumnas yang membangun perumahan murah yang konsumennya sebagian besar pegawai negeri sipil (PNS) setempat dengan harga yang lebih murah," imbuhnya.
.
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat Sri Hartoyo pernah mengatakan sebagai BUMN di bidang perumahan, Perumnas seharusnya berperan lebih optimal dalam merespons program pembangunan rumah murah dengan mengesampingkan keuntungan layaknya pengembang swasta.
.
Menurut dia, pembangunan rumah sangat murah berpotensi tidak dilirik pasar. Karena itu, peran Perumnas dalam program tersebut sangat strategis.
.
Kementerian Perumahan Rakyat menjamin apabila program ini berjalan sesuai dengan target, insentif fiskal dapat diberikan seperti pembebasan PPN dan pembayaran PPh final hanya 1% seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.31/ PMK.03/20U mengingat harga rumah ini di bawah Rp70 juta. (M.ruimisvah@btsnis.co.uH) -

http://202.52.131.11/node/652433


Sabtu, 23 April 2011

KLARIFIKASI POSISI INDONESIA PADA APMCHUD

SELECTED NEWS

Thursday, 14 April 2011 12:43

Jakarta, 14/4/2011 (Kominfonewscenter) – Dalam beberapa pemberitaan disebutkan di berbagai forum internasional, atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) mengatakan Indonesia senantiasa berkomitmen pada masalah urbanisasi. Demikian juga, atas nama Ketua Konferensi Menteri-Menteri Perumahan dan Pembangunan Perkotaan se-Asia Pasifik (APMCHUD/Asia Pacific Ministerial Conference in Housing and Urban Development), Menpera menyampaikan keberhasilan kawasan Asia Pasifik dalam merumuskan Deklarasi Solo 24 Juni 2011 meningkatkan kerja sama di bidang permukiman dan urbanisasi.
.
“Tanpa mengurangi arti posisi terhormat Indonesia di forum tersebut, kiranya ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi dalam hal ini”, kata anggota KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M. Jehansyah Siregar, Ph.D di Jakarta Rabu (13/4). Jehansyah menjelaskan secara detail klarifikasi tersebut menyangkut pertama, memang disadari urusan perumahan selalu terkait dengan urusan pembangunan kota dan pengelolaannya.
.
Urusan perumahan (kota) dan pengelolaan kota adalah dua hal yang sangat kompleks, sehingga perlu dikelola dengan sangat seksama dan objektif, terlepas dari campur tangan kepentingan birokrasi maupun politik praktis. Namun justru di sinilah permasalahan yang dihadapi Indonesia, yaitu arah kebijakan, pola pengelolaan kota-kota dan mekanisme penyediaan perumahan rakyat yang masih sangat lemah.
.
“Dalam kondisi backlog perumahan dan permukiman kumuh perkotaan yang semakin meningkat, kesediaan Indonesia menjadi Ketua APMCHUD dapat dinilai sangat berani”, kata Jehansyah yang juga Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung). Menurut Jehansyah, jika dibanding dengan kota-kota lain di negara-negara Asia Pasific, kota-kota Indonesia sebenarnya masih jauh dari berkelanjutan, masih jauh dari nyaman dan tingkat pelayanan publik yang masih sangat rendah.
.
Kedua, meskipun urusan perumahan terkait dengan perkotaan, namun tupoksi Kemenpera tidak memiliki portofolio urusan perkotaan, sebagaimana ada di Kemendagri (Direktorat Perkotaan) maupun di Kemen PU (DJPR dan DJCK). “Sehingga kepemimpinan Kemenpera sebagai Ketua APMCHUD rasanya kurang memadai dan tidak akan efektif”, katanya.
.
Ketiga, kelemahan posisi Menpera dalam kepemimpinan urusan perumahan yang dipadukan dengan urusan perkotaan terlihat pada kesempatan perumusan Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP No. 1/2011) tahun lalu. Sebenarnya sudah muncul usulan agar undang-undang ini memadukan kedua hal ini, dengan mengatur urusan perumahan dan perkotaan secara terpadu. Namun karena memang Kemenpera sebagai wakil pemerintah dalam perumusan ini tidak memiliki portofolio dalam urusan perkotaan, dan kelemahan dalam mengajak instansi lainnya pula untuk merumuskan bersama-sama, maka akhirnya urusan perumahan gagal dipadukan dengan urusan perkotaan di dalam undang-undang ini.
.
Keempat, di dalam prakteknya, justru banyak proyek pembangunan menara rusunawa yang dibangun Kemenpera tidak terencana sejalan dengan rencana kota yang baik. Banyak rumah susun dibangun di lahan kecil-kecil dan terpencar-pencar. Tidak sedikit rumah susun dibangun hanya setengah twin-blok atau satu menara saja di lahan 3000 sampai dengan 5000 m2. Hal ini terpaksa dilakukan karena pengadaan tanah dan konstruksi yang tidak terpadu di dalam suatu sistem penyediaan perumahan publik.
Akibatnya, pembangunan menara-menara rusunawa cenderung merusak daya dukung prasarana dan fasilitas kota.
.
Demikian pula dengan pola yang hanya mengandalkan mekanisme perumahan komersial dengan menyerahkan urusan dari hulu hingga hilir sepenuhnya kepada para pengembang swasta, akhirnya menghasilkan tata wilayah dan perkotaan yang terpencar (scattered) dan menjalar-jalar (sprawl). Pembangunan kawasan permukiman skala besar dan kota-kota baru untuk golongan menengah atas menghasilkan tata wilayah perkotaan yang tidak berkelanjutan.
.
Kelima, belum ada sikap dan arah kebijakan yang tegas dari Kemenpera untuk mendukung revitalisasi Perumnas sebagai NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) sebagaimana sudah diusulkan oleh Perumnas sendiri. Padahal, sebagaimana di negara-negara yang sudah maju urusan perumahannya (HDB di Singapura, UR di Jepang dan KNHC di Korea), revitalisasi peran Perumnas sebagai NHUDC adalah peran yang paling logis jika Perumnas diberikan mandat penyelenggaraan public housing delivery system dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan rakyat.
.
Keenam, demikian pula, belum ada kebijakan Kemenpera yang mendukung pembentukan lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system, dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ilegal perkotaan sebagaimana contoh di negara-negara lain (CODI di Thailand, URA di Singapura dan HCA di Inggris).
.
Ketidaksiapan ini semakin tampak dengan belum adanya solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga-keluarga miskin di kolong jembatan (permukiman kumuh ilegal) sebagaimana diinstruksikan Presiden SBY beberapa waktu lalu. Jehansyah menilai semua kenyataan itu menunjukkan langkah-langkah Kemenpera belum didukung oleh arah kebijakan yang efektif, sistem kelembagaan, maupun kerangka regulasi yang komprehensif dan terpadu dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan untuk seluruh rakyat dan mencapai kota-kota yang bebas permukiman kumuh.

”Jika demikian, kegiatan-kegiatan tersebut hanyalah menyisakan keberanian Kemenpera untuk memimpin APMCHUD sebagai tidak lebih dari seremoni belaka:, kata Jehansyah. Jehansyah mengemukakan, agar posisi Indonesia di APMCHUD tidak hanya sebatas seremonial, dalam arti tidak semakin jauh angan-angan dari kenyataan, perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pembangunan perumahan dan perkotaan secara menyeluruh.

Sebagai langkah awal perlu dilakukan reposisi terhadap peran Kemenpera, peran Perumnas, pembentukan lembaga Perumahan Komunitas, maupun reposisi lembaga-lembaga terkait pembangunan perumahan dan pembangunan kota-kota, yang sejalan pula dengan pemantapan kerangka regulasinya secara terpadu. (myk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1286:klarifikasi-posisi-indonesia-pada-apmchud&catid=37:luar-negeri&Itemid=2

Kamis, 21 April 2011

Arah Kebijakan Rumah Susun dan Penataan Kota: Mau Kemana?

(Materi Press-release Visi Indonesia 2033 di Jakarta, Rabu, 20 April 2011)

Praktek penyediaan perumahan dan pengelolaan pembangunan perkotaan di tanah air masih menunjukkan wajah permukiman dan kota-kota yang suram dan penuh dengan ketidakadilan. Lingkungan permukiman dan perkotaan di tanah air bisa dikatakan sebagai anti-poor bahkan anti-urban, artinya bertentangan dengan pola hidup urban (kota) yang sesungguhnya. Padahal dalam konteks Indonesia yang masih banyak warganya yang tergolong miskin, seharusnya ada keberpihakan negara yang didasari oleh tujuan untuk menciptakan kota yang pro-poor dan berbudaya serta rumah layak untuk seluruh rakyat.
Salah satu potret kota yang anti-urban adalah wajah perumahan bersusun untuk golongan masyarakat bawah. Rumah-rumah susun sederhana (Rusuna) tidak terawat dan berubah menjadi kumuh adalah pemandangan nyata di kota-kota metropolitan tanah air. Pada gilirannya, rumah-rumah susun yang sedianya ditujukan sebagai manifestasi masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia, sebagaimana Danchi di kota-kota besar Jepang, Apartments di Inggris dan Flats di Amerika Serikat, akhirnya gagal dan justru berubah menjadi monumen yang menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan bangsa ini.

Beragam Masalah Tanpa Akar Masalah
Berdasarkan analisis media, banyak masalah yang dijumpai dalam pembangunan rumah susun, khususnya rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Di antara masalah yang sering diungkapkan adalah tidak dihuninya hingga ratusan menara rumah susun, baik di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, maupun di daerah lainnya. Padahal anggaran yang dikeluarkan negara semakin besar dan semakin banyak menara yang terus dibangun.
Beberapa masalah pada dasarnya bersumber dari sisi pasokan maupun kebutuhan. Dari sisi pasokan di antaranya adalah kendala penyediaan infrastruktur, utilitas dan fasilitas. Banyak menara rumah susun yang tetap dibangun tanpa dukungan utilitas listrik dan prasarana air bersih. Menara-menara hunian tersebut semakin tidak layak huni karena tidak dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, pendidikan maupun fasilitas ekonomi seperti pasar tradisional.
Sedangkan masalah yang muncul dari sisi kebutuhan adalah dikatakan sulitnya mengajak masyarakat berpendapatan rendah dan warga permukiman kumuh yang umumnya tergolong miskin untuk mau menghuni unit-unit rumah susun. Masyarakat miskin juga sering mendapatkan getahnya sebagai penyebab kekumuhan rumah susun. Mereka sering dipersalahkan karena dipandang tidak tertib, sulit diatur dan tidak memiliki budaya menghuni rumah susun.
Kalau kita perhatikan identifikasi masalah yang sering diungkapkan pihak pemerintah tersebut, bukankah sangat logis kalau warga sasaran tidak berkenan pindah dan menetap di rumah susun tersebut? Hal ini karena unit-unit, blok-blok, maupun lingkungan permukiman yang disediakan semuanya memang tidak layak huni dan tidak sesuai dengan pola kehidupan mereka. Oleh karena itu tidak mengherankan jika lingkungan blok-blok rusunawa tidak kunjung tumbuh menjadi permukiman yang berkelanjutan.
Sulitnya menyediakan tanah yang sesuai untuk pembangunan Rusunawa di daerah perkotaan, ditengarai pula sebagai masalah. Pemerintah pusat selalu mendesak pemerintah daerah untuk menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun gedung-gedung rumah susun yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah nasional. Pola kerjasama yang tidak jelas seperti ini akhirnya menyebabkan pemda-pemda kesulitan melepas tanah miliknya yang terbatas untuk pembangunan rumah susun. Menyerahkan aset daerah untuk dikelola di dalam proyek-proyek pemerintah nasional tidak bisa dilakukan begitu saja. Muaranya, serah terima Rusunawa dari Pempus ke Pemda selalu bermasalah dalam penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), baik secara prosedur maupun tertib administrasi.
Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik dan tidak berkembang menjadi aset negara dan aset publik yang terus meningkat kualitasnya dan menjadi solusi beragam masalah sosial-ekonomi-lingkungan kota. Rumah-rumah susun malah akhirnya turut menambah masalah sosial-ekonomi-lingkungan yang sudah ada.
Setelah kurang mendapat dukungan tanah dari pemerintah daerah, pengadaan paket-paket gedung rumah susun mencari lokasinya yang lain di lahan-lahan milik perguruan tinggi, pesantren, tentara dan polisi. Kelompok sasaran yang sudah ada, kejelasan instansi, dan kesanggupan mengelola menjadi faktor pendorong untuk memilih lahan-lahan ini. Akhirnya terjadilah salah sasaran karena bagaimanapun mahasiswa dan prajurit bukanlah kelompok prioritas sasaran sektor perumahan rakyat.
Masalah pembangunan rusunawa tidak berhenti sampai di sini. Pemerintah pusat selalu menimpakan masalah kepada Pemda, PLN, PDAM dan warga masyarakat sendiri. Pemda dinilai kurang mendukung, baik dalam alokasi anggaran, penyediaan tanah, kelengkapan utilitas, subsidi pemeliharaan fasilitas, maupun dalam upaya mengajak warga MBR. Jika demikian, apakah logis beragam masalah rusunawa ini adalah kesalahan pihak Pemda, PDAM, PLN dan warga masyarakat tersebut? Di berbagai negara yang telah maju penyediaan perumahannya, tidak ada dijumpai kemampuan pemerintah daerah yang melebihi kemampuan pemerintah pusat dalam urusan perumahan.

Akar Masalah
Menghadapi beragam pernak-pernik masalah seputar pengadaan rumah susun ini kita dihadapkan pada situasi yang semakin kompleks. Apakah artinya kondisi dari masalah-masalah pembangunan rusuna yang berbelit ini? Banyak pihak dengan berbagai pandangannya angkat bicara dengan mengatakan pernak-pernik masalah teknis yang telah disebutkan di atas. Akhirnya upaya mencari pemecahan masalahnya kemudian menjadi tidak berarah dan terkesan tambal sulam karena tidak menyentuh akar masalahnya.
Kita tidak bisa membiarkan masalah ini terkatung-katung terus karena urbanisasi yang tinggi seiring pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi di daerah perkotaan perlu terus didukung oleh berbagai kebijakan pembangunan terpadu. Ini sebenarnya bukan masalah teknis teknologis dan bukan pula masalah produksi rumah secara kuantitatif.
Praktek penyediaan perumahan dan pengelolaan pembangunan perkotaan yang ada sekarang masih menunjukkan terjadinya fragmentasi kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah telah terperangkap di dalam sistem perumahan komersial dengan terlalu kuatnya peran pemerintah memfasilitasi pasar properti. Pemerintah juga terjebak dalam ritual tahunan penyediaan paket-paket proyek.
Sebenarnya masalah yang lebih mendasar lagi adalah lemahnya arah kebijakan dan pilihan instrumen serta pendekatan pengadaan perumahan dan pengelolaan perkotaan di tanah air. Masalah sistem penyediaan perumahan adalah absennya sistem perumahan publik (public housing delivery system) yang didukung sistem perumahan komunitas (community housing) di tanah air, baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Lembaga dan Sistem Penyediaan Perumahan Umum
Di bawah payung arah kebijakan perumahan rakyat (papan) di dalam GBHN, pengadaan rumah susun sederhana sejak tahun 1980-an dilakukan oleh Perumnas sebagai perusahaan publik pembangunan perumahan. Namun karena moda perumahan umum tidak kunjung dikembangkan, dan Perumnas tidak pernah diberi peran sebagai sentral moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun sederhana hingga kini tetap diadakan dalam skema proyek konstruksi. Akhirnya muncullah berbagai masalah seperti di atas.
Untuk itu, pengadaan rumah susun perlu dikembalikan kepada tujuan semula, yaitu pengembangan moda perumahan umum. Karena rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menyalahkan penghuni karena belum membudayanya tinggal di rumah bersusun. Melalui seleksi penghuni yang terencana baik maka penghuni rumah susun yang terpilih adalah mereka yang sudah siap menempati rumah bersusun. Kemandirian perumahan umum bertumpu pada akumulasi aset milik publik yang dibangun dan dikelola secara terencana dan berkelanjutan.
Dengan memperhatikan kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beragam masalah rumah susun sederhana muncul akibat fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan dan absennya moda perumahan publik. Moda perumahan umumlah yang perlu dikembangkan, dan bukan masalah rumah susunnya! Artinya, bukan membenahi segala masalah yang muncul sekedar untuk mendukung terlaksananya proyek-proyek konstruksi rumah susun.

Visi ke Depan Pembangunan Perumahan dan Perkotaan
Pembangunan perumahan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kota dan pengelolaannya. Komitmen menyediakan rumah layak huni bagi seluruh rakyat seiring sejalan dengan komitmen mengelola urbanisasi yang berkelanjutan. Urusan perumahan (kota) dan pengelolaan kota adalah dua hal yang sangat kompleks, sehingga perlu dikelola dengan sangat seksama dan objektif, terlepas dari campurtangan kepentingan birokrasi rente maupun politik praktis.

Namun justru di sinilah permasalahan yang dihadapi Indonesia, yaitu arah kebijakan, pola pengelolaan kota-kota dan mekanisme sistem penyediaan perumahan rakyat yang masih sangat lemah. Dalam kondisi backlog perumahan dan permukiman kumuh perkotaan yang semakin meluas, jika dibanding dengan kota-kota lain di negara-negara Asia Pasific, kota-kota Indonesia sebenarnya masih jauh dari berkelanjutan, masih jauh dari nyaman dan tingkat pelayanan publik yang masih sangat rendah.

Di dalam prakteknya, justru banyak proyek pembangunan menara rusunawa yang dibangun tidak terencana sejalan dengan rencana kota yang baik. Banyak rumah susun dibangun di lahan kecil-kecil dan terpencar-pencar. Tidak sedikit rumah susun dibangun hanya setengah twin-blok atau satu menara saja di lahan 3000 sd 5000 m2. Hal ini terpaksa dilakukan karena pengadaan tanah dan konstruksi yang tidak terpadu di dalam suatu sistem penyediaan perumahan publik. Akibatnya pembangunan menara-menara rusunawa cenderung merusak daya dukung prasarana dan fasilitas kota.

Demikian pula dengan pola yang hanya mengandalkan mekanisme perumahan komersial dengan menyerahkan urusan dari hulu hingga hilir sepenuhnya kepada para pengembang swasta, akhirnya menghasilkan tata wilayah dan perkotaan yang terpencar (scattered) dan menjalar-jalar (sprawl). Pembangunan kawasan permukiman skala besar dan kota-kota baru untuk golongan menengah atas menghasilkan tata wilayah perkotaan yang semakin tidak berkelanjutan, yang ditandai kemacetan, kekumuhan, dan banjir.

Belum adanya sikap dan arah kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk mendukung revitalisasi Perumnas sebagai NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) sebagaimana sudah diusulkan oleh Perumnas sendiri, menyebabkan masalah perumahan dan perkotaan semakin kehilangan arah. Padahal, sebagaimana di negara-negara yang sudah maju urusan perumahannya (HDB di Singapura, UR di Jepang dan KNHC di Korea), revitalisasi peran Perumnas sebagai NHUDC adalah peran yang paling logis jika Perumnas diberikan mandat penyelenggaraan public housing delivery system dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan rakyat. 

Belum adanya solusi yang menjanjikan untuk menangani masalah perumahan sangat murah bagi keluarga-keluarga miskin di kolong jembatan (permukiman kumuh ilegal) sebagaimana diinstruksikan Bapak Presiden beberapa waktu lalu ditandai dengan belum adanya kebijakan yang mendukung pembentukan lembaga khusus untuk menangani community based housing delivery system, dalam rangka pengentasan permukiman kumuh dan ilegal. Padahal sudah ada contoh di negara-negara lain seperti CODI di Thailand, URA di Singapura dan HCA di Inggris. 

Semua kenyataan ini menunjukkan langkah-langkah pemerintah yang belum didukung oleh arah kebijakan yang efektif, sistem kelembagaan, maupun kerangka regulasi yang komprehensif dan terpadu dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan untuk seluruh rakyat dan mencapai kota-kota yang bebas permukiman kumuh.

Untuk itu kiranya perlu segera dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pembangunan perumahan dan perkotaan secara menyeluruh. Di dalam perumusan Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP No. 1/2011) tahun lalu sebenarnya sudah muncul usulan agar undang-undang ini memadukan kedua hal ini secara terpadu. Namun karena kelemahan koordinasi untuk merumuskan bersama-sama, maka akhirnya urusan perumahan gagal dipadukan dengan urusan perkotaan di dalam undang-undang ini.


***

Oleh: M. Jehansyah Siregar, Ph.D
Anggota Tim Visi Indonesia 2033