Sabtu, 19 Maret 2011

Indonesia Perlu Housing Delivery System

SELECTED NEWS,
Saturday, 19 March 2011 21:14

Jakarta, 19/3/2011 (Kominfonewscenter) – Beberapa isu terkait pembangunan rumah sangat murah dan penanganan kawasan kumuh akhir-akhir ini menunjukkan kapasitas tata kelola perumahan yang ada sangat tidak memadai. Hal itu dikemukakan narasumber KP3R (Koalisi Perduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M.Jehansyah Siregar Ph.D baru-baru ini di Jakarta.

“Mulai dari janji rumah sangat murah yang menuai pesimisme, rumah susun sederhana yang terlantar, hingga penerapan aturan hunian berimbang, kesemuanya belum menemukan arah penanganan yang efektif”, kata Jehansyah. Bahkan percepatan pembangunan perumahan pun masih diartikan sangat sederhana sebagai kemudahan perijinan oleh pemda-pemda.

Menurut Jehansyah di balik kebijakan yang tak berarah ini sebenarnya ada kendala pemahaman (cognitive constraint) tentang bagaimana mengembangkan kebijakan perumahan yang efektif. Banyak pejabat masih melihat masalah perumahan sebatas urusan produksi rumah-rumah. “Padahal akar masalah sebenarnya adalah absennya sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) di tanah air”, kata Jehansyah yang juga peneliti pada Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, SAPPK ITB (Institut Teknologi Bandung).

Sedangkan membangun sistem penyediaan perumahan itu bukan perkara mudah. Diperlukan kerangka regulasi yang jelas dan rinci, sistem kelembagaan yang tepat, kapasitas sistem yang memadai, dan model-model penanganan yang teruji, melembaga dan berkelanjutan. Membangun sistem penyediaan itulah peran pemerintah pusat yang sebenarnya, karena itu pemerintah pusat tidak cukup menghimbau bahkan terus mendesak agar pemda-pemda menangani urusan perumahan rakyat, tanpa terlebih dahulu mengembangkan kapasitas sistem.

Jehansyah mengemukakan di berbagai negara yang maju dalam urusan perumahan, peran pemerintah pusat masih sangat besar untuk mengembangkan sistem penyediaan ini. Baru kemudian pada tingkat tertentu pemerintah daerah mereplikasinya secara melembaga.

Penanganan permukiman kumuh contohnya, jelas bukan hal yang gampang permukiman kumuh hanya bisa ditangani melalui sistem yang terpadu. Di antaranya adalah kemampuan mengorganisir dan memberdayakan komunitas (community based housing), penyelenggaraan pemukiman kembali (resettlement), peremajaan kawasan (urban regeneration) maupun pengembangan kawasan permukiman baru (new area development). Kesemua langkah ini memiliki tingkat kerumitan yang tinggi dan harus dilakukan secara terintegrasi dan melembaga.

“Bukan dijalankan dengan pendekatan proyek-proyek yang terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Jika pemerintah pusat belum mampu menangani hal ini secara sistemik, bagaimana pemerintah daerah bisa menirunya?”, kata Jehansyah. Karena itu pemerintah pusat kiranya perlu segera mengambil langkah-langkah yang strategis untuk membangun sistem penyediaan perumahan rakyat. Jika tidak maka keadaan ini akan mengancam terwujudnya visi RPJP tentang kota-kota tanpa kumuh pada tahun 2025.

“Cita-cita bangsa untuk mewujudkan setiap keluarga menempati tempat tinggal yang layak pun akan tetap jadi impian” kata Jehan menambahkan. (myk)

kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1231:indonesia-perlu-housing-delivery-system&catid=44:nasional-kesra&Itemid=53

Rabu, 09 Maret 2011

Menata Hubungan Peran Swasta dan Pemerintah

Pengesahan RUU Rumah Susun Berpotensi Mundur

BY IM SURYANI

JAKARTA (IFT) – Pengesahan Undang Undang tentang Rumah Susun bisa kembali mundur, karena masih ada beberapa poin yang belum menemui titik terang. Diantaranya soal pemisahan horizontal antara status tanah dan bangunan, pembentukan badan pembangunan dan pengawasan rumah, serta larangan pre-sale sebelum pengembang membangun minimal 20% dari total gedung.

Mulyadi, Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rumah Susun, mengatakan masih ada tiga poin penting yang masih harus dicari penyelesaiannya. Dewan Perwakilan Rakyat tetap mengejar target penyelesaian draft undang-undang tersebut pada April. “Kalau pun tidak selesai, paling lama sampai masa sidang berikutnya,” kata Mulyadi, Rabu.

Menurut dia, poin-poin yang masih dibahas antara lain tentang pemisahan horisontal yang tengah diupayakan mempunyai kekuatan hukum sehingga bisa dijaminkan ke perbankan. Ketentuan ini merupakan terobosan yang perlu diperjuangkan sebagai jalan keluar masalah backlog atau kekurangan pasokan rumah sebanyak 4,7 juta unit.

“Sekarang akan dibuat sertifikat khusus untuk rumah susun di atas tanah hak sewa dan hak pakai.  Ini masih jadi perdebatan. Padahal, ini sebagai jalan keluar mengatasi masalah backlog yang itu,” kata Mulyadi.

Soal penetapan pembentukan badan pembangunan dan pengawasan rumah, menurut Mulyadi, badan tersebut nantinya diarahkan untuk bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dia  merujuk Turki dan Jepang yang memiliki badan khusus yang bertanggung jawab atas pembangunan rumah susun dan pengawasan kelayakan rumah susun. Badan tersebut  bertanggung jawab langsung ke presiden atau perdana menteri.

Mulyadi memperkirakan bila badan yang dibentuk berada di bawah menteri,  kinerjanya akan tergantung pada kebijakan menteri, sehingga tidak akan fokus pada kebutuhan masyarakat.

“Badan yang di bawah kementerian ini tidak begitu efektif dan tidak konsentrasi. Hanya tergantung pada kebijakan menteri. Kami maunya menteri konsentrasi penuh melakukan pembangunan, misalnya pengawasan rumah susun, termasuk kelayakannya,” kata Mulyadi.






Persoalan penting lainnya adalah larangan pre-sales sebelum pengembang membangun minimal 20% dari total gedung. Mulyadi memaparkan, khusus bagi pengembang yang bergerak di rumah susun komersial diwajibkan membangun 20% konstruksi, termasuk sarana, prasarana, dan utilitas.

Pendekatan lainnya, dengan melihat besaran nilai investasi, tapi tetap di angka 20%, seperti pengembang membutuhkan dana investasi sebesar Rp 100 miliar, sebanyak Rp 20 miliar harus disiapkan dulu.

“Jika mau bangun apartemen mewah 1.000 unit, minimal 200 unit harus dibangun dulu yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Itu semacam tanggung jawab sosial dari pengembang besar. Pengembang tidak akan rugi, hanya untungnya saja yang tidak sebesar kalau membangun yang mewah,” katanya.

Muhammad Nawir, Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), mengatakan kewajiban membangun 20% masih bisa dilakukan untuk pembangunan hunian tapak (landed house), tapi tidak bisa diberlakukan untuk pembangunan rumah susun.

Menurut dia, tidak relevan untuk pembangunan rumah susun. Kalau rumah biasa bisa saja dibangun 200 unit dulu, tapi kalau rumah susun pembangunannya tidak bisa setengah-setengah seperti itu.

Jehansyah Siregar, pengamat permukiman dari Institut Teknologi Bandung, setuju dengan kewajiban pengembang membangun 20% dari proyeknya sebelum dilepas ke pasar. Tapi pembahasan aturan tersebut masih belum mencapai titik temu. Pengembang merasa keberatan,  sementara pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat  tidak mempunyai jalan keluar untuk mengatasi permasalahan pengembang, khususnya pengembang kecil yang dinilai memiliki kemampuan pendanaan yang tidak cukup kuat.

Menurut Jehansyah, para pengembang kecil  bisa bekerja sama dengan Perusahaan Umum Perumnas. Kota Barumaja di Parung Panjang sebagai lokasi percontohan kerja sama antara Perumnas dengan pengembang.

“Pengembang (kecil) harus didampingi dengan sistem ini, karena Perumnas sebagai badan usaha milik negara memiliki otoritas khusus mengurusi masalah izin pemerintah daerah atau birokrasi lainnya yang memusingkan pengembang di awal pembangunan. Setelah lahan itu dimatangkan oleh Perumnas, pengembang cukup dikucurkan kredit konstruksi. Bukan hanya 20%, tapi 50% akan bisa dicapai dengan sistem seperti itu,” katanya



indonesiafinancetoday.com/read/5064/Pengesahan-RUU-Rumah-Susun-Berpotensi-Mundur




-----------ooo()ooo------------




UU Perumahan dorong restrukturisasi pengembang



JAKARTA: Persyaratan keterbangunan fisik minimal 20% sebelum menjual rumah tunggal, rumah deret atau rumah susun untuk konsumen diharapkan dapat  menekan transaksi spekulatif dan merestrukturisasi pengembang properti di Tanah Air.

Pakar Pemukiman Institut Teknologi Bandung Muhammad Jehansyah Siregar menyatakan selama ini banyak pengembang yang telah menjual properti sebelum pembangunan fisik berjalan atau masih dalam bentuk lahan.

Proses pembangunannya sendiri dapat mencapai 2 tahun hingga 3 tahun sehingga dikhawatirkan akan memimbulkan transaksi fiktif dengan pasar yang spekulatif.

Menurut Jehansyah, sebelum adanya UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP), pelaku yang melakukan pembelian bukan pembeli terakhir (end buyer) yang akan menempati, melainkan spekulan properti yang kemudian dijual kembali karena harga properti tersebut selalu meningkat dari tahun ke tahun.

"Di awal bagus ada persyaratan 20% minimal keterbangunan fisik, saya harap nantinya UU itu [UU PKP] dapat direvisi hingga syarat keterbangunan 80%," tutur Jehansyah saat dihubungi Bisnis, hari ini.

Jika dibandingkan dengan di Malaysia, kata Jehansyah, pengembang menjual propertinya setelah keterbangunan fisik 100%. Adapun cicilan pembayarannya dilakukan setelah konsumen menempati bangunan tersebut.

Jehansyah menjelaskan langkah berikutnya yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerja pengembang, yaitu adanya himpunan yang menghubungkan antara kontraktor publik dengan kontraktor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga semua kontraktor terdaftar jelas.

Perhimpunan ini nantinya bermanfaat pada penyaluran kredit properti untuk pembiayaan yang dapat dimanfaatkan bagi pengembang kecil dimana kredit tidak dapat dikucurkan pada bisnis yang spekulatif, tetapi harus jelas.

"Inilah nanti yang dapat merestrukturisasi atau menertibkan para kontraktor. Jika mereka benar-benar pengembang pasti mempunyai usaha bagaimana agar bisa menjual saat bangunan sudah 20%," imbuhnya.

Ketua Dewan Umum Pembina DPP Persatuan perusahaan Realestat Indonesia  (REI) F. F. Teguh Satria mengatakan para pengembang mengeluhkan adanya persyaratan keterbangunan 20% tersebut karena dapat berimbas terutama pada pengembang dalam skala kecil. (gak)


bisnis.com/infrastruktur/properti/17393-uu-perumahan-dorong-restrukturisasi-pengembang


Jehan:

Good point from UU-PKP, but its not good enough. Pengaturan yang sayangnya tidak diikuti so what nya. Faktanya, ketika pengembang mengeluh, Menteri hanya bisa bilang, ya pokoknya aturannya begitu. Kembali, UU-PKP masih sangat miskin. Seharusnya bukan aturan-aturan disinsentif yang lebih mengemuka. UU-PKP harusnya diisi pengaturan yang menjamin tegaknya sistem penyediaan perumahan.





--------ooo()ooo---------




Ciputra Juga Tak Berdaya

Pengusaha properti Ciputra mengungkapkan pengalamannya menghadapi birokrasi terkait proyek-proyek propertinya. Sejak berkecimpung mulai tahun 1960 dalam bisnis properti, urusan birokrasi sampai sekarang tetap susah dan tak berdaya (JAKARTA, KOMPAS.com, Rabu, 9 Maret 2011 | 15:25 WIB) "Untuk satu proyek besar saya memohon-mohon kepada pemerintah, ada yang sampai empat tahun prosesnya. Namun, Ciputra tetap mendukung para pengembang muda untuk tidak berputus asa dengan kondisi di Indonesia.

Penuturan Pak Ci ini kembali mengingatkan banyak pihak, terutama pemerintah, bahwa ada yang tidak beres dalam urusan properti dan perumahan di tanah air. Namun demikian, bagaimanapun penjelasan Pak Ci ini masih sangat sepihak. Seharusnya Pak Ci menceritakan pula bagaimana pengalaman bernegosiasi dengan Alm. Bang Ali Sadikin dahulu ketika membangun Ancol. Bagaimana Alm Bang Ali membangun sistem kerjasama dan kelembagaan dengan pihak swasta. Banyak sekali keberhasilannya dari sisi kepentingan publik maupun pengembang swasta. Namun sayangnya pola-pola seperti ini tidak berkembang, alias mengalami kemunduran, sejak Jakarta dipimpin Gubernur-gubernur yang kualitasnya sangat tidak sepadan dengan kebesaran ibukota RI dan harapan warganya.

Birokrasi dan Kelompok Kepentingan (developer) itu ibarat dua sisi mata uang. Birokrasi yang susah itu sebenarnya sejalan dengan ketimpangan keberhasilan para developer. Mengapa hanya ada segelintir developer naga dan banyak sekali developer teri? Karena birokrasi yang susah hanya bisa dihadapi dengan keberanian melobi, bernego, beropini, bahkan terjun ke dunia politik. Kondisi kongkalikong inilah yang akhirnya melahirkan developer2 naga yang menguasai aset besar sekali. Sedangkan yang teri meskipun ada yang bisa jadi besar, tapi tidak sedikit yang gulung tikar, bahkan dikejar-kejar hutang!

Pertanyaannya, siapa yang menikmati situasi yang unsystemized ini?

Beginilah situasi bisnis properti di tanah air yang akhirnya membentuk mindset banyak kalangan. Salah satu dampaknya adalah ketidaksadaran rakyat bahwa mereka harus dijamin dan berhak mendapatkan akses perumahan/properti yang seluas-luasnya. Kalau belum mampu beli rumah ya memang harus tinggal di pinggir sungai. Beginilah pemikiran rakyat miskin kebanyakan. Sedangkan kalangan menengah berpikir bahwa mereka harus bekerja keras terus menerus untuk bisa memiliki rumah kecil yang layak. Bahkan tidak sedikit dari golongan ini yang tak kunjung mampu memiliki rumah hingga setelah puluhan tahun menikah, alias tetap berpindah rumah kontrakan.

Situasi rimba belantara ini mengakibatkan pemerintah yang tidak kunjung mampu membangun sistem penyediaan perumahan rakyat yang baik, yang tersegmentasi secara harmonis antara sistem perumahan publik, sistem perumahan  komersial dan sistem perumahan sosial. Jadi birokrasi susah dan kelakuan nekat para pengembang besar keduanya sama saja... Sama-sama bertanggung-jawab terhadap situasi permukiman dan perkotaan yang tidak berkeadilan ini.

Seorang teman bertanya, bagaimana usulan paling realistis supaya lebih sistematik dan tepat sasaran dengan masalah perumahan di Indonesia. Jawaban saya adalah pertama, meminta kalangan pengembang swasta dan kroni-kroninya termasuk para broker dan konsultan properti untuk tidak asal bicara (bahasa Jawanya ngejeplak) dan berupaya mempengaruhi sistem kebijakan yang hanya menguntungkan bisnis mereka.

Kedua, meminta pemerintah dan para pejabat terkait untuk mengambil posisi memimpin dan berpegang teguh pada visi dan tujuan membangun permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan perumahan layak untuk semua rakyat, serta menjaga jarak apalagi jangan sampai didikte oleh kelompok kepentingan.

Ketiga, menata dan mengembangkan sistem penyediaan perumahan dan pembangunan kota secara komprehensif, bertahap terus menerus dan menggunakan langkah-langkah yang seksama, sebagaimana beberapa pemikiran di blog ini.

-MJS-
Oleh Siti Nuraisyah Dewi
Published On: 22 March 2011

Selasa, 08 Maret 2011

Community Housing Delivery System

Bangun RSS Jangan Asal Bikin
Berita Nasional - Dibaca: 28 kali
Senin, 07 Maret 2011 | 16:59:02 WIB

beritabatavia.com/berita-6251-bangun-rss-jangan-asal-bikin.html
batavia.com - Pakar Perumahan dan  Pemukiman dari Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, menyatakan sasaran proyek rumah sangat sederhana (RSS) senilai Rp 25 juta, jika ditujukan pada masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal pada kawasan pemukiman kumuh di kota besar harus dengan pendekatan dari sisi demand site (berdasarkan kebutuhan warga ).

"Selama ini pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah  lebih kepada supply site (kuantitas, yang penting dibangun), sementara untuk mengatasi masalah perumahan sederhana yang dibutuhkan adalah pendekatan dari sisi demand site," ujarnya ketika dihubungi, Senin (7/3).

Pemerintah, sambungnya, harus segera melakukan tindakan dan mengubah paradigma pendekatan dikarenakan kawasan kumuh semakin menyebar dan beraglomerasi semakin luas tidak hanya di pusat kota saja, tetapi sudah mengarah ke daerah pinggiran kota.

Sebelumnya, Menteri Perumahan Rakyat, Suharso Monoarfa pihaknya menargetkan tahun ini bisa membangun 100.000 rumah murah seharga Rp 20 juta yang akan dicicil Rp.200 ribu/bulan atau Rp.7000/hari selama 10-15 tahun. Menteri mengatakan tahapan pertama pengadaan rumah tersebut diperkirakan lebih dulu akan diprioritaskan bagi para nelayan dengan melibatkan pemerintah daerah dari Perumnas.

"Yang jelas untuk pertama saya ingin mencoba tahun ini kalau bisa target 100.000 rumah murah berkualitas. Rumah murah seharga Rp 20-Rp 25 juta diangsur sekitar Rp.200 ribu/ bulan atau Rp.7000/hari selama 10-15 tahun,"katanya.

PT Perumnas sendiri telah menyanggupi membangun 100.000 unit rumah murah seharga Rp 20-25 juta mulai semester II tahun ini. Direktur Utama PT Perumnas Himawan Arief Sugoto mengatakan rumah murah yang akan dibangun nanti dipastikan layak huni. O brn



------------------ooo()ooo--------------------


Upaya Membangun Sistem Penyediaan Perumahan Komunitas

Upaya pembangunan rumah sangat murah seperti dijanjikan Bapak Presiden jangan sampai hanya berfokus pada produksi rumah-rumah yang dilakukan begitu saja secara top-down. Jika dari sisi pasokan (supply side) pemerintah perlu membangun sistem penyediaan perumahan publik yang baik, maka dari sisi kebutuhan (need side). Apa jadinya kalau keluarga-keluarga di kolong jembatan tersebut tidak bersedia pindah? Apa mau dipaksa atau diancam dengan penggusuran seperti selama ini?

Janji dan arahan dari Bapak Presiden sungguh memperhatikan hal ini, yaitu keprihatinan beliau terhadap nasib keluarga-keluarga di permukiman kumuh kota. Artinya, bahwa produksi rumah-rumah murah harus dikaitkan dengan pengentasan permukian kumuh di perkotaan. Untuk itu dari sisi pembinaan warga permukiman kumuh pemerintah perlu belajar dari pengalaman CODI di Thailand. CODI (Community Organisation Development Institute) adalah lembaga setingkat kementerian yang bertanggungjawab kepada Wakil Presiden (Deputy PM). CODI secara operasional turun memberdayakan komunitas-komunitas permukiman kumuh di Bangkok. Untuk itulah pemerintah RI perlu membentuk semacam Lembaga Pengembangan Komunitas. Mengingat paradigma baru dari pembangunan sosial yang bukan semata menangani penyakit sosial namun juga membangun masyarakat, maka misi lembaga ini tepatnya dijalankan melalui Kemenko Kesra ataupun Kementerian Sosial.

Untuk menjalankan amanat rumah sangat murah dari Bapak Presiden ini pemerintah jangan mengandalkan pengembang swasta. Peran Kemenpera sebaiknya fokus pada koordinasi kebijakan dan jangan tumpang tindih dengan lembaga pelaksana negara. Sedangkan di lapangan Pemerintah perlu segera menugaskan lembaga-lembaga operasional milik negara (BUMN) agar mengambil peran memimpin dalam pelaksanaan di lapangan. Para pengembang kecil, para kontraktor, BUMN-BUMN dan BUMD-BUMD bidang konstruksi, dan para pemilik tanah, termasuk Lembaga Pengembangan Komunitas dan semua jajarannya di lapangan, semuanya perlu pemimpin di lapangan dalam mengemban tugas mulia dari Bapak Presiden ini. 

Salam,
-MJS-


------------------ooo()ooo--------------------

http://en.indonesiafinancetoday.com/read/2459/Developers-Question-Governments-Housing-Program-

Developers Question Government's Housing Program

JAKARTA (IFT) – Developers question the plan of President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) to build low-cost housing with prices ranging from Rp 5 to 10 million per unit. The plan is considered a setback to healthy and prosperous house concept campaigned for by Government.

Eddy Ganefo, Chair of the Central Executive Board of Association of the Indonesian Housing and Settlement Developers, said, that the program is technically illogical because even the amount is insufficient to pay the workers’ wages, let alone the land and raw materials. According to him, the current wage for a house contruction worker is computed at Rp300 thousand per square meter. If the building space is 36 square meter, the wage is more than Rp10 million. “It is a setback. Government has already raised the building quality standard from a simple house concept to a healthy and prosperous house. Why does he ask developers to build low-cost houses of sub-standard quality,” said Eddy, Wednesday.

Jehansyah Siregar, a settlement expert from the Bandung Institute of Technology (ITB), opined that cheap houses will not have values for the poor. The government should provide community housing with a soft-loan mechanism.

Previously in Bogor, the President feels pitiful for those living under bridges. The government promised to provide very cheap houses with soft-loans to the poor. Suharso Monoarfa, Minister of Community Housing, admitted that he is still brainstorming the concept and shaping the program, so it will be conducted in 2012 at the latest. He admitted that the government is preparing a very cheap house concept with prices at Rp 9 million for a Type 36 house, and Rp 5 million for a Type 21 house. (Im Suryani)


------------------ooo()ooo--------------------

Perkuat PERUMNAS sebagai NHUDC

Panangian Simanungkalit
Pemerintah Diminta Bentuk Badan Khusus Perumahan Murah
Selasa, 8 Maret 2011 | 20:49 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Carut marutnya persoalan perumahan di Indonesia, dinilai semakin rumit dengan hadirnya program baru rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harga Rp 20-25 Juta. Pemerintah diminta membentuk badan baru yang khusus mengkoordinasi pembangunan perumahan murah.
Agar program rumah murah untuk rakyat ini berhasil, pemerintah harus membentuk badan baru khusus menangani perumahan murah. Badan Pembangunan Perumahan Murah (BPPM) ini sifatnya BLU yang tidak mencari keuntungan.
-- Panangian Simanungkalit
"Persoalan perumahan di Indonesia belum tuntas, apalagi ditambah program baru ini. Kalau masuk program kementerian perumahan rakyat, maka program ini akan gagal," kata pengamat properti, Panangian Simanungkalit saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (7/3/2011).
Menurut Panangian, beban kerja Kementerian Perumahan Rakyat dengan beragam program nasional reguler terbengkelai karena terhambat permasalahan birokrasi. "Program rumah murah yang digagas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini sebuah terobosan yang baik namun lebih sulit pelaksanaannya. Kalau ditangani kementerian akan terjerat birokrasi," ujarnya.
Panangian mengatakan agar program rumah murah untuk rakyat ini berhasil, pemerintah diminta membentuk sebuah badan baru yang khusus menangani perumahan murah. "Bentuk Badan Pembangunan Perumahan Murah (BPPM). Badan ini sifatnya BLU (Biro Layanan Umum) yang tidak mencari untung," katanya.
Badan Pembangunan Perumahan Murah (BPPN), kata Panangian, akan mengerjakan khusus proyek perumahan murah. Dalam rentang kerjanya, badan ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden. "Badan khusus ini kalau di Singapura seperti Housing Development Board (HDB) atau di Thailand ada Housing Development Agency (HDA). Misalnya masa kerjanya 3-4 tahun untuk membangun 1 juta unit rumah murah," papar Panangian.
Dalam kerjanya, badan khusus perumahan ini setelah selesai kerjanya bisa langsung dibubarkan. "Saat kerjanya, badan ini harus lincah dalam berhubungan dengan Pemerintah Daerah, BUMN, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Koperasi-koperasi pembangun perumahan," katanya. (Natalia Ririh)

JEHAN:
Tidak perlu dibentuk lembaga baru.  Di Singapura ada HDB. Kalau dibaca Housing and Development Act 2002 punya Singapura, pasal 3 disebut: “There is hereby established a body to be known as the Housing and Development Board which is a body corporate and has perpetual succession and may sue and be sued in its corporate name.” Jadi bentuknya adalah Korporasi Publik, sehingga dapat menuntut dan dituntut. Kita sudah punya yang begini sejak tahun 1974, namanya PERUMNAS.  
Sama seperti HDB yang dibentuk tahun 1960-an di Singapura yang disebut sebagai “has perpetual succession”, Perumnas juga bersifat untuk seterusnya, eternal, everlasting, unending, permanent. Bukan lembaga sementara. Mengapa demikian? Karena sepanjang masih ada yang namanya rakyat di sebuah negara, berarti kebutuhan papan (Housing Need) tetap lebih banyak daripada permintaan rumah (Housing Demand). Sehingga keberadaan HDB maupun Perumnas adalah sepanjang usia negara tersebut. Ini peran publik yang tidak bisa hilang dan public housing delivery system seharusnya menjadi pilar di antara delivery system lainnya.

Kamis, 03 Maret 2011

Hunian Berimbang efektif dijalankan oleh NHUDC

Hunian Berimbang akan efektif jika dijalankan oleh NHUDC sebagai Pilar Perumahan Publik


Dari beberapa pemberitaan tanggal 1 Maret 2011 ini diketahui bahwa REI meminta adanya insentif pajak jika membangun dengan menggunakan pola Lingkungan Hunian Berimbang (LHB, 1-3-6). Jika tidak maka pembangunan diperkirakan akan terhambat. Keadaan seperti ini merupakan ulangan kondisi di tahun 1990-an ketika peraturan hunian berimbang ditetapkan melalui SKB 3 Menteri.

Pada dasarnya penerapan lingkungan hunian berimbang tidak akan efektif jika masih diterapkan pada sistem penyediaan perumahan komersial. Meskipun dengan mengancam dengan berbagai sanksi. Pada prakteknya akan sulit sekali mengecek di lapangan untuk membuktikan pelaksanaan LHB. Seperti berapa harga rumah-rumah tersebut, berapa jumlah dan komposisinya, dan sebagainya. Dengan demikian malah justru akan menjauhkan dari transparansi dan berpotensi besar menimbulkan biaya tinggi.

Belajar dari pengalaman terdahulu, kewajiban yang dibebankan kepada pengembang swasta pada akhirnya melahirkan berbagai bentuk kompromi. Seperti pembangunan rumah sederhana yang dibangun di tempat terpisah yang jauh, atau pembayaran kompensasi yang dijalankan lembaga saung kadeudeuh di Jawa Barat yang tidak jelas penggunaannya, dlsb. Akhirnya lingkungan permukiman dibangun secara menyebar tak karuan (scattered) dan menciptakan kantong-kantong (enclaves) permukiman yang seragam, sehingga kota-kota tumbuh secara tidak berkelanjutan. Selain itu yang lebih mengkhawatirkan, tujuan penyediaan perumahan sederhana tidak akan tercapai, apalagi perumahan sangat murah.

Pemerintah hendaknya tidak mengulang-ngulangi lagi kesalahan di masa lampau.

Hendaknya  konsep LHB dijalankan secara efektif melalui sistem penyediaan perumahan publik. Melalui penguasaan lahan skala besar (kasiba dan lisiba) yang dikelola oleh badan usaha publik di bidang perumahan dan perkotaan, maka penataan ruang dapat dikembangkan dan diwujudkan secara efektif dengan memperhatikan LHB. Pada dasarnya konsep LHB mengandung prinsip-prinsip pro-poor, pro-green dan pro-growth sekaligus, sehingga sangat penting sekali menjamin penerapannya.

Untuk itu agenda Perumnas Reformasi (NHUDC) benar-benar mendesak untuk segera dijalankan pemerintah. Di dalam kepemimpinan NHUDC, maka penyediaan fasos dan fasum, prasarana permukiman dan perkotaan dapat dilakukan secara terpadu. Berbagai program infrastruktur di berbagai sektor terutama di bidang perumahan, permukiman, dan perhubungan, perlu dipadukan untuk mewujudkan kawasan yang asri dan menjamin kualitas kehidupan penduduknya. Demikian juga fasilitas pendidikan dan perdagangan perlu dipadukan. Hanya keterpaduan pembangunan fasilitas inilah yang akan menghasilkan kawasan permukiman yang diminati masyarakat dari semua golongan. Begitulah praktek-praktek yang dijalankan HDB di Singapura, KNHC di Korea Selatan, maupun URA di Jepang.

Begitu juga para pengembang swasta tidak akan kehilangan biaya tinggi di tingkat hulu melalui pembebasan tanah yang sulit, melobi infrastruktur dan perijinan yang berbelit-belit. Melalui kawasan siap bangun yang telah direncanakan dan dialokasikan oleh NHUDC di dalam masterplan kawasan, mereka akan berfokus membangun hunian yang semakin berkualitas. Harga yang tinggi jangan sampaidihasilkan dari ekonomi biaya tinggi, melainkan hanya akan sepadan jika diimbangi oleh kualitas dan teknologi yang terus terbarukan.

Demikian pula para pengembang kecil dalam jumlah yang lebih banyak lagi dan teregristrasi oleh NHUDC, akan mendapatkan lahan secara proporsional untuk membangun rumah-rumah sejahtera dan sederhana. Sedangkan sistem penyediaan perumahan sosial tentu sekali harus terjamin alokasi lahannya secara terpadu. Di atas lahan-lahan inilah rumah-rumah sangat murah dapat dibangun secara terencana melalui sistem penyediaan perumahan sosial dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan komunitas.

Terakhir, penyediaan perumahan murah dan penjaminan proteksi lingkungan serta berkembangnya kawasan perumahan skala menengah atas hingga tumbuhnya pusat-pusat perkotaan baru hanya bisa diselenggarakan secara efektif melalui pengembangan sistem penyediaan perumahan yang komprehensif dan terpadu dengan dipimpin lembaga operasional milik publik. Bukan dengan pola-pola sanksi, pembebanan yang tidak semestinya dan pembiaran kapasitas pengendalian yang rendah.

-MJS-

---------------------------------------------------
Aturan Hunian Berimbang Picu Biaya Produksi Tinggi
By IM Suryani dan Muhammad Rinaldi
indonesiafinancetoday.com/read/4043/Aturan-Hunian-Berimbang-Picu-Biaya-Produksi-Tinggi

JAKARTA  (IFT) - Penerapan aturan hunian berimbang dinilai tidak akan efektif mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah jika diserahkan pada pengembang perumahan komersial. Bila aturannya tidak jelas, kebijakan ini justru dikhawatirkan menyebabkan biaya produksi rumah makin tinggi.

Jehansyah Siregar, Pakar Permukiman dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan meski pemerintah menerapkan sanksi yang tegas, namun di lapangan sulit dilakukan pengawasan."Seperti berapa harga rumah-rumah tersebut, berapa jumlah dan komposisinya. Justru regulasi ini akan membuat pengembang tidak transparan mengenai informasi proyeknya," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Dia menambahkan, dari pengalaman kewajiban tersebut pada akhirnya hanya melahirkan kompromi antara pengembang dan pemerintah daerah selaku pengawas yang menyebabkan biaya produksi menjadi semakin tinggi. Jehan menyarankan agar  lingkungan hunian berimbang dilakukan satu lembaga atau perusahaan khusus perumahan melalui penguasaan lahan skala besar.

Dedi Djajasatra, Direktur PT Reka Rumanda Agung Abadi, menilai rencana pemerintah menerapkan kembali hunian berimbang  patut didukung. Sebab mayoritas masyarakat di Jakarta berpenghasilan menengah ke bawah. Bagi pengembang yang terpenting aturan jelas, sehingga tidak membuat biaya produksi rumah membengkak.

"Tujuan aturan ini baik sekali, tinggal bagaimana membuat aturan yang jelas dan tidak sumir. Contoh siapa saja pengembang yang dikenakan kewajiban, pengawasan dilakukan siapa, dan insentif dari pemenerintah apa. Ini yang pengembang perlu tahu," ujarnya, Rabu.

Selain pengembang rumah menengah, Reka Rumanda selama ini dikenal sebagai pengembang rumah susun (rusun). Total rumah susun yang sudah dibangun mencapai 3.500 unit.

Im Suryani


----------------------------------------

Hunian Berimbang Butuh Asas Keadilan
BY  MUHAMMAD RINALDI

JAKARTA (IFT) –Regulasi pembangunan hunian berimbang yang akan  diberlakukan pemerintah terhadap pengembang perumahan dan apartemen mewah diminta tidak ditujukan untuk mengalihkan tanggungjawab pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah dari negara kepada pengembang swasta.

Ali Wongso Sinaga, anggota Komisi V DPR RI yang salah satunya membidangi sektor perumahan menyatakan dukungan terhadap aturan yang mewajibkan pengembang swasta untuk membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah itu diharapkan dapat mendorong pasokan hunian yang murah dan terjangkau bagi masyarakat. Begitu pun, dia meminta agar regulasi tersebut tetap memperhatikan  tingkat risiko bisnis pengembang.

“Jangan sampai mereka disuruh membangun rumah murah, tapi bisnisnya mati. Ini perlu dipertimbangkan,” ujarnya.

Menurut dia, meski pola hunian berimbang sudah berjalan, namun intervensi pemerintah tetap diperlukan. Negara tetap harus bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan rumah bagi rakyat berpenghasilan rendah.

Disarankan Ali, aturan itu sebaiknya tidak dikenakan kepada semua pengembang. Bagi developer hunian menengah ke bawah misalnya, seharusnya dibebaskan dari kewajiban tersebut. Demikian pengembang yang membangun rumah dalam jumlah kecil. Dia setuju jika aturan ini dikenakan bagi pengembang komersial dengan lahan skala besar.

“Semua hal ini perlu dipertegas di peraturan menteri yang sedang dibahas. Yang terpenting regulasi ini rasional untuk diterapkan,” katanya.

Pemerintah tetap akan memberlakukan kewajiban pola hunian berimbang kepada pengembang yang membangun perumahan dan apartemen mewah. Saat ini regulasinya sedang dibahas dan ditargetkan mulai diberlakukan pertengahan tahun ini.

Sebelumnya, Zulfi Syarif Koto, pengamat properti dari The HUD Institute meminta pemerintah perlu mengambil pelajaran dari pengalaman penerapan pola hunian berimbang pada 1992 yang berjalan kurang optimal. Aturan yang saat ini sedang digodok diharapkan realistis dan tidak justru cenderung bertujuan memberatkan pengembang. Dia menyatakan selain pengembang,  pemerintah daerah perlu pula diajak membahas regulasi ini, mengingat wewenang pengawasan nantinya berada di tangan pemerintah daerah.

“Pengembang dirangkul dulu, jadi saya setuju sanksi tidak perlu terlalu ditonjolkan dalam penyusunan regulasi ini. Soal komposisi, coba dicari yang paling ideal dan win-win solution bagi pengembang dan pemerintah. Di kota-kota besar mungkin komposisi rumah murahnya bisa tidak sebanyak di kota kecil,” katanya.

Setyo Maharso, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia mengatakan pola hunian berimbang sulit dilakukan tanpa aturan jelas. Besarnya kewenangan pemerintah daerah juga menjadi kendala, karena sering terjadi kebijakan pemerintah pusat tidak dijalankan di daerah. Karena itu, regulasi mengenai hunian berimbang ini sebaiknya diikuti dengan lahirnya peraturan daerah yang mengatur hal serupa.

Mengenai rencana pemberian sanksi bagi pengembang yang tidak patuh membangun hunian berimbang, Setyo mendesak pemerintah jangan langsung menonjolkan sanksi karena kurang baik bagi iklim investasi di Indonesia. “Janganlah sedikit-sedikit diancam sanksi, nanti takutnya pengembang jadi enggan membangun proyek properti. Berikan insentif, sehingga regulasi ini bisa berjalan dulu,” tandas Setyo. (*)

indonesiafinancetoday.com/read/3971/Aturan-Hunian-Berimbang-Perlu-Perhatikan-Risiko-Bisnis-Pengembang
------------------------------------------------------


SELECTED NEWS

PEMERINTAH JANGAN ULANGI KESALAHAN MASA LALU, LHB BERPOTENSI BIAYA TINGGI

Wednesday, 02 March 2011 15:12

Jakarta, 2/3/2011 (Kominfonewscenter) – Pada dasarnya penerapan lingkungan hunian berimbang (LHB) tidak akan efektif jika masih diterapkan pada sistem penyediaan perumahan komersial. “Pemerintah hendaknya tidak mengulang-ngulangi lagi kesalahan di masa lampau. Hendaknya konsep LHB dijalankan secara efektif melalui sistem penyediaan perumahan publik”, kata narasumber KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M. Jehansyah Siregar, Ph.D, di Jakarta Rabu (2/3).

Jehansyah mengatakan melalui penguasaan lahan skala besar (kasiba dan lisiba) yang dikelola badan usaha publik di bidang perumahan dan perkotaan, penataan ruang dapat dikembangkan dan diwujudkan secara efektif dengan memperhatikan LHB. “Pada dasarnya konsep LHB mengandung prinsip-prinsip pro-poor, pro-green dan pro-growth sekaligus, sehingga sangat penting sekali menjamin penerapannya”, kata Jehansyah.Namun ia mengemukakan meskipun mengancam dengan berbagai sanksi, pada prakteknya akan sulit sekali mengecek di lapangan untuk membuktikan pelaksanaan LHB, seperti berapa harga rumah-rumah tersebut, berapa jumlah dan komposisinya, dan sebagainya.

”Dengan demikian malah justru akan menjauhkan dari transparansi dan berpotensi besar menimbulkan biaya tinggi”, kata Jehansyah yang juga Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung). Jehansyah mengatakan REI meminta insentif pajak jika membangun dengan menggunakan pola Lingkungan Hunian Berimbang (LHB, 1-3-6). Jika tidak, pembangunan diperkirakan akan terhambat, keadaan seperti ini merupakan ulangan kondisi di tahun 1990-an ketika peraturan hunian berimbang ditetapkan melalui SKB 3 Menteri.

Jehansyah menjelaskan, belajar dari pengalaman terdahulu, kewajiban yang dibebankan kepada pengembang swasta pada akhirnya melahirkan berbagai bentuk kompromi, seperti pembangunan rumah sederhana yang dibangun di tempat terpisah yang jauh atau pembayaran kompensasi yang dijalankan lembaga saung kadeudeuh di Jawa Barat yang tidak jelas penggunaannya. Akhirnya lingkungan permukiman dibangun secara menyebar tak karuan (scattered) dan menciptakan kantong-kantong (enclaves) permukiman yang seragam, sehingga kota-kota tumbuh secara tidak berkelanjutan.
“Selain itu yang lebih mengkhawatirkan, tujuan penyediaan perumahan sederhana tidak akan tercapai, apalagi perumahan sangat murah,” kata Jehansyah.

Menurut Jehansyah agenda Perumnas Reformasi (NHUDC/National Housing and Urban Development Corporation) benar-benar mendesak untuk segera dijalankan pemerintah. Di dalam kepemimpinan NHUDC, penyediaan fasos dan fasum, prasarana permukiman dan perkotaan dapat dilakukan secara terpadu. Berbagai program infrastruktur di berbagai sektor terutama di bidang perumahan, permukiman, dan perhubungan, perlu dipadukan untuk mewujudkan kawasan yang asri dan menjamin kualitas kehidupan penduduknya.

Demikian juga fasilitas pendidikan dan perdagangan perlu dipadukan, hanya keterpaduan pembangunan fasilitas inilah yang akan menghasilkan kawasan permukiman yang diminati masyarakat dari semua golongan. Begitulah praktek-praktek yang dijalankan HDB (Housing Development Board) di Singapura, KNHC di Korea Selatan, maupun URA di Jepang. Begitu juga bagi para pengembang swasta, tidak akan kehilangan biaya tinggi di tingkat hulu melalui pembebasan tanah yang sulit, melobi infrastruktur dan perijinan yang berbelit-belit.

Melalui kawasan siap bangun yang telah direncanakan dan dialokasikan oleh NHUDC di dalam masterplan kawasan, mereka akan berfokus membangun hunian yang semakin berkualitas. Harga yang tinggi jangan sampai dihasilkan dari ekonomi biaya tinggi, melainkan hanya akan sepadan jika diimbangi oleh kualitas dan teknologi yang terus terbarukan. Demikian pula para pengembang kecil dalam jumlah yang lebih banyak lagi dan teregristrasi oleh NHUDC, akan mendapatkan lahan secara proporsional untuk membangun rumah-rumah sejahtera dan sederhana.

Sedangkan sistem penyediaan perumahan sosial harus terjamin alokasi lahannya secara terpadu.
Di atas lahan-lahan inilah rumah-rumah sangat murah dapat dibangun secara terencana melalui sistem penyediaan perumahan sosial dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan komunitas.
Penyediaan perumahan murah dan penjaminan proteksi lingkungan serta berkembangnya kawasan perumahan skala menengah atas hingga tumbuhnya pusat-pusat perkotaan baru hanya bisa diselenggarakan secara efektif melalui pengembangan sistem penyediaan perumahan yang komprehensif dan terpadu dengan dipimpin lembaga operasional milik publik. ”Bukan dengan pola-pola sanksi, pembebanan yang tidak semestinya dan pembiaran kapasitas pengendalian yang rendah”, kata Jehansyah. (mydk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1182:pemerintah-jangan-ulangi-kesalahan-masa-lalu-lhb-berpotensi-biaya-tinggi&catid=36:nasional-khusus&Itemid=54

---------------------------------------------

Pengembang keluhkan aturan hunian berimbang




BISNIS INDONESIA
JAKARTA Pengembang mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang aturan mengenai formula hunian berimbang terutama mengenai pembangunan dalam konteks satu kawasan. Setyo Maharso Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia menyatakan aturan mengenai hunian berimbang haruslah lebih fleksibel dan dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Selama ini pengembang merasa kesulitan untuk menerapkan aturan 136 dalam konteks pembangunan satu kawasan terutama di kota besar yang harga tanahnya sudah mahal.
"Kalau membangun di tengah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bali tidak bisa membangun untuk semua segmen dalam satu kawasan, NJOP tanah yang mahal membuat pengembang menyesuaikan harga dan segmen pembangunan," ujarnya seusai acara Seminar BTN Expo, Kamis pekan ini.
Nilai jual objek pajak (NJOP) yang mahal, sambungnya juga akan meningkatkan nilai pajak bumi dan bangunan (PBB). Akibatnya walaupun bangunan tersebut untuk segmen menengah maka PBB nya akan tetap mahal dan memberatkan.

Selain itu, mengingat NJOP tanah yang tinggi, ada kekhawatiran, akan terjadi aksi jual kembali properti oleh masyarakat segmen bawah kepada masyarakat segmen atas, sehingga pengaturan hunian berimbang dalam satu kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi percuma.

Solusinya, ungkap Maharso, harus ada fleksibilitas dalam penerapan aturan. Misalnya saja untuk pembangunan di tengah kota, pengembang dapat membangun hunian untuk segmen menengah atas dengan perbandingan 1, sementara untuk menengah bawah dengan perbandingan 6 bisa dibangun di daerah sekitar hinterland kota yang tanahnya masih relatif murah.

Pembebasan lahan

Selain itu kalaupun masih ingin membangun hunian bagi segmen bawah, menengah, dan atas dalam satu kawasan, maka pemerintah seharusnya mencarikan lahan yang luas dan membebaskannya. Pengembang tinggal membangun dan tidak perlu memikirkan dana untuk pembebasan lahan.

Di sisi lain, dihubungi secara terpisah pekan lalu, pakar perumahan dan permukiman Jehansyah Siregar menyatakan konsep utama dari hunian berimbang adalah untuk membangun suatu keberlanjutan sosial dala membentuk pola tatanan permukiman dalam satu kawasan. Pengembangan hunian berimbang, paparnya, harus dilakukan dalam satu kawasah dan tidak boleh dibangun pada lokasi yang terpisah-pisah. Apabila dibangun pada lokasi yang berbeda, maka kebijakan ini dapat dikatakan tidak mencapai sasaran.

Pemerintah tidak sepatutnya menyerahkan urusan ini kepada pengembang karena pengembang pada dasarnya akan mencari untung dan hanya membangun yang paling menguntungkan bagi mereka. Untuk membangun suatu kawasan dengan konsep hunian berimbang, pemerintah seharusnya menyediakan kawasan siap bangun yang dikelola oleh suatu badan publik, im





------------------------------------------------------


Balanced Housing Regulation Triggers High Production Cost

BY IM SURYANI
Indonesia Finance Today, Property

JAKARTA (IFT) - Implementation of balanced housing regulation is deemed ineffective in pushing residential housing for low-income communities if it is left to the commercial housing developers. If the regulation is not clear, the policy might result to higher construction cost.

Jehansyah Siregar, Settlement Expert of the Bandung Institute of Technology, said despite the government's imposition of strict sanctions, it is still too difficult to conduct observation in the field. “As to how much the houses will cost, the quantity and the composition, the regulation will not make the developers transparent about those information,” he said in Jakarta on Wednesday. He adds that from experience, it will only produce a compromise between the developer and the regional government, as costs will surge. Jehan suggested that the balanced housing environment be conducted by just one agency or a special housing company with large-scale control.

Dedi Djajasastra, Director of PT Reka Rumanda Agung Abadi, assessed that the government plan to implement balanced housing should be supported, because the majority of Jakarta’s community have middle to low income levels. “The purpose of this regulation is all good; all we need to do now is how to make a clear regulation. Like which developers will be responsible, who will conduct the observation and what the incentives will be from the government. These are things that developers should know,” he said on Wednesday. Other than developing mid-size housing, Reka Rumanda is known as a vertical housing developer, with a total of 3,500 units built.
en.indonesiafinancetoday.com/read/2729/Balanced-Housing-Regulation-Triggers-High-Production-Cost


 
--------------------ooo()ooo----------------------







Rabu, 02 Maret 2011

PERHATIAN PRESIDEN SBY

Menjawab Tantangan Rumah Sangat Murah


Meskipun berbagai program penanganan permukiman kumuh sudah cukup banyak dijalankan, namun kita justru dihadapkan pada paradoks, yaitu bertambahnya luas permukiman kumuh berdasarkan data BPS. Mengentaskan kemiskinan kota memang bukanlah pekerjaan mudah, apalagi jika sudah menyentuh urusan permukimannya. Namun bukanlah mustahil pula. Apalagi jika kita mencoba meniru bagaimana Singapura, Hong Kong, Korea Selatan dan Jepang, yang berhasil mengentaskan permukiman kumuhnya. Negara-negara Asia Timur tersebut kini tergolong sebagai negara maju karena mereka berhasil menata kota-kota secara berkelanjutan.

Melihat kondisi hunian kaum miskin kota yang jauh dari layak ini Presiden SBY kemudian menjanjikan program bantuan rumah sangat murah senilai 5-10 juta rupiah untuk setiap rumah tangga. Menanggapi janji pemerintah ini segera muncul pertanyaan, apakah biaya sebesar itu mencukupi? Akhirnya banyak pihak yang memandang pesimis mengenai kemungkinan realisasinya. Namun begitu, tidak sedikit pula yang menyatakan mungkin saja.

Menurut hemat penulis, di sinilah letak masalahnya, pesimisme banyak pihak terhadap rencana ini sebenarnya karena kita selalu dihadapkan pada pola penyediaan perumahan yang konvensional. Sistem penyediaan perumahan yang ada sekarang tidak cukup menjanjikan. Pola komersial maupun pendekatan paket-paket proyek hanya akan membuat dana tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Namun di sini pula tantangannya, karena dana 5-10 juta rupiah tersebut sungguh berarti dan tidak menjerat bagi kalangan masyarakat miskin kota.

Penanganan permukiman kumuh kolong jembatan seperti yang dicontohkan bapak Presiden tersebut, tentu tidak dapat dilakukan pada skala proyek kawasan itu saja. Penanganannya perlu dikembangkan secara terpadu dan terkoordinasi dalam skala kota dan wilayah. Oleh karena itu, upaya penyediaan perumahan sangat murah ini perlu dijadikan momentum untuk menata multi sistem penyediaan perumahan dengan memberi penguatan pada sistem penyediaan perumahan publik maupun perumahan sosial. Multi housing delivery system yang lebih komprehensif perlu dipadukan dan diberi tempat untuk berkembang. Sedangkan sistem penyediaan perumahan komersial dengan sendirinya akan mengisi tempat-tempat yang bersesuaian dengan karakternya.

Dalam rangka mengembangkan sistem penyediaan perumahan sosial secara partisipatif, pertama-tama perlu diidentifikasi keluarga-keluarga miskin yang menghuni kawasan permukiman informal, terutama di kota-kota metropolitan di tanah air. Langkah selanjutnya adalah dengan mengorganisir dan memberdayakan komunitas-komunitas miskin tersebut sehingga mereka memiliki tujuan akan masa depan kehidupannya di permukiman yang baru. Setelah secara simultan lokasi permukiman baru disiapkan, maka langkah berikutnya adalah dengan melaksanakan pemukiman kembali (resettlement). Itulah langkah-langkah awal dalam mekanisme penyediaan perumahan sosial yang perlu ditangani secara melembaga. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial bisa mencontoh pola kelembagaan seperti CODI (Community Organisation Development Institute) di Thailand dengan mendirikan badan yang sejenis pula dan diberi nama seperti Lembaga Pengembangan Komunitas.

Kemudian, kemana tujuan pemukiman kembali itu? Secara simultan, sistem penyediaan perumahan publik harus berperan dalam menyediakan kawasan baru sebagai tujuan pemukiman kembali. Tujuan resettlement bisa bervariasi, baik di kawasan sekitarnya di dalam kota, di kawasan baru jauh di pinggir kota, maupun di kawasan kota-kota baru yang agak jauh. Di permukiman baru komunitas didorong untuk mengembangkan permukiman dan kehidupan barunya secara swadaya. Inilah mata rantai keterpaduan sistem penyediaan perumahan sosial dan sistem penyediaan perumahan publik.

Semakin di pusat kota maka semakin kecil luasan kawasannya, dan demikian sebaliknya. Selain itu, semakin menjauh dari pusat kota, maka semakin beragam strata huniannya. Dapat diperkirakan untuk lahan skala kecil (50 - 200 rumah, 5000m2 – 2 Ha), skala sedang (200-1.000 rumah, 2 - 10 Ha) maupun skala besar (1.000 rumah ke atas, di atas 10 Ha). Konsep pengembangan tapaknya tidak hanya didominasi rumah sangat murah, melainkan menggunakan konsep hunian berimbang. Untuk tujuan yang jauh perlu dilengkapi dengan program pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang akhirnya tertarik mengikuti program ini.

Dengan demikian, sistem penyediaan perumahan publik perlu memberi fokus pada identifikasi dan pengembangan lahan siap bangun. Inilah prinsip-prinsip sistem penyediaan perumahan publik yang perlu dijalankan sebagaimana rencana Perumnas untuk berubah peran menjadi National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC) dan menjadi simpul bagi pengembangan mitra-mitra sejenisnya di daerah. Dengan dukungan BUMN-BUMN Karya maka proses pematangan tanah dan sistem utilitas utama dapat disediakan secara massal.

Untuk pengadaan tanah skala kecil, otoritas pengembangan permukiman dapat pula mengidentifikasi lahan-lahan kosong di sekitar permukiman kumuh. Jika mekanisme perumahan publik lebih memilih membebaskan lahan tersebut, maka mekanisme perumahan sosial dapat menawarkan skema sewa jangka panjang. Keberadaan Lembaga Pengembangan Komunitas ini menjadi sangat penting. Selain untuk melaksanakan pembinaan, lembaga ini juga diperlukan untuk menjamin ketertiban dan keamanan penyewaan tanah tersebut.

Untuk penyediaan tanah dapat dialokasikan dana pengadaan tanah murah maupun sewa tanah jangka panjang sebanyak maksimum 10 % dari dana rumah sangat murah ini. Sehingga akan tersedia dana pembangunan rumah inti sebesar 90% yang dialokasikan untuk konstruksi rumah. Dengan kepadatan yang tinggi dan kompak, maka desain rumah yang sesuai adalah bentuk rumah inti deret dan bertingkat. Secara partisipatif, masyarakat masih tetap bisa memilih variasi pilihan-pilihan desainnya. Dari berbagai pengalaman di tanah air maupun negara berkembang lain, memang golongan masyarakat miskin yang lebih guyub tidak sesuai untuk tinggal di rumah yang bersusun. Sedangkan komponen upah dapat ditekan pula melalui mekanisme partisipatif.

Permasalahan pinjaman lunak bagi keluarga-keluarga miskin tentunya tidak bisa dijalankan melalui prinsip-prinsip keuangan formal. Mereka biasanya digolongkan sebagai unbankable, dan tidak ada yang salah dengan itu. Kesalahan justru ketika pemerintah tidak menyediakan mekanisme pembiayaan perumahan yang sesuai untuk kelompok ini. Sedangkan pembiayaan mikro perumahan yang dikembangkan selama ini terbukti menunjukkan kinerja yang lemah. Karena sebenarnya sistem penyediaan perumahan sosial bukan bertumpu pada dukungan pembiayaan formal perbankan, melainkan lebih bertumpu pada kekuatan proses pemberdayaan kelompok. Justru dengan bertumpu pada kekuatan komunitas yang terorganisir itulah, maka pinjaman lunak rumah sangat murah ini akan dikembalikan secara bertahap seiring dengan harapan meningkatnya taraf kehidupan mereka.

Bagaimana sebenarnya peluang penerapan sistem penyediaan perumahan yang komprehensif tersebut? Segala sesuatu masih terbuka kemungkinannya. Memang kita belum pernah disajikan berbagai pola pengadaan yang kreatif. Namun janganlah kita terbelenggu oleh pola pikir pengadaan yang berorientasi bisnis perumahan maupun proyek-proyek parsial. Jika para pengembang swasta tidak mampu menghitung-hitung kelayakannya, bukan berarti tidak layak. Tetapi karena memang tidak sesuai jika dilaksanakan melalui moda perumahan komersial. Namun para kontraktor dan pengembang kecil masih dapat tetap dilibatkan. Perumnas sebagai NHUDC perlu diberi peran yang strategis untuk membina mereka. Di negara-negara maju, para kontraktor dan pengembang kecil ini disebut sebagai registered public housing developers under public housing authority management.


-----------------------------------------------------------------


SELECTED NEWS

PERHATIAN PRESIDEN PADA HUNIAN KAUM MISKIN PERLU RESPON TEPAT

Monday, 28 February 2011 15:25


Jakarta, 28/2/2011 (Kominfonewscenter) – Jika bertumpu pada pola penyediaan perumahan komersil maupun pendekatan proyek tentunya uang 5-10 juta rupiah per rumah yang akan disediakan BUMN-BUMN akan tidak bernilai.

“Perhatian Bapak Presiden terhadap kondisi hunian kaum miskin kota yang jauh dari layak kiranya perlu segera direspon secara tepat”, kata narasumber KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) Ir. M. Jehansyah Siregar, MT., Ph.D yang juga Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung) mengatakan di Jakarta Senin (28/2). Jehansyah mengemukakan prakarsa Presiden ini perlu segera dijawab dengan mengembangkan mekanisme penyediaan perumahan yang efektif, sehingga dana 5-10 juta tersebut akan bernilai guna bagi masyarakat miskin kota.

Jehansyah mengatakan penanganan permukiman informal (squatter settlements) seperti keluarga yang tinggal di kolong jembatan yang dicontohkan Presiden tersebut tidak dapat dilakukan dalam skala kawasan kumuh tersebut saja. Melainkan dalam skala kota (city-wide) dengan melibatkan sumbersumberdaya perkotaan lainnya. Mekanisme yang tepat adalah mekanisme penyediaan perumahan umum dan perumahan komunitas yang dikembangkan secara partisipatif dan terpadu.

Jehansyah mengemukakan pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah, pertama dengan mengidentifikasi keluarga-keluarga miskin yang menghuni kawasan permukiman informal yang terutama terdapat di 6 kota metropolitan di tanah air. Kedua dengan mengorganisir dan memberdayakan komunitas-komunitas miskin tersebut hingga mereka memiliki tujuan akan masa depan kehidupannya di permukiman yang baru.
Ketiga dengan melaksanakan pemukiman kembali (resettlement), baik di kawasan sekitar maupun kawasan baru yang agak jauh, dimana komunitas mengembankan permukiman barunya secara swadaya.
”Inilah mekanisme penyediaan perumahan komunitas yang perlu ditangani secara melembaga”, kata Jehansyah.

Jehansyah juga mengemukakan secara simultan, penyediaan perumahan umum perlu pula dipadukan.
Langkah pertama dengan fokus dalam menyediakan lahan-lahan, baik dalam skala kecil (50-100 rumah), skala sedang (250-1.000 rumah) maupun skala besar (3.000 rumah ke atas).
Lokasi bisa dipilih di dalam kota, pinggir kota maupun di kawasan kota-kota baru yang dipadukan dengan program penyediaan permukiman menengah dan pusat-pusat pertumbuhan kota-kota baru.
”Inilah mekanisme penyediaan perumahan publik yang sesuai jika ditangani oleh Perumnas maupun Perumda (yang segera dibentuk/ditugaskan Pemda)”, kata Jehansyah.

Dengan demikian dana 5-10 juta/ rumah dapat dialokasikan untuk sewa tanah jangka panjang atau pengadaan tanah murah (1-2 juta) dan pembangunan rumah inti (4-8 juta) atau rumah inti kopel atau deret.
Melalui jejaring komunitas yang telah berdaya dan diorganisir oleh lembaga khusus seperti CODI (community organisation development institute) di Thailand, pinjaman lunak ini akan mungkin dikembalikan secara bertahap, seiring harapan meningkatnya taraf kehidupan masyarakat miskin tersebut.
“Gagasan dan kepedulian Bapak Presiden ini kiranya perlu segera dipahami sebagai langkah strategis untuk mengembangkan housing delivery system yang baik. Sehingga perumahan dan permukiman dapat benar-benar menjadi instrumen strategis dalam menanggulangi kemiskinan”, kata Jehansyah. (myk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1166:perhatian-presiden-pada-hunian-kaum-miskin-perlu-direspon-secara-tepat&catid=44:nasional-kesra&Itemid=53


-------------------------------------------------------------

Penyediaan Perumahan Harus Efektif


 Home Republika Online

Senin, 28 Februari 2011 pukul 15:45:00 

Pernyataan Presiden terhadap kondisi hunian kaum miskin kota yang jauh dari layak perlu segera direspon secara tepat oleh pihak terkait. Untuk itu perlu segera dikembangkan mekanisme penyediaan perumahan yang efektif.

Pengamat perumahan  dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar mengatakan, penanganan permukiman informal (squatter settlements) seperti keluarga yang tinggal di kolong jembatan, tidak dapat hanya dilakukan dalam skala kawasan kumuh tersebut. Namun juga harus dilakukan dalam skala kota (city wide) dengan melibatkan sumberdaya perkotaan lainnya.
"Mekanisme yang tepat adalah penyediaan perumahan umum dan perumahan komunitas yang dikembangkan secara partisipatif dan terpadu. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah," kata Jehansyah, pekan lalu.
 
Langkah yang harus dilakukan pemerintah,  antara lain mengidentifikasi keluarga miskin yang menghuni kawasan permukiman informal, terutama di berbagai kota metropolitan di Tanah Air. Selain itu mengorganisir dan memberdayakan komunitas masyarakat miskin tersebut hingga mereka  memiliki permukiman yang baru.

Langkah selanjutnya adalah melaksanakan pemukiman kembali (resettlement), baik di kawasan sekitarnya maupun kawasan baru yang agak jauh, di mana komunitas mengembankan permukiman barunya secara swadaya .

"Inilah mekanisme penydiaan perumahan komunitas yang perlu ditangani secara melembaga," jelas Jehansyah.
 
Secara simultan, tuturnya,  penyediaan perumahan umum perlu pula dipadukan. Caranya dengan fokus dalam  penyediaan lahan, baik dalam skala kecil, sedang, maupun besar. (anjar fahmiarto)