Selasa, 22 Februari 2011

Mengendalikan Kepemilikan Asing

 


Perumnas as Oversight for Foreign Property Ownership in Indonesia

BY MUHAMMAD RINALDI
JAKARTA (IFT) – The government deemed it necessary to put regulations and a special agency in place, to oversee management of property ownership for foreign nationals in Indonesia, to deter liberalization of housing.
Jehansyah Siregar, Housing and Settlement Specialist from the Bandung Institute of Technology (ITB), said that the administration of property lease will hold based on a certain time frame, and should be based on the occupational time span vis-a-vis the visa status of foreigners. If allowed to lease hold for an unspecified period, lease may be passed on to their next of kin, thus making it almost akin to being proprietary.

“Managing the lease hold need a regulatory provision that will be managed by a government agency. This matter is utmost importance and must not be overlooked by the government,” he said in Jakarta, Monday.
The role of management here, as implemented by a public property company, is drawing up necessary provisions that will rationalize the property holdings, including residential properties, of foreign nationals.

Such management task, said Jehansyah, is not the mandate of the National Land Agency (BPN) which manages land administration. “It also cannot be submitted to developers. Management should be done by the government through a public developer company with experience in managing property sales,” he explained.
In Singapore, lease hold is given to both their citizens and foreigners alike, for 99 years. Provision of the lease hold was done by a strong public housing agency, the Housing Development Board (HDB).

“In Indonesia, HDB is identical to the Perumnas (National Housing Development), the agency which has the authority to issue lease holds, repurchase properties that will be up for sale, recruitment of new buyers and control of the land bank,” he said.


Revitalization of Perumnas

Jehansyah urged for the revitalization of Perumnas to be a National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC), much like the HDB in Singapore, the Korea National Housing Corporation (KNHC) in South Korea, or the Urban Renaissance Agency in Japan.

Private developers role may also be integrated with this agency, once it has been formed. Through the housing authority, the business practice of private developers will be listed, observed and managed, including the construction activities for foreign citizens' housing. By doing so, the regulation policy of foreign citizens' property ownership may be implemented, and monitored to prevent situations detrimental to the interests of Indonesians in the future.

Originally HDB in Singapore was formed to manage low-cost housing for 30,000 Singaporean citizens, most of whom are slum-dwellers. But the Agency evolved and was later authorizedc to plan, build and regulate housing management for vertical residential (apartments), including those for foreign citizens. Likewise, the HDB also takes care of unit sales and rentals, as well as post-occupancy management. The Agency contributes up to 82 percent of the total housing constructions in the country.

Ali Wongso Sinaga, member of Commission V of the House of Representatives, agreed that the formation of a housing authority similar to HDB in Singapore should be done. “I agree that there should be an agency, authorized by the government to manage construction and housing, mostly for communities with low-income, and not leave everything to the market," he said on Monday.

The opening of foreign ownership of property becomes more seamless with the clause entry to the Law of Housing and Residential Area (PKP), already approved by the House of Representatives last year. Article 52 of said law states that foreigners can inhabit or occupy a house through rental or lease holds. The Regulation now awaits for a Governmental Decree (PP) on regulating the period of the lease hold.

According to the IFT Research Department, listed property companies with projects in the central business district (CBD) and strategic locations with adequate infrastructure, will benefit from government plans to open the foreign ownership of property.

Listed companies that will benefit from the regulations are companies that build and sell houses, apartments or condominiums, like PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) and PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR).

Muhammad Rinaldi, David Manurung

en.indonesiafinancetoday.com/read/2215/Perumnas-as-Oversight-for-Foreign-Property-Ownership-in-Indonesia


--------------ooo()ooo--------------


Kepemilikan Asing perlu Pengendalian yang Kuat

Hak pakai apartemen oleh WNA sebenarnya sudah diatur selama ini di dalam PP No. 41/1996, dimana hak pakai asing dibatasi cukup 25 tahun dan dapat diperpanjang. Namun dalam prakteknya timbul masalah dengan sulitnya perpanjangan hak pakai tersebut. Dengan alasan agar ada kepastian hukum dan meningkatkan investasi asing, para pengembang swasta mengusulkan jangka waktu hak pakai hingga 95 tahun. Usulan para pengembang swasta yang didukung para pejabat terkait ini sebenarnya terlalu menyederhanakan masalah dan semakin meliberalisasi sektor perumahan dan properti di tanah air.

Liberalisasi di bidang properti sudah terjadi sejak tahun 1980-an, yaitu sejak diterbitkannya Pakto-1983 dan Pakto-1988. Hasilnya adalah krisis moneter dan perbankan tahun 1997 yang diakibatkan gelembung ekonomi yang dipicu sektor properti. Liberalisasi properti ini yang membuat pengembang swasta hingga kini bisa menguasai tanah mencapai ratusan ribu hektar di sekitar Jabodetabek. Sedangkan akses rakyat kelas bawah terhadap tanah untuk perumahan hampir tidak ada. Liberalisasi yang dikelola dengan buruk menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Demikian pula, tanpa tata kelola yang baik, pemilikan apartemen oleh WNA akan semakin meliberalisasi sektor properti. Dampaknya adalah tersedotnya sumber-sumberdaya kunci seperti tanah, infrastruktur, pembiayaan dan perijinan. Selain itu akan menimbulkan persaingan tidak sehat di antara sesama pengembang, karena hanya segelintir pengembang yang akan mereguk keuntungan besar.

Akar masalah sebenarnya adalah tata kelola dalam hal pengendalian. Inilah kelemahan sistem kelembagaan perumahan di tanah air. Hingga kini belum ada lembaga yang bisa mengendalikan berapa banyak unit apartemen yang dimiliki oleh orang asing, di lokasi-lokasi mana saja, sampai kapan saja semua hak pakai itu habis, dan bagaimana mengelola tata cara perpanjangannya dengan baik. Di sinilah kelemahannya, apalagi jika dikaitkan dengan perencanaan perumahan rakyat. Segala sesuatu tidak terkendali dan terencana.

Di negara-negara maju, urusan-urusan ini dikelola secara strategis dan sinergis oleh perusahaan publik (BUMN) di bidang perumahan dan properti, yaitu contohnya melalui HDB Singapura, KNHC di Korea Selatan maupun URA di Jepang. Inilah arti penting memperkuat kembali peran BUMN Perumnas di tanah air sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC), dengan mengejar ketertinggalan dari lembaga sejenis di negara-negara Asia Timur yang sudah maju.

Kementerian Perumahan Rakyat tidak dapat mengambil peran ini karena  harus fokus dalam urusan perumusan dan koordinasi kebijakan. Sedangkan BPN lebih fokus dalam administrasi pertanahan dan bukannya properti bangunan. Namun dengan arahan kebijakan dari Kemenpera dan pemberian HPL dari BPN, Perumnas perlu diperkuat sebagai lembaga pelaksana yang merencanakan dan mengendalikan pertanahan dan infrastruktur  secara berkeadilan, berketahanan dan produktif. Ketika model tata kelola yang baik sudah berhasil dipraktekkan, maka pada gilirannya pihak Pemda dan pengembang swasta dapat turut berperan serta pula, namun tetap di bawah pengendalian Perumnas atau Perumda di daerah.

Pengalaman sudah menunjukkan, berbagai skema perimbangan seperti hunian berimbang 1-3-6, kompensasi membangun rusunawa bagi pengembang yang mendapatkan SIPPT di Jakarta, Saung Kadeudeuh di Jawa Barat, dan lain-lain, semuanya gagal total tanpa adanya lembaga publik yang operasional dan profesional. Demikian pula, usulan pemilikan apartemen asing oleh WNA dengan kompensasi fiskal, kompensasi membangun rumah sederhana, komposisi maksimum 49 % apartemen WNA, dan sebagainya, tidak akan berjalan.

Jika wacana pemilikan apartemen WNA ini tetap hendak dijalankan tanpa tata kelola yang baik yang ditandai kelembagaan pelaksana yang kuat, maka akan benar-benar mendorong liberalisasi perumahan dan bukan tidak mungkin akan kembali memunculkan gelembung ekonomi yang mengancam kualitas pertumbuhan ekonomi bangsa ini. Selain tentunya semakin mengancam terbengkalainya target rumah layak dan bermartabat untuk seluruh rakyat. Pada gilirannya, akan timbul segregasi sosial di tengah-tengah masyarakat perkotaan. Inilah dampak dari liberalisasi perumahan dan properti.
------------------------------------------------

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/13316-pengelolaan-pertumbuhan-kawasan-hunian-lemah



Pengelolaan pertumbuhan kawasan hunian lemah
Oleh Yusuf Waluyo Jati
Published On: 21 February 2011

JAKARTA: Pemerhati perumahan dan permukiman menilai kewenangan negara dalam mengontrol dan mengelola pertumbuhan kawasan hunian sangat lemah sehingga orientasi pembangunan perumahan masih menguntungkan para pengembang kakap.

Kondisi itu menyebabkan akses rakyat kelas bawah terhadap tanah untuk perumahan sejahtera baik tapak maupun susun nyaris tidak ada.

Praktisi Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan tanpa adanya lembaga yang mengatur dan mengontrol tata kelola perumahan, pemilikan apartemen oleh orang asing akan semakin meliberalisasi sektor properti.

Dampaknya, sumber-sumber daya kunci seperti tanah, infrastruktur, pembiayaan dan perijinan akan tersedot. Selain itu, iklim bisnis di sektor ini akan menimbulkan persaingan tidak sehat antarpengembang karena hanya segelintir pengembang yang akan mereguk keuntungan besar.

"Akar masalah sebenarnya ada pada tata kelola dalam hal pengendalian. Kita tak punya lembaga yang kuat di bidang ini. Hingga kini belum ada lembaga yang bisa mengendalikan berapa banyak unit apartemen yang dimiliki oleh orang asing, di lokasi-lokasi mana saja, masa hak pakai, dan tata cara perpanjangannya dengan baik," kata Jehansyah, hari ini.

Di negara-negara maju, lanjutnya, urusan-urusan ini dikelola secara strategis dan sinergis oleh perusahaan publik (BUMN) di bidang perumahan dan properti seperti HDB Singapura, KNHC di Korea Selatan maupun URA di Jepang.

"Inilah arti penting memperkuat kembali peran BUMN Perumnas di tanah air sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC), dengan mengejar ketertinggalan dari lembaga sejenis di negara-negara Asia Timur yang sudah maju," katanya. (gak)


----------------------------------------------------------------

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/11228-peran-perumnas-perlu-diperluas
Peran Perumnas perlu diperluas
Oleh Intan Pratiwi
Published On: 04 February 2011
JAKARTA: Perum Perumnas dinilai sudah saatnya menjadi National Housing and Urban Developement Corporation yang memiliki wewenang penuh dalam pengembangan kawasan permukiman secara menyeluruh.

Jehansyah Siregar, Pengamat Perumahan dan Permukiman mengungkapkan selama ini peran Perumnas malah semakin kecil dan hanya menjadi lembaga BUMN yang digunakan oleh pemerintah sebagai mesin pembangun.

"Seharusnya perumnas dijadikan sebuah lembaga properti publik yang memiliki wewenang dalam mengelola tanah, infrastruktur, dan juga pembiayaan dalam konsep pembangunan skala kawasan," ujarnya saat dihubungi Bisnis hari ini.

Perumnas, sambungnya, seharusnya memiliki fungsi seperti Housing Developement Boardland di Singapura yang bisa menyediakan dan mengatur perumahan untuk kepentingan publik, komersial, komunitas, dan juga sosial.

Dia menambahkan Perumnas yang telah diberikan kewenangan nantinya akan menjadi pilar utama pengembangan perumahan yang sanggup untuk mengatur kawasan skala besar sekaligus mengeluarkan izin dan aturan pengelolaan tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. 

Tanah terlantar yang ditarik oleh pemerintah melalui PP No.11 Tahun 2010, juga dapat direalisasikan untuk kepentingan perumahan rakyat melalui Perumnas yang telah direvitalisasi. Perumnas dapat melibatkan pengembang, koperasi, dan kontraktor secara seimbang sesuai peruntukan lahannya.

Nantinya, ungkap Jehansyah pengembang dan organisasi lainnya yang akan mengembangkan perumahan akan ikut aturan main pemerintah. Ini penting untuk menghindari terjadinya penguasaan aset-aset penting perumahan oleh segelintir pihak yang hanya ingin mencari keuntungan. (gak)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar