Kamis, 03 Maret 2011

Hunian Berimbang efektif dijalankan oleh NHUDC

Hunian Berimbang akan efektif jika dijalankan oleh NHUDC sebagai Pilar Perumahan Publik


Dari beberapa pemberitaan tanggal 1 Maret 2011 ini diketahui bahwa REI meminta adanya insentif pajak jika membangun dengan menggunakan pola Lingkungan Hunian Berimbang (LHB, 1-3-6). Jika tidak maka pembangunan diperkirakan akan terhambat. Keadaan seperti ini merupakan ulangan kondisi di tahun 1990-an ketika peraturan hunian berimbang ditetapkan melalui SKB 3 Menteri.

Pada dasarnya penerapan lingkungan hunian berimbang tidak akan efektif jika masih diterapkan pada sistem penyediaan perumahan komersial. Meskipun dengan mengancam dengan berbagai sanksi. Pada prakteknya akan sulit sekali mengecek di lapangan untuk membuktikan pelaksanaan LHB. Seperti berapa harga rumah-rumah tersebut, berapa jumlah dan komposisinya, dan sebagainya. Dengan demikian malah justru akan menjauhkan dari transparansi dan berpotensi besar menimbulkan biaya tinggi.

Belajar dari pengalaman terdahulu, kewajiban yang dibebankan kepada pengembang swasta pada akhirnya melahirkan berbagai bentuk kompromi. Seperti pembangunan rumah sederhana yang dibangun di tempat terpisah yang jauh, atau pembayaran kompensasi yang dijalankan lembaga saung kadeudeuh di Jawa Barat yang tidak jelas penggunaannya, dlsb. Akhirnya lingkungan permukiman dibangun secara menyebar tak karuan (scattered) dan menciptakan kantong-kantong (enclaves) permukiman yang seragam, sehingga kota-kota tumbuh secara tidak berkelanjutan. Selain itu yang lebih mengkhawatirkan, tujuan penyediaan perumahan sederhana tidak akan tercapai, apalagi perumahan sangat murah.

Pemerintah hendaknya tidak mengulang-ngulangi lagi kesalahan di masa lampau.

Hendaknya  konsep LHB dijalankan secara efektif melalui sistem penyediaan perumahan publik. Melalui penguasaan lahan skala besar (kasiba dan lisiba) yang dikelola oleh badan usaha publik di bidang perumahan dan perkotaan, maka penataan ruang dapat dikembangkan dan diwujudkan secara efektif dengan memperhatikan LHB. Pada dasarnya konsep LHB mengandung prinsip-prinsip pro-poor, pro-green dan pro-growth sekaligus, sehingga sangat penting sekali menjamin penerapannya.

Untuk itu agenda Perumnas Reformasi (NHUDC) benar-benar mendesak untuk segera dijalankan pemerintah. Di dalam kepemimpinan NHUDC, maka penyediaan fasos dan fasum, prasarana permukiman dan perkotaan dapat dilakukan secara terpadu. Berbagai program infrastruktur di berbagai sektor terutama di bidang perumahan, permukiman, dan perhubungan, perlu dipadukan untuk mewujudkan kawasan yang asri dan menjamin kualitas kehidupan penduduknya. Demikian juga fasilitas pendidikan dan perdagangan perlu dipadukan. Hanya keterpaduan pembangunan fasilitas inilah yang akan menghasilkan kawasan permukiman yang diminati masyarakat dari semua golongan. Begitulah praktek-praktek yang dijalankan HDB di Singapura, KNHC di Korea Selatan, maupun URA di Jepang.

Begitu juga para pengembang swasta tidak akan kehilangan biaya tinggi di tingkat hulu melalui pembebasan tanah yang sulit, melobi infrastruktur dan perijinan yang berbelit-belit. Melalui kawasan siap bangun yang telah direncanakan dan dialokasikan oleh NHUDC di dalam masterplan kawasan, mereka akan berfokus membangun hunian yang semakin berkualitas. Harga yang tinggi jangan sampaidihasilkan dari ekonomi biaya tinggi, melainkan hanya akan sepadan jika diimbangi oleh kualitas dan teknologi yang terus terbarukan.

Demikian pula para pengembang kecil dalam jumlah yang lebih banyak lagi dan teregristrasi oleh NHUDC, akan mendapatkan lahan secara proporsional untuk membangun rumah-rumah sejahtera dan sederhana. Sedangkan sistem penyediaan perumahan sosial tentu sekali harus terjamin alokasi lahannya secara terpadu. Di atas lahan-lahan inilah rumah-rumah sangat murah dapat dibangun secara terencana melalui sistem penyediaan perumahan sosial dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan komunitas.

Terakhir, penyediaan perumahan murah dan penjaminan proteksi lingkungan serta berkembangnya kawasan perumahan skala menengah atas hingga tumbuhnya pusat-pusat perkotaan baru hanya bisa diselenggarakan secara efektif melalui pengembangan sistem penyediaan perumahan yang komprehensif dan terpadu dengan dipimpin lembaga operasional milik publik. Bukan dengan pola-pola sanksi, pembebanan yang tidak semestinya dan pembiaran kapasitas pengendalian yang rendah.

-MJS-

---------------------------------------------------
Aturan Hunian Berimbang Picu Biaya Produksi Tinggi
By IM Suryani dan Muhammad Rinaldi
indonesiafinancetoday.com/read/4043/Aturan-Hunian-Berimbang-Picu-Biaya-Produksi-Tinggi

JAKARTA  (IFT) - Penerapan aturan hunian berimbang dinilai tidak akan efektif mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah jika diserahkan pada pengembang perumahan komersial. Bila aturannya tidak jelas, kebijakan ini justru dikhawatirkan menyebabkan biaya produksi rumah makin tinggi.

Jehansyah Siregar, Pakar Permukiman dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan meski pemerintah menerapkan sanksi yang tegas, namun di lapangan sulit dilakukan pengawasan."Seperti berapa harga rumah-rumah tersebut, berapa jumlah dan komposisinya. Justru regulasi ini akan membuat pengembang tidak transparan mengenai informasi proyeknya," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Dia menambahkan, dari pengalaman kewajiban tersebut pada akhirnya hanya melahirkan kompromi antara pengembang dan pemerintah daerah selaku pengawas yang menyebabkan biaya produksi menjadi semakin tinggi. Jehan menyarankan agar  lingkungan hunian berimbang dilakukan satu lembaga atau perusahaan khusus perumahan melalui penguasaan lahan skala besar.

Dedi Djajasatra, Direktur PT Reka Rumanda Agung Abadi, menilai rencana pemerintah menerapkan kembali hunian berimbang  patut didukung. Sebab mayoritas masyarakat di Jakarta berpenghasilan menengah ke bawah. Bagi pengembang yang terpenting aturan jelas, sehingga tidak membuat biaya produksi rumah membengkak.

"Tujuan aturan ini baik sekali, tinggal bagaimana membuat aturan yang jelas dan tidak sumir. Contoh siapa saja pengembang yang dikenakan kewajiban, pengawasan dilakukan siapa, dan insentif dari pemenerintah apa. Ini yang pengembang perlu tahu," ujarnya, Rabu.

Selain pengembang rumah menengah, Reka Rumanda selama ini dikenal sebagai pengembang rumah susun (rusun). Total rumah susun yang sudah dibangun mencapai 3.500 unit.

Im Suryani


----------------------------------------

Hunian Berimbang Butuh Asas Keadilan
BY  MUHAMMAD RINALDI

JAKARTA (IFT) –Regulasi pembangunan hunian berimbang yang akan  diberlakukan pemerintah terhadap pengembang perumahan dan apartemen mewah diminta tidak ditujukan untuk mengalihkan tanggungjawab pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah dari negara kepada pengembang swasta.

Ali Wongso Sinaga, anggota Komisi V DPR RI yang salah satunya membidangi sektor perumahan menyatakan dukungan terhadap aturan yang mewajibkan pengembang swasta untuk membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah itu diharapkan dapat mendorong pasokan hunian yang murah dan terjangkau bagi masyarakat. Begitu pun, dia meminta agar regulasi tersebut tetap memperhatikan  tingkat risiko bisnis pengembang.

“Jangan sampai mereka disuruh membangun rumah murah, tapi bisnisnya mati. Ini perlu dipertimbangkan,” ujarnya.

Menurut dia, meski pola hunian berimbang sudah berjalan, namun intervensi pemerintah tetap diperlukan. Negara tetap harus bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan rumah bagi rakyat berpenghasilan rendah.

Disarankan Ali, aturan itu sebaiknya tidak dikenakan kepada semua pengembang. Bagi developer hunian menengah ke bawah misalnya, seharusnya dibebaskan dari kewajiban tersebut. Demikian pengembang yang membangun rumah dalam jumlah kecil. Dia setuju jika aturan ini dikenakan bagi pengembang komersial dengan lahan skala besar.

“Semua hal ini perlu dipertegas di peraturan menteri yang sedang dibahas. Yang terpenting regulasi ini rasional untuk diterapkan,” katanya.

Pemerintah tetap akan memberlakukan kewajiban pola hunian berimbang kepada pengembang yang membangun perumahan dan apartemen mewah. Saat ini regulasinya sedang dibahas dan ditargetkan mulai diberlakukan pertengahan tahun ini.

Sebelumnya, Zulfi Syarif Koto, pengamat properti dari The HUD Institute meminta pemerintah perlu mengambil pelajaran dari pengalaman penerapan pola hunian berimbang pada 1992 yang berjalan kurang optimal. Aturan yang saat ini sedang digodok diharapkan realistis dan tidak justru cenderung bertujuan memberatkan pengembang. Dia menyatakan selain pengembang,  pemerintah daerah perlu pula diajak membahas regulasi ini, mengingat wewenang pengawasan nantinya berada di tangan pemerintah daerah.

“Pengembang dirangkul dulu, jadi saya setuju sanksi tidak perlu terlalu ditonjolkan dalam penyusunan regulasi ini. Soal komposisi, coba dicari yang paling ideal dan win-win solution bagi pengembang dan pemerintah. Di kota-kota besar mungkin komposisi rumah murahnya bisa tidak sebanyak di kota kecil,” katanya.

Setyo Maharso, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia mengatakan pola hunian berimbang sulit dilakukan tanpa aturan jelas. Besarnya kewenangan pemerintah daerah juga menjadi kendala, karena sering terjadi kebijakan pemerintah pusat tidak dijalankan di daerah. Karena itu, regulasi mengenai hunian berimbang ini sebaiknya diikuti dengan lahirnya peraturan daerah yang mengatur hal serupa.

Mengenai rencana pemberian sanksi bagi pengembang yang tidak patuh membangun hunian berimbang, Setyo mendesak pemerintah jangan langsung menonjolkan sanksi karena kurang baik bagi iklim investasi di Indonesia. “Janganlah sedikit-sedikit diancam sanksi, nanti takutnya pengembang jadi enggan membangun proyek properti. Berikan insentif, sehingga regulasi ini bisa berjalan dulu,” tandas Setyo. (*)

indonesiafinancetoday.com/read/3971/Aturan-Hunian-Berimbang-Perlu-Perhatikan-Risiko-Bisnis-Pengembang
------------------------------------------------------


SELECTED NEWS

PEMERINTAH JANGAN ULANGI KESALAHAN MASA LALU, LHB BERPOTENSI BIAYA TINGGI

Wednesday, 02 March 2011 15:12

Jakarta, 2/3/2011 (Kominfonewscenter) – Pada dasarnya penerapan lingkungan hunian berimbang (LHB) tidak akan efektif jika masih diterapkan pada sistem penyediaan perumahan komersial. “Pemerintah hendaknya tidak mengulang-ngulangi lagi kesalahan di masa lampau. Hendaknya konsep LHB dijalankan secara efektif melalui sistem penyediaan perumahan publik”, kata narasumber KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M. Jehansyah Siregar, Ph.D, di Jakarta Rabu (2/3).

Jehansyah mengatakan melalui penguasaan lahan skala besar (kasiba dan lisiba) yang dikelola badan usaha publik di bidang perumahan dan perkotaan, penataan ruang dapat dikembangkan dan diwujudkan secara efektif dengan memperhatikan LHB. “Pada dasarnya konsep LHB mengandung prinsip-prinsip pro-poor, pro-green dan pro-growth sekaligus, sehingga sangat penting sekali menjamin penerapannya”, kata Jehansyah.Namun ia mengemukakan meskipun mengancam dengan berbagai sanksi, pada prakteknya akan sulit sekali mengecek di lapangan untuk membuktikan pelaksanaan LHB, seperti berapa harga rumah-rumah tersebut, berapa jumlah dan komposisinya, dan sebagainya.

”Dengan demikian malah justru akan menjauhkan dari transparansi dan berpotensi besar menimbulkan biaya tinggi”, kata Jehansyah yang juga Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (Institut Teknologi Bandung). Jehansyah mengatakan REI meminta insentif pajak jika membangun dengan menggunakan pola Lingkungan Hunian Berimbang (LHB, 1-3-6). Jika tidak, pembangunan diperkirakan akan terhambat, keadaan seperti ini merupakan ulangan kondisi di tahun 1990-an ketika peraturan hunian berimbang ditetapkan melalui SKB 3 Menteri.

Jehansyah menjelaskan, belajar dari pengalaman terdahulu, kewajiban yang dibebankan kepada pengembang swasta pada akhirnya melahirkan berbagai bentuk kompromi, seperti pembangunan rumah sederhana yang dibangun di tempat terpisah yang jauh atau pembayaran kompensasi yang dijalankan lembaga saung kadeudeuh di Jawa Barat yang tidak jelas penggunaannya. Akhirnya lingkungan permukiman dibangun secara menyebar tak karuan (scattered) dan menciptakan kantong-kantong (enclaves) permukiman yang seragam, sehingga kota-kota tumbuh secara tidak berkelanjutan.
“Selain itu yang lebih mengkhawatirkan, tujuan penyediaan perumahan sederhana tidak akan tercapai, apalagi perumahan sangat murah,” kata Jehansyah.

Menurut Jehansyah agenda Perumnas Reformasi (NHUDC/National Housing and Urban Development Corporation) benar-benar mendesak untuk segera dijalankan pemerintah. Di dalam kepemimpinan NHUDC, penyediaan fasos dan fasum, prasarana permukiman dan perkotaan dapat dilakukan secara terpadu. Berbagai program infrastruktur di berbagai sektor terutama di bidang perumahan, permukiman, dan perhubungan, perlu dipadukan untuk mewujudkan kawasan yang asri dan menjamin kualitas kehidupan penduduknya.

Demikian juga fasilitas pendidikan dan perdagangan perlu dipadukan, hanya keterpaduan pembangunan fasilitas inilah yang akan menghasilkan kawasan permukiman yang diminati masyarakat dari semua golongan. Begitulah praktek-praktek yang dijalankan HDB (Housing Development Board) di Singapura, KNHC di Korea Selatan, maupun URA di Jepang. Begitu juga bagi para pengembang swasta, tidak akan kehilangan biaya tinggi di tingkat hulu melalui pembebasan tanah yang sulit, melobi infrastruktur dan perijinan yang berbelit-belit.

Melalui kawasan siap bangun yang telah direncanakan dan dialokasikan oleh NHUDC di dalam masterplan kawasan, mereka akan berfokus membangun hunian yang semakin berkualitas. Harga yang tinggi jangan sampai dihasilkan dari ekonomi biaya tinggi, melainkan hanya akan sepadan jika diimbangi oleh kualitas dan teknologi yang terus terbarukan. Demikian pula para pengembang kecil dalam jumlah yang lebih banyak lagi dan teregristrasi oleh NHUDC, akan mendapatkan lahan secara proporsional untuk membangun rumah-rumah sejahtera dan sederhana.

Sedangkan sistem penyediaan perumahan sosial harus terjamin alokasi lahannya secara terpadu.
Di atas lahan-lahan inilah rumah-rumah sangat murah dapat dibangun secara terencana melalui sistem penyediaan perumahan sosial dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan komunitas.
Penyediaan perumahan murah dan penjaminan proteksi lingkungan serta berkembangnya kawasan perumahan skala menengah atas hingga tumbuhnya pusat-pusat perkotaan baru hanya bisa diselenggarakan secara efektif melalui pengembangan sistem penyediaan perumahan yang komprehensif dan terpadu dengan dipimpin lembaga operasional milik publik. ”Bukan dengan pola-pola sanksi, pembebanan yang tidak semestinya dan pembiaran kapasitas pengendalian yang rendah”, kata Jehansyah. (mydk)

http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1182:pemerintah-jangan-ulangi-kesalahan-masa-lalu-lhb-berpotensi-biaya-tinggi&catid=36:nasional-khusus&Itemid=54

---------------------------------------------

Pengembang keluhkan aturan hunian berimbang




BISNIS INDONESIA
JAKARTA Pengembang mendesak pemerintah pusat untuk meninjau ulang aturan mengenai formula hunian berimbang terutama mengenai pembangunan dalam konteks satu kawasan. Setyo Maharso Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia menyatakan aturan mengenai hunian berimbang haruslah lebih fleksibel dan dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Selama ini pengembang merasa kesulitan untuk menerapkan aturan 136 dalam konteks pembangunan satu kawasan terutama di kota besar yang harga tanahnya sudah mahal.
"Kalau membangun di tengah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bali tidak bisa membangun untuk semua segmen dalam satu kawasan, NJOP tanah yang mahal membuat pengembang menyesuaikan harga dan segmen pembangunan," ujarnya seusai acara Seminar BTN Expo, Kamis pekan ini.
Nilai jual objek pajak (NJOP) yang mahal, sambungnya juga akan meningkatkan nilai pajak bumi dan bangunan (PBB). Akibatnya walaupun bangunan tersebut untuk segmen menengah maka PBB nya akan tetap mahal dan memberatkan.

Selain itu, mengingat NJOP tanah yang tinggi, ada kekhawatiran, akan terjadi aksi jual kembali properti oleh masyarakat segmen bawah kepada masyarakat segmen atas, sehingga pengaturan hunian berimbang dalam satu kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi percuma.

Solusinya, ungkap Maharso, harus ada fleksibilitas dalam penerapan aturan. Misalnya saja untuk pembangunan di tengah kota, pengembang dapat membangun hunian untuk segmen menengah atas dengan perbandingan 1, sementara untuk menengah bawah dengan perbandingan 6 bisa dibangun di daerah sekitar hinterland kota yang tanahnya masih relatif murah.

Pembebasan lahan

Selain itu kalaupun masih ingin membangun hunian bagi segmen bawah, menengah, dan atas dalam satu kawasan, maka pemerintah seharusnya mencarikan lahan yang luas dan membebaskannya. Pengembang tinggal membangun dan tidak perlu memikirkan dana untuk pembebasan lahan.

Di sisi lain, dihubungi secara terpisah pekan lalu, pakar perumahan dan permukiman Jehansyah Siregar menyatakan konsep utama dari hunian berimbang adalah untuk membangun suatu keberlanjutan sosial dala membentuk pola tatanan permukiman dalam satu kawasan. Pengembangan hunian berimbang, paparnya, harus dilakukan dalam satu kawasah dan tidak boleh dibangun pada lokasi yang terpisah-pisah. Apabila dibangun pada lokasi yang berbeda, maka kebijakan ini dapat dikatakan tidak mencapai sasaran.

Pemerintah tidak sepatutnya menyerahkan urusan ini kepada pengembang karena pengembang pada dasarnya akan mencari untung dan hanya membangun yang paling menguntungkan bagi mereka. Untuk membangun suatu kawasan dengan konsep hunian berimbang, pemerintah seharusnya menyediakan kawasan siap bangun yang dikelola oleh suatu badan publik, im





------------------------------------------------------


Balanced Housing Regulation Triggers High Production Cost

BY IM SURYANI
Indonesia Finance Today, Property

JAKARTA (IFT) - Implementation of balanced housing regulation is deemed ineffective in pushing residential housing for low-income communities if it is left to the commercial housing developers. If the regulation is not clear, the policy might result to higher construction cost.

Jehansyah Siregar, Settlement Expert of the Bandung Institute of Technology, said despite the government's imposition of strict sanctions, it is still too difficult to conduct observation in the field. “As to how much the houses will cost, the quantity and the composition, the regulation will not make the developers transparent about those information,” he said in Jakarta on Wednesday. He adds that from experience, it will only produce a compromise between the developer and the regional government, as costs will surge. Jehan suggested that the balanced housing environment be conducted by just one agency or a special housing company with large-scale control.

Dedi Djajasastra, Director of PT Reka Rumanda Agung Abadi, assessed that the government plan to implement balanced housing should be supported, because the majority of Jakarta’s community have middle to low income levels. “The purpose of this regulation is all good; all we need to do now is how to make a clear regulation. Like which developers will be responsible, who will conduct the observation and what the incentives will be from the government. These are things that developers should know,” he said on Wednesday. Other than developing mid-size housing, Reka Rumanda is known as a vertical housing developer, with a total of 3,500 units built.
en.indonesiafinancetoday.com/read/2729/Balanced-Housing-Regulation-Triggers-High-Production-Cost


 
--------------------ooo()ooo----------------------







Tidak ada komentar:

Posting Komentar