Selasa, 22 Februari 2011

Mengendalikan Kepemilikan Asing

 


Perumnas as Oversight for Foreign Property Ownership in Indonesia

BY MUHAMMAD RINALDI
JAKARTA (IFT) – The government deemed it necessary to put regulations and a special agency in place, to oversee management of property ownership for foreign nationals in Indonesia, to deter liberalization of housing.
Jehansyah Siregar, Housing and Settlement Specialist from the Bandung Institute of Technology (ITB), said that the administration of property lease will hold based on a certain time frame, and should be based on the occupational time span vis-a-vis the visa status of foreigners. If allowed to lease hold for an unspecified period, lease may be passed on to their next of kin, thus making it almost akin to being proprietary.

“Managing the lease hold need a regulatory provision that will be managed by a government agency. This matter is utmost importance and must not be overlooked by the government,” he said in Jakarta, Monday.
The role of management here, as implemented by a public property company, is drawing up necessary provisions that will rationalize the property holdings, including residential properties, of foreign nationals.

Such management task, said Jehansyah, is not the mandate of the National Land Agency (BPN) which manages land administration. “It also cannot be submitted to developers. Management should be done by the government through a public developer company with experience in managing property sales,” he explained.
In Singapore, lease hold is given to both their citizens and foreigners alike, for 99 years. Provision of the lease hold was done by a strong public housing agency, the Housing Development Board (HDB).

“In Indonesia, HDB is identical to the Perumnas (National Housing Development), the agency which has the authority to issue lease holds, repurchase properties that will be up for sale, recruitment of new buyers and control of the land bank,” he said.


Revitalization of Perumnas

Jehansyah urged for the revitalization of Perumnas to be a National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC), much like the HDB in Singapore, the Korea National Housing Corporation (KNHC) in South Korea, or the Urban Renaissance Agency in Japan.

Private developers role may also be integrated with this agency, once it has been formed. Through the housing authority, the business practice of private developers will be listed, observed and managed, including the construction activities for foreign citizens' housing. By doing so, the regulation policy of foreign citizens' property ownership may be implemented, and monitored to prevent situations detrimental to the interests of Indonesians in the future.

Originally HDB in Singapore was formed to manage low-cost housing for 30,000 Singaporean citizens, most of whom are slum-dwellers. But the Agency evolved and was later authorizedc to plan, build and regulate housing management for vertical residential (apartments), including those for foreign citizens. Likewise, the HDB also takes care of unit sales and rentals, as well as post-occupancy management. The Agency contributes up to 82 percent of the total housing constructions in the country.

Ali Wongso Sinaga, member of Commission V of the House of Representatives, agreed that the formation of a housing authority similar to HDB in Singapore should be done. “I agree that there should be an agency, authorized by the government to manage construction and housing, mostly for communities with low-income, and not leave everything to the market," he said on Monday.

The opening of foreign ownership of property becomes more seamless with the clause entry to the Law of Housing and Residential Area (PKP), already approved by the House of Representatives last year. Article 52 of said law states that foreigners can inhabit or occupy a house through rental or lease holds. The Regulation now awaits for a Governmental Decree (PP) on regulating the period of the lease hold.

According to the IFT Research Department, listed property companies with projects in the central business district (CBD) and strategic locations with adequate infrastructure, will benefit from government plans to open the foreign ownership of property.

Listed companies that will benefit from the regulations are companies that build and sell houses, apartments or condominiums, like PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) and PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR).

Muhammad Rinaldi, David Manurung

en.indonesiafinancetoday.com/read/2215/Perumnas-as-Oversight-for-Foreign-Property-Ownership-in-Indonesia


--------------ooo()ooo--------------


Kepemilikan Asing perlu Pengendalian yang Kuat

Hak pakai apartemen oleh WNA sebenarnya sudah diatur selama ini di dalam PP No. 41/1996, dimana hak pakai asing dibatasi cukup 25 tahun dan dapat diperpanjang. Namun dalam prakteknya timbul masalah dengan sulitnya perpanjangan hak pakai tersebut. Dengan alasan agar ada kepastian hukum dan meningkatkan investasi asing, para pengembang swasta mengusulkan jangka waktu hak pakai hingga 95 tahun. Usulan para pengembang swasta yang didukung para pejabat terkait ini sebenarnya terlalu menyederhanakan masalah dan semakin meliberalisasi sektor perumahan dan properti di tanah air.

Liberalisasi di bidang properti sudah terjadi sejak tahun 1980-an, yaitu sejak diterbitkannya Pakto-1983 dan Pakto-1988. Hasilnya adalah krisis moneter dan perbankan tahun 1997 yang diakibatkan gelembung ekonomi yang dipicu sektor properti. Liberalisasi properti ini yang membuat pengembang swasta hingga kini bisa menguasai tanah mencapai ratusan ribu hektar di sekitar Jabodetabek. Sedangkan akses rakyat kelas bawah terhadap tanah untuk perumahan hampir tidak ada. Liberalisasi yang dikelola dengan buruk menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Demikian pula, tanpa tata kelola yang baik, pemilikan apartemen oleh WNA akan semakin meliberalisasi sektor properti. Dampaknya adalah tersedotnya sumber-sumberdaya kunci seperti tanah, infrastruktur, pembiayaan dan perijinan. Selain itu akan menimbulkan persaingan tidak sehat di antara sesama pengembang, karena hanya segelintir pengembang yang akan mereguk keuntungan besar.

Akar masalah sebenarnya adalah tata kelola dalam hal pengendalian. Inilah kelemahan sistem kelembagaan perumahan di tanah air. Hingga kini belum ada lembaga yang bisa mengendalikan berapa banyak unit apartemen yang dimiliki oleh orang asing, di lokasi-lokasi mana saja, sampai kapan saja semua hak pakai itu habis, dan bagaimana mengelola tata cara perpanjangannya dengan baik. Di sinilah kelemahannya, apalagi jika dikaitkan dengan perencanaan perumahan rakyat. Segala sesuatu tidak terkendali dan terencana.

Di negara-negara maju, urusan-urusan ini dikelola secara strategis dan sinergis oleh perusahaan publik (BUMN) di bidang perumahan dan properti, yaitu contohnya melalui HDB Singapura, KNHC di Korea Selatan maupun URA di Jepang. Inilah arti penting memperkuat kembali peran BUMN Perumnas di tanah air sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC), dengan mengejar ketertinggalan dari lembaga sejenis di negara-negara Asia Timur yang sudah maju.

Kementerian Perumahan Rakyat tidak dapat mengambil peran ini karena  harus fokus dalam urusan perumusan dan koordinasi kebijakan. Sedangkan BPN lebih fokus dalam administrasi pertanahan dan bukannya properti bangunan. Namun dengan arahan kebijakan dari Kemenpera dan pemberian HPL dari BPN, Perumnas perlu diperkuat sebagai lembaga pelaksana yang merencanakan dan mengendalikan pertanahan dan infrastruktur  secara berkeadilan, berketahanan dan produktif. Ketika model tata kelola yang baik sudah berhasil dipraktekkan, maka pada gilirannya pihak Pemda dan pengembang swasta dapat turut berperan serta pula, namun tetap di bawah pengendalian Perumnas atau Perumda di daerah.

Pengalaman sudah menunjukkan, berbagai skema perimbangan seperti hunian berimbang 1-3-6, kompensasi membangun rusunawa bagi pengembang yang mendapatkan SIPPT di Jakarta, Saung Kadeudeuh di Jawa Barat, dan lain-lain, semuanya gagal total tanpa adanya lembaga publik yang operasional dan profesional. Demikian pula, usulan pemilikan apartemen asing oleh WNA dengan kompensasi fiskal, kompensasi membangun rumah sederhana, komposisi maksimum 49 % apartemen WNA, dan sebagainya, tidak akan berjalan.

Jika wacana pemilikan apartemen WNA ini tetap hendak dijalankan tanpa tata kelola yang baik yang ditandai kelembagaan pelaksana yang kuat, maka akan benar-benar mendorong liberalisasi perumahan dan bukan tidak mungkin akan kembali memunculkan gelembung ekonomi yang mengancam kualitas pertumbuhan ekonomi bangsa ini. Selain tentunya semakin mengancam terbengkalainya target rumah layak dan bermartabat untuk seluruh rakyat. Pada gilirannya, akan timbul segregasi sosial di tengah-tengah masyarakat perkotaan. Inilah dampak dari liberalisasi perumahan dan properti.
------------------------------------------------

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/13316-pengelolaan-pertumbuhan-kawasan-hunian-lemah



Pengelolaan pertumbuhan kawasan hunian lemah
Oleh Yusuf Waluyo Jati
Published On: 21 February 2011

JAKARTA: Pemerhati perumahan dan permukiman menilai kewenangan negara dalam mengontrol dan mengelola pertumbuhan kawasan hunian sangat lemah sehingga orientasi pembangunan perumahan masih menguntungkan para pengembang kakap.

Kondisi itu menyebabkan akses rakyat kelas bawah terhadap tanah untuk perumahan sejahtera baik tapak maupun susun nyaris tidak ada.

Praktisi Perumahan dan Permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar mengatakan tanpa adanya lembaga yang mengatur dan mengontrol tata kelola perumahan, pemilikan apartemen oleh orang asing akan semakin meliberalisasi sektor properti.

Dampaknya, sumber-sumber daya kunci seperti tanah, infrastruktur, pembiayaan dan perijinan akan tersedot. Selain itu, iklim bisnis di sektor ini akan menimbulkan persaingan tidak sehat antarpengembang karena hanya segelintir pengembang yang akan mereguk keuntungan besar.

"Akar masalah sebenarnya ada pada tata kelola dalam hal pengendalian. Kita tak punya lembaga yang kuat di bidang ini. Hingga kini belum ada lembaga yang bisa mengendalikan berapa banyak unit apartemen yang dimiliki oleh orang asing, di lokasi-lokasi mana saja, masa hak pakai, dan tata cara perpanjangannya dengan baik," kata Jehansyah, hari ini.

Di negara-negara maju, lanjutnya, urusan-urusan ini dikelola secara strategis dan sinergis oleh perusahaan publik (BUMN) di bidang perumahan dan properti seperti HDB Singapura, KNHC di Korea Selatan maupun URA di Jepang.

"Inilah arti penting memperkuat kembali peran BUMN Perumnas di tanah air sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC), dengan mengejar ketertinggalan dari lembaga sejenis di negara-negara Asia Timur yang sudah maju," katanya. (gak)


----------------------------------------------------------------

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/11228-peran-perumnas-perlu-diperluas
Peran Perumnas perlu diperluas
Oleh Intan Pratiwi
Published On: 04 February 2011
JAKARTA: Perum Perumnas dinilai sudah saatnya menjadi National Housing and Urban Developement Corporation yang memiliki wewenang penuh dalam pengembangan kawasan permukiman secara menyeluruh.

Jehansyah Siregar, Pengamat Perumahan dan Permukiman mengungkapkan selama ini peran Perumnas malah semakin kecil dan hanya menjadi lembaga BUMN yang digunakan oleh pemerintah sebagai mesin pembangun.

"Seharusnya perumnas dijadikan sebuah lembaga properti publik yang memiliki wewenang dalam mengelola tanah, infrastruktur, dan juga pembiayaan dalam konsep pembangunan skala kawasan," ujarnya saat dihubungi Bisnis hari ini.

Perumnas, sambungnya, seharusnya memiliki fungsi seperti Housing Developement Boardland di Singapura yang bisa menyediakan dan mengatur perumahan untuk kepentingan publik, komersial, komunitas, dan juga sosial.

Dia menambahkan Perumnas yang telah diberikan kewenangan nantinya akan menjadi pilar utama pengembangan perumahan yang sanggup untuk mengatur kawasan skala besar sekaligus mengeluarkan izin dan aturan pengelolaan tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya. 

Tanah terlantar yang ditarik oleh pemerintah melalui PP No.11 Tahun 2010, juga dapat direalisasikan untuk kepentingan perumahan rakyat melalui Perumnas yang telah direvitalisasi. Perumnas dapat melibatkan pengembang, koperasi, dan kontraktor secara seimbang sesuai peruntukan lahannya.

Nantinya, ungkap Jehansyah pengembang dan organisasi lainnya yang akan mengembangkan perumahan akan ikut aturan main pemerintah. Ini penting untuk menghindari terjadinya penguasaan aset-aset penting perumahan oleh segelintir pihak yang hanya ingin mencari keuntungan. (gak)






Jangka Waktu Hak Pakai Bagi Warga Asing Bisa Bervariasi

JAKARTA (IFT) – Pemerintah dipandang perlu mempersiapkan perangkat regulasi dan kelembagaan khusus yang  mengontrol dan mengatur sistem penyediaan properti bagi warga negara asing (WNA) di Indonesia. Dengan demikian, dibukanya keran kepemilikan properti ini tidak memicu terjadinya liberalisasi perumahan.

Jehansyah Siregar, Pakar Perumahan dan Permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan pemberian hak pakai (lease hold) properti dengan jangka waktu tertentu harus ditetapkan bervariasi dengan pilihan jangka waktu penghunian dengan mempertimbangkan status warga negara asing biasa atau yang bervisa khusus.  Dengan mengatur hak pakai dalam jangka yang panjang hingga bisa dipakai generasi kedua dan ketiga, maka sebenarnya sudah seperti hak milik.

“Pengelolaan hak pakai ini memerlukan pengaturan sistem penyediaan terutama lembaga pengelolanya. Ini hal penting yang jangan diabaikan pemerintah,” ungkapnya di Jakarta, Senin.

Dia menjelaskan peran pengelolaan ini harus dijalankan satu perusahaaan properti publik yang memiliki kemampuan untuk menyediakan, mengelola bangunan hingga pengendalian hunian properti bagi orang asing.
Peran kontrol ini, tandas Jehansyah, tidak bisa dijalankan Badan Pertanahan Nasional (BPN)yang mengelola administrasi tanah.  “Tidak juga dapat diserahkan langsung kepada pengembang. Pengelolaan sebaiknya dilakukan pemerintah melalui perusahaan pengembang yang memiliki pengalaman mengelola penjualan properti,” jelasnya.

Di Singapura, hak pakai diberikan untuk warga negaranya maupun warga asing selama 99 tahun. Pemberian  hak pakai itu dilakukan satu lembaga publik di bidang perumahan yang sangat kuat yakni Housing Development Board (HDB).

“Di Indonesia, HDB itu sama seperti Perumnas. Lembaga ini menjadi otoritas yang mengeluarkan hak pakai, membeli kembali properti yang hendak dijual, mencari pembeli baru, dan pengendalian land bank,” paparnya.

Revitalisasi Perumnas

Karena itu, dia mendorong revitalisasi Perumnas menjadi National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC) seperti  halnya HDB di Singapura, KNHC di Korea Selatan atau Urban Renaissance Agency di Jepang.

Sedangkan peran pengembang swasta (developer) dapat dilibatkan setelah NHUDC terbentuk. Lewat otoritas perumahan ini  pengembang swasta akan didaftar, diawasi dan dikendalikan praktek bisnisnya, termasuk praktek pembangunan hunian bagi orang asing. Dengan begitu, kebijakan regulasi kepemilikan properti bagi WNA tidak justru kebablasan dan akhirnya merugikan kepentingan nasional di masa mendatang.

Semula HDB di Singapura dibentuk untuk mengatasi kebutuhan rumah murah bagi 30.000 warga Singapura yang tinggal di kawasan kumuh. Tetapi kemudian lembaga ini terus dikembangkan dan diberi wewenang luas untuk merencanakan, membangun dan mengatur menajemen perumahan terutama hunian vertikal (apartemen) termasuk bagi warga negara asing. Selain itu, HDB mengelola penjualan unit, penyewaan unit dan manajemen  pasca-huni.

Ali Wongso Sinaga, anggota Komisi V DPR RI sependapat pembentukan otoritas perumahan seperti HDB di Singapura patut dicontoh Indonesia. Lembaga itu mampu berkontribusi hingga 82% dari total pembangunan rumah di negeri singa tersebut.

“Saya setuju ada lembaga yang diberi wewenang besar oleh pemerintah untuk mengelola pembangunan dan pengelolaan perumahan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Jadi jangan diserahkan kepada pasar sepenuhnya,” ungkapnya, Senin.

Dibukannya keran kepemilikan properti bagi orang asing makin mulus dengan masuknya klausul tersebut dalam Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat akhir tahun lalu.  Di pasal 52  dinyatakan orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai. Regulasi ini hanya tinggal menunggu peraturan pemerintah (PP) yang mengatur tentang jangka waktu hak pakai.

Menurut Departemen Riset  IFT, emiten properti yang mempunyai proyek di lokasi pusat bisnis (central business district /CBD)  dan lokasi strategis dengan infrastruktur memadai akan mendapat keuntungan dengan rencana pemerintah membuka kepemilikan properti oleh asing.

Emiten-emiten yang akan diuntungkan oleh regulasi ini adalah emiten-emiten yang membangun dan menjual rumah dan apartemen atau kondominium seperti PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY), dan PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR).

Muhammad Rinaldi, David Manurung

------------------------------------------------------------------------
RALAT - tidak ada saya katakan 99 tahun utk WN Asing di Singapura, yang ada 35 tahun di bawah kendali HDB, seperti penjelasan sebelumnya - MJS
------------------------------------------------------------------------

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/3225/Jangka-Waktu-Hak-Pakai-Bagi-Warga-Asing-Bisa-Bervariasi

Senin, 21 Februari 2011

RUU Rusun Picu Polemik

RUU Rusun Picu Polemik
Ancaman liberalisasi dinilai tak masuk akal

18 Feb 2011
  • Bisnis Indonesia
  • Ekonomi

OLEH YUSUF WALUYO JATI Bisnis Indonesia

JAKARTA RUU tentang Rumah Susun yang sedang dimatangkan pemerintah dan DPR mulai menuai polemik. Setelah memicu resis-tansi dari para praktisi dan pemerhati perumahan, kini giliran pengembang buka suara.

Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) F. Teguh Satria kepada Bisnis mengatakan telaah kritis atas RUU Rusun tak dilakukan pada porsi yang tepat karena para kritikus dinilai kurang memahami substansi masalah terutama yang berkaitan dengan definisi rumah susun.

REI, jelasnya, juga menolak anggapan pembahasan RUU Rusun mengubah substansi UU No. 16/1985 tentang Rusun sehingga pokok pembahasan dituding kian melebar.
"Substansi mana yang berubah? Kalau definisi rusun yangberubah bisa dibenarkan karena zaman juga berubah. Definisi rusun tak cukup sekadar hunian bertingkat bagi masyarakat berpenghasilan rendah lapi juga menyangkut apartemen, kondominium, mal hingga perkantoran," jelasnya, kemarin.

Dengan meningkatnya kebutuhan bangunan bertingkat di kota-kota besar, lanjutnya, DPR mengambil inisiatif menggulirkan pembaruan atas UU No. 16/1985 tentang Rusun karena dinilai telah kedaluwarsa.

"UU lama tak mengakomodasi model hunian bertingkat yang sudah berkembang. Karena itu, kami mendukung sepenuhnya pembahasan RUU Rusun," kata Teguh.
Sebelumnya, Ketua- Umum Aperssi (Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia) Ibnu Tadji mengkritik pembahasan RUU Rusun hanya mempertajam masalah kepemilikan orang asing dan menjamin keuntungan pengembang. Dengan alasan itu, dia menduga ada peran pihak tertentu yang hanya melihat masalah rusun dari satu sudut kepentingan ekonomi. {Bisnis, 16 Februari)

Pemerhati Perumahan dari Ins-titut "teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar meyakini kepemilikan asing justru bisa menggiring sektor properti ke arah liberalisasi karena lembaga perumahan di Indonesia dinilai masih lemah sehingga tak ada regulasi yang dapat mengontrol asing mendominasi kepemilikan properti di Indonesia.

Karena itu, para kritikus mendesak agar DPR menunda pengesahan RUU Rusun dan menghentikan pembahasan sepihak dengan pemerintah serta mengkaji ulang seluruh substansinya seraya melibatkan pemikiran dari berbagai pihak yang berkompeten soal rusun dengan saksama.

Tak rasional
Menurut Teguh, ancaman terjadinya liberalisasi di sektor properti dinilai sebagai alasan yang tak rasional mengingat masalah kepemilikan properti bagi orang asing bukan hal baru. Indonesia bahkan telah lebih dahulu mengaturnya dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Di dalam UU tersebut ditegaskan hunian vertikal boleh dibangun di atas tanah dengan hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai. Jika hunian vertikal itu dibangun di atas tanah dengan HGB, warga negara asing dilarang memiliki. REI, ujarnya, juga tak sependapat jika sistem lembaga perumahan di Indonesia dianggap lemah karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Perumahan Rakyat merupakan institusi yang cukup merepresentasikan kekuatan negara sebagai regulator di bidang perumahan dan permukiman.

"Kalau dikatakan RUU ini bisa melahirkan liberalisasi gara-gara institusi negara dianggap lemah, itu tidak mungkin terjadi. Justru kalau kita sadar, 99% perbankan nasional kita sudah dilahap asing," jelasnya.

Teguh menilai penguasaan asing terhadap aset-aset perbankan domestik justru selalu menghantui pertumbuhan sektor properti. Jika kondisi keuangannasional bergejolak, tak mustahil kepemilikan asing di sektor perbankan akan lenyap dalam sekejap sehingga industri properti akan terimbas dampak negatif tersebut.

"Kalau suatu saat ekonomi kita terjerembap ke dalam krisis, modal mereka di perbankan bisa langsung dibawa kabur. Penguasaan mereka atas aset-aset bank nasional justru menjadi modal mereka menguasai sektor-sektor ekonomi strategis," jelasnya.
Sebaliknya, Teguh justru tak yakin asing akan menguasai sektor properti karena asing memang tak berhak memiliki properti.

Pada saat yang sama, jika pemerintah melonggarkan status kepemilikan asing dengan mem-perlama hak pakai, ekonomi negara tak akan terganggu.

"Negara justru akan diuntungkan dari sisi pemasukan pajak. Terlebih, pemerintah akan memperketat status kepemilikan properti asing dengan berbagai syarat seperti batas harga minimum pembelian, masa tinggal, taat pajak, dan statusnya bukan hak milik. Jadi, jangan takut ancaman liberalisasi," jelasnya.
(yusuf, waluyo@bisnis.co.id)

Rabu, 16 Februari 2011

Tunda RUU Rumah Susun

16 Feb 2011
  • Bisnis Indonesia
  • Ekonomi
Tunda RUU Rumah Susun, negara wajib perkuat lembaga perumahan
 
OLEH YUSUF WALUYO JATI Bisnis Indonesia
 
JAKARTA Praktisi dan pemerhati perumahan mendesak agar DPR menunda pengesahan RUU tentanq Rumah Susun pada tahun ini dan mengkaji ulang seluruh substansinya agar tak berdampak buruk bagi kepentingan sektor properti nasional.
Ketua Umum Aperssi (Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia) Ibnu Tadji kepada Bisnis mengatakan RUU yang digagas melalui hak inisiatif DPR tersebut bukannya merevisi UU No. 16/1985 tentang Rusun melainkan mengganti seluruh isi dan filosofi UU tersebut sehingga substansi pembahasan RUU Rusun kian melebar.
 
"Substansi yang dibahas jadi tak terkendali dan melebar hanya pada masalah kepemilikan properti oleh orang asing hingga melegitimasi hegemoni penguasaan (berbagai proyek properti) oleh pengembang. Ini tak bisa dibenarkan dan kami sangat kecewa dengan para penggagas RUU Rusun," katanya, kemarin. Pada awalnya, ungkap Ibnu, Aperssi meminta agar RUU Rusun lebih mempertegas perlindungan dan hak konsumen serta penyesuaian terhadap kebutuhan adanya rusun campuran yang lengkap dengan kompleks pertokoan, perkantoran, dan fasilitas penunjang lain.
 
Dia mengklaim telah menyampaikan berbagai paparan secara sistematis, mulai dari azas kepemilikan individu dan kepemilikan bersama yang merupakan suatu kesatuan fungsi tak terpisahkan, hingga soal kepengurusan persatuan penghuni rumah susun (PPRS). "Kenyataannya, semua itu tak diakomodasi," jelasnya.
 
Aperssi, ujarnya, menduga ada peran pihak tertentu yang hanya melihat rusun dari satu sudut kepentingan ekonomi sehingga para pemangku kebijakan sampai bisa kebablasan dan lupa terhadapfungsi dan tugas pokoknya sebagai pemegang amanah. "Karena itu, kami meminta agar DPR menunda pengesahan RUU Rusun dan menghentikan pembahasan sepihak dengan pemerintah serta mengkaji ulang seluruh substansinya seraya melibatkan pemikiran dari berbagai pihak yang berkompeten soal rusun dengan saksama."
 
 
Perkuat lembaga
 
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar menilai negara wajib memperkuat sistem lembaga perumahan jika ingin memberikan izin dibukanya status kepemilikan asing di sektor properti.
Menurut dia, tanpa adanya lembaga perumahan yang kuat, implementasi kepemilikan asing hanya akan memicu liberalisasi perumahan. Atas dasar itu, RUU Rusun menjadi tak berfungsi optimal melindungi hak-hak konsumen. Jika demikian pengesahannya harus ditunda.
 
Namun, lanjut Jehansyah, agar sistem lembaga perumahan nasional menjadi kuat. Indonesia perlu menyiapkan perangkat peraturan dan kelembagaan untuk bisa mengadopsi kepemilikan properti oleh asing baik sebagai individu maupun organisasi. "Bagaimanapun, kepemilikan properti seperti apartemen oleh asing tidak dapat diberikan dalam bentuk freehold termasuk untuk hak milik strata title di mana ketentuan ini tidak bisa dipisah unit dan bagian tanahnya," jelasnya kemarin.
Menurut dia, status hak milik sifatnya sangat kuat sehingga selama-lamanya tidak bisa digugat lagi bahkan oleh negara. "Tidak ada di dunia ini warga negara asing lebih kuat dibandingkan dengan negara tempat dia menumpang," paparnya.
 
Meski begitu, pemerintah bisa memberikan hak pakai (leasehold/HGB) kepada orang asing dalam jangka yang panjang hingga bisa dipakai generasi kedua dan ketiga. "Sebenarnya, skema ini juga sudah seperti hak milik. Namun, dengan pengaturan hak pakai yang bervariasi negara dapat memberikan pilihan-pilihan jangka waktu hunian," paparnya, (yusuf.waluyo® bisnis.co.id)
 
------------------------------------------------------------------
 
Jehan (tambahan penjelasan) :
 
1. WNA dapat diberi hak pakai (leasehold, HGB). Dengan mengatur hak pakai dalam jangka yang panjang dan bervariasi inilah maka dapat diberi pilihan-pilihan jangka waktu penghunian, baik bagi WNI, WNA dengan visa kerja dll, maupun WNA biasa.
 
2. Untuk mengelola hak pakai unit apartemen (termasuk untuk WNA) ini memerlukan pengaturan sistem penyediaannya, termasuk kelembagaan pengelolanya. Di Singapura, untuk warganya saja bahkan diberikan hak pakai, yaitu hingga 99 tahun. Artinya: 1) Negara tetap harus punya kekuatan mengatur warganya, 2) Umur negara jauh lebih panjang dari usia warganya, bahkan hingga anak-cucu. 3) Manifestasinya adalah sistem kelembagaan publik yang kuat, yaitu Housing Development Board (HDB). Itulah Perumnasnya Singapura, yang mengeluarkan strata title hak pakai hingga 99 tahun untuk WNS dan 35 tahun untuk WNA di sana. Artinya HDB akan tetap ada seumur negara Singapura!
 
3. Solusi untuk Indonesia adalah siapkan dulu sistem kelembagaan publik yang kuat. Peran ini harus dijalankan oleh pengembang publik yang memiliki kemampuan menyediakan dan mengelola bangunan dan kawasan skala besar hingga pula pengendalian penghunian properti oleh WNA. Peran ini tidak bisa dijalankan oleh BPN yang mengelola administrasi tanah dua dimensi. Tidak dapat pula diberikan langsung kepada pengembang, karena ini peran pelat merah. Di sini peran pemerintah nasional melalui pengembang publik seperti Perumnas masih cukup besar untuk memberi model bagi pemerintah kota, terutama metropolitan seperti Jakarta, Surabaya dan Medan.
 
4. Inilah arti penting agenda revitalisasi Perumnas menjadi NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) seperti temannya HDB di Singapura, KNHC di Korea Selatan maupun Urban Renaissance Agency di Jepang. Di atas alas dan pendelegasian BPN di bidang pertanahan yang dua dimensi, NHUDC berperan pula sebagai otoritas negara dalam hal pengendalian pemanfaatan properti bangunan berdimensi tiga. NHUDC juga bertindak sebagai otoritas pengendalian land strata title sebagai tindak lanjut land title dari BPN.
 
5. Peran pengembang swasta dapat dilibatkan pula setelah berkembangnya kapasitas NHUDC. Melalui NHUDC, pengembang swasta didaftar, diawasi dan dikendalikan praktek bisnisnya, termasuk praktek pemberian hak pakai properti berjangka untuk WNA. NHUDC mendaftar dan membina baik perusahaan pengembang maupun perusahaan manajemen bangunan dari kalangan pelaku swasta.
 
Salam,
Jehan

Minggu, 13 Februari 2011

Waspada! RUU Rumah Susun mendorong Liberalisasi Perumahan


DPR bersama Pemerintah kini akan segera mengesahkan Undang-undang Rumah Susun pada tahun ini. Salah satu isu yang mencuat adalah akan dibukanya peluang kepemilikan unit rumah susun dalam bentuk unit apartemen mewah oleh orang asing. Pada pasal 52 RUU ini disebutkan bahwa “Orang asing yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing dapat memiliki sarusun di atas tanah hak pakai atau sarusun tanpa tanah bersama (ayat 1), dan kepemilikan sarusun tersebut dilakukan melalui pembelian tunai”. Pada pasal yang bernomor sama, pasal 52, Undang-undang 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang baru disahkan, juga disebutkan bahwa “Orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai”.
Adanya pasal-pasal ini perlu dikaji kembali dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah. Hal yang menjadi pertanyaan, apakah hak milik bisa diberikan di atas alas hak pakai? Sedangkan UU PKP pasal 52 hanya menyebutkan hak sewa atau hak pakai. Apalagi di tengah lemahnya sistem penyediaan perumahan, dibukanya peluang pemilikan oleh orang asing ini akan mendorong liberalisasi pembangunan properti dan perumahan di tanah air.
Ada beberapa faktor yang melatari pertimbangan ini, yaitu pertama, masih lemahnya peran publik dalam bentuk intervensi pengelolaan sumber-sumber daya kunci seperti tanah, infrastruktur dan pembiayaan, maupun dalam hal pengendalian perijinannya. Kedua, masih belum adanya perangkat UU yang membentuk arsitektur sistem penyediaan perumahan secara komprehensif, seperti belum diaturnya urusan pertelaan (strata title) di dalam UU Strata Title, belum adanya UU Perumahan Publik, UU Properti dan UU Perumahan Sosial dan Pengembangan Komunitas. Ketiga, negara belum memiliki lembaga pelaksana publik yang otoritatif dalam mengendalikan pemanfaatan tanah, infrastruktur maupun bangunannya. Keempat, hak sewa yang selama ini diperoleh orang asing masih memadai, sedangkan kemampuan modal asing sangat besar untuk memiliki jika berada di dalam pasar properti tanah air, sehingga berpotensi menguasai sumberdaya perumahan secara signifikan.
Memang ada upaya untuk meregulasi pengembang swasta dengan sistem kompensasi, yaitu kewajiban alokasi 20 % untuk membangun perumahan rakyat. Namun di dalam prakteknya di masa lampau hingga hari ini secara nyata masihlah jauh dari efektif. Berbagai peraturan hunian berimbang 1-3-6, peraturan kewajiban membangun fasos-fasum, peraturan kewajiban membangun rumah susun sederhana, masih diabaikan. Hingga hari ini masih ada tunggakan besar para pengembang di Jabodetabek untuk membangun fasos-fasum dan rusuna senilai ratusan milyar rupiah.
Tanpa intervensi langsung pemerintah dalam mengendalikan pengembangan lahan, berbagai trik telah dilakukan pengembang untuk terus menghindari kewajibannya tersebut. Di sisi lain, peraturan ini justru membuka peluang korupsi di institusi pemerintah yang memberi ijin dan mengendalikannya. Bukan pengembang atau oknum yang korupsi yang patut dipersalahkan, melainkan instrumen kebijakan dan sistem penyediaannya yang tidak tepatlah masalahnya.

Kerancuan di dalam Undang-undang Rumah Susun
Istilah rumah susun itu pada dasarnya merujuk pada suatu tipologi bangunan sehingga tidak perlu diatur melalui suatu undang-undang. Hal-hal teknis perencanaan, langkah-langkah dan standar rumah susun sudah diatur melalui edaran Kepmen PU, SNI panduan-panduan, dsb.
Jika ada hal-hal yang perlu diatur yang menjadi isu-isu pokok, seperti penghunian apartemen swasta, sistem pertelaan, kepemilikan bersama dan individual, nilai perbandingan proporsional (NPP), perhimpunan penghuni rumah susun, dsb, yang berkaitan dengan kompleksitas masalah hukum pemilikan, pemindahan pemilikan, penyewaan, dsb, semuanya itu di berbagai negara diatur di dalam UU lain, yaitu Undang-undang Properti (Property Law atau Real Estate Law) dan Undang-undang Pertelaan (Strata Land Title Law) yang mengacu pada Undang-undang Pertanahan (Land Title law).
Sedangkan rumah-rumah susun, sebagai tipe bangunan yang dibangun oleh sektor publik untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat, sebaiknya diatur di dalam Undang-undang Perumahan Publik (Public Housing Law). Sedangkan urusan perumahan sosial dan perumahan komunitas hendaknya diatur di dalam satu pumpunan tersendiri dalam urusan sosial (Social Housing and Community Development Law). Pada kondisi suatu negara yang belum mengatur hingga detail masing-masing moda penyediaan perumahan ini (public housing, community housing dan social housing), urusan perumahan secara umum diatur dalam Undang-undang Perumahan (Housing Law).
Begitulah arsitektur undang-undang yang terkait urusan perumahan, properti dan pertanahan, yang meskipun ada kaitan-kaitannya, namun masing-masing memiliki matra tersendiri. Urusan perumahan rakyat (people’s housing) memiliki perspektif dan fokus yang berbeda dengan urusan properti (real estate) dan pertanahan (land administration). Pengaturan ketiga urusan ini secara campur aduk di dalam satu undang-undang akan berakibat kekacauan dan tidak berkembangnya sistem penyediaan perumahan yang merupakan prasyarat tercapainya kebutuhan perumahan bagi seluruh rakyat.
Setelah saya mencoba menelusuri di dokumen NA, ternyata ada kalimat (hal-4) yang mengawali kesalahkaprahan ini hingga ke hilir NA dan dokumen RUU nya, yaitu kalimat ini: Pembangunan perumahan yang tepat dalam mendukung pertumbuhan kota adalah rumah susun. Menurut saya kalimat ini menunjukkan suatu simplifikasi dahsyat dari urusan perumahan rakyat, yang menyebabkan kalimat-kalimat berikutnya menjadi semakin tak menentu apa yang mau dirumuskan dalam draft RUU

Latar Belakang UU Rumah Susun 1985
Melihat latar belakangnya mengapa dulu UU Rusun ini ditetapkan di tahun 1985, menurut saya arah awalnya adalah ingin mengatur pembangunan rumah susun sebagai implementasi kebijakan perumahan umum (public housing).
Di dalam perjalanannya, perkembangan kebijakan perumahan di tanah air mulai menyimpang sejak 1980-an, yaitu antara menempatkan pengembang swasta dan perumnas sebagai pemimpin dalam pengembangan kawasan dan pembangunan perumahan. Hal ini salah satunya dipengaruhi terbitnya Pakto 1983 mengenai deregulasi untuk lebih mendorong iklim investasi. Sepertinya ada kegamangan untuk terus mendorong Perumnas yang kala itu sudah mulai membangun rumah-rumah susun, apakah untuk terus leading sebagai lokomotif pembangunan Perumahan Publik.
Jika kita menilik sejarah pembangunan rumah susun, pada Pelita III (1979-1984) Perumnas sudah membangun 500 unit Rusun dan Pelita IV (1984-1989) membangun pula hingga 4.000 unit. Namun dengan terbitnya UU Rusun tahun 1985 ini, peran Perumnas sebagai penyelenggara Perumahan Umum semakin tidak jelas. Tentunya situasi ini diakibatkan lobi-lobi pengembang swasta melalui REI yang ingin berperan lebih dominan dalam penguasaan lahan, perolehan infrastruktur, termasuk dalam pemanfaatan dana KPR bersubsidi. Akibatnya, pemerintah sebenarnya bingung, bagaimana mengelola rumah-rumah susun yang sudah dan akan terus dibangun ini? Apakah dijual atau disewa saja?
Dalam perjalanannya, UU 16/1985 ini memang lebih banyak dijadikan pedoman justru oleh pengembang swasta dibanding pihak pemerintah. Karena di dalam UU 1985 ini diantaranya diatur urusan pemilikan, penghunian, pengalihan, dan lain-lain yang sebenarnya bukan jadi domain Perumahan Rakyat. Apalagi jika sudah diselenggarakan sistem penyediaan perumahan publik oleh otoritas publik yang akan menerbitkan hak sewa dan hak pakai jangka panjang.
Sedangkan oleh pihak pemerintah UU 16/1985 tentang Rusun ini lebih banyak digunakan semata untuk menjustifikasi proyek-proyek konstruksi Rumah Susun, dan bukan pengembangan Sistem Penyediaan Perumahan Publik sebagai bagian multi-moda housing delivery system. Akhirnya, tanpa suatu kerangka sistem penyediaan, menara-menara rumah susun terus dibangun menggunakan pendekatan proyek tanpa kejelasan kelompok sasaran dan sistem pengelolaannya.

Rumah Susun tanpa Sistem Penyediaan Perumahan Publik
Tanpa dilandasi sistem penyediaan perumahan publik, sebagai akibatnya adalah lahirnya berbagai problematika Rumah Susun Sederhana yang tidak terawat dan berubah menjadi kumuh karena tidak kunjung mampu dikelola dengan baik. Bahkan tidak sedikit Rusuna yang tidak dihuni. Pada gilirannya, pembangunan rumah-rumah susun akhirnya gagal dan justru berubah menjadi monumen-monumen yang menunjukkan wajah keterbelakangan bangsa ini. Rusuna yang sedianya ditujukan sebagai manifestasi masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia, akhirnya tidak mewujud sebagaimana Danchi di kota-kota besar Jepang, Apartments di Singapura sebagai public housing yang dikelola di dalam sistem perumahan publik yang profesional melalui URA dan HDB. 
Kegagalan pembangunan menara-menara Rusuna sebagai tempat tinggal yang nyaman dan layak juga menyebabkan masyarakat miskin kota mendapatkan getahnya sebagai penyebab kekumuhan rumah susun. Mereka sering dipersalahkan karena dipandang tidak tertib, sulit diatur dan tidak memiliki budaya menghuni rumah susun. Sulitnya menyediakan tanah yang sesuai untuk pembangunan Rusunawa di daerah perkotaan, juga bermasalah. Pemerintah nasional selalu mendesak pemerintah daerah dengan peraturan pembagian urusan pusat dan daerah, bahwa perumahan adalah urusan daerah. Pemda harus menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun gedung-gedung rumah susun yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah nasional.
Pola kerjasama yang tidak jelas seperti ini akhirnya menyebabkan pemda-pemda sendiri sulit melepas tanah miliknya yang terbatas untuk pembangunan rumah susun. Mengapa? Karena menyerahkan aset daerah untuk dikelola di dalam proyek-proyek pemerintah nasional tidak bisa dilakukan begitu saja. Pada gilirannya, Pemda-pemda yang telah menyetujui tanahnya dibangunkan rumah susun dari pusat tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan anggaran pengelolaan rumah susun dari DPRD setempat. Mengapa? Karena bangunan rumah susun dibiayai anggaran APBN, sedangkan APBD tidak boleh membiayai aset nasional, meskipun berada di atas tanah milik daerah. Aset nasional juga tidak diperkenankan untuk diserahkan ke daerah.
Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik, dan pemerintah daerah merasa jera untuk menyerahkan tanahnya yang lain lagi. Alih-alih berkembang menjadi aset publik yang terus meningkat kualitasnya dan menjadi solusi beragam masalah sosial-ekonomi-lingkungan kota, rumah-rumah susun malah akhirnya turut menambah masalah sosial-ekonomi-lingkungan yang sudah ada.
Untuk tetap menjaga kinerjanya, akhirnya pemerintah nasional mengucurkan paket-paket rumah susun untuk mendapatkan sasarannya di lahan-lahan milik perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain. Kelompok sasaran, kejelasan instansi, dan kesanggupan mengelola menjadi faktor-faktor favorit untuk memilih lahan-lahan ini. Akhirnya terjadilah salah sasaran. Bagaimanapun mahasiswa bukanlah kelompok prioritas sasaran penyediaan perumahan rakyat dan melanggar justifikasi prioritisasi program.

Kaji kembali UU Rumah Susun sebagai UU Perumahan Umum
Untuk menghindari kerancuan dan beragam problematika rumah susun tersebut, sebaiknya RUU Rumah Susun ini dikaji kembali, dengan tujuan untuk menata peran-peran publik, swasta dan masyarakat secara berkeadilan untuk mencapai terpenuhinya perumahan layak bagi seluruh rakyat. Untuk itu UU ini sebaiknya diberi judul Undang-undang Perumahan Umum (UU Perumahan Publik).
Dengan adanya UU Perumahan Publik maka akan terjamin tegaknya sistem penyediaan perumahan secara komprehensif, dimana didirikanlah Otoritas Publik yang akan memimpin para pelaku lain dalam pengembangan kawasan permukiman dan pembangunan kota. Dengan adanya otoritas publik dalam bentuk BUMN atau BUMD yang profesional dan akuntabel (sebagaimana HDB di Singapura, Otoritas Iskandar di Malaysia, NHA di Thailand, KNHC di Korea atau URA di Jepang), maka badan ini dapat mengelola dan memberi model untuk urusan-urusan pertelaan (strata title), perhimpunan penghuni, manajemen bangunan dan kawasan, secara terencana dan terukur.
Kita ketahui bahwa di negara tetangga Singapura pemerintahnya menerbitkan strata title yang bisa memberikan hak pakai jangka panjang. Yaitu hak pakai hingga 99 tahun untuk warga Singapura dan 35 tahun untuk warga asing. Namun kita jangan hanya melihat sistem strata title itu saja, tanpa melihat bahwa negara tersebut sudah pula membangun public housing delivery system untuk itu, yaitu adanya HDB sebagai BUMN yang kuat dan profesional dan adanya UU Pertelaan (Strata Land Title Act) yang disusun berdasarkan praktek-praktek public housing oleh HDB.
Dengan demikian Indonesia juga harus membangun sistem penyediaan perumahan yang sama, yaitu melalui diterbitkannya UU Perumahan Publik, dimana dijamin tegaknya sistem penyediaan yang profesional dan menjamin ketahanan dan kepentingan bangsa dan keadilan bagi seluruh rakyat. Selanjutnya, untuk melengkapi UU PKP dan UU Perumahan Publik, serta untuk semakin memantapkan pengaturan moda-moda penyediaan perumahan lainnya, menyusul perlu dibuat pula UU Properti/Real Estat, UU Pertelaan, dan UU Perumahan Sosial dan Pengembangan Komunitas.

***