Rabu, 16 Februari 2011

Tunda RUU Rumah Susun

16 Feb 2011
  • Bisnis Indonesia
  • Ekonomi
Tunda RUU Rumah Susun, negara wajib perkuat lembaga perumahan
 
OLEH YUSUF WALUYO JATI Bisnis Indonesia
 
JAKARTA Praktisi dan pemerhati perumahan mendesak agar DPR menunda pengesahan RUU tentanq Rumah Susun pada tahun ini dan mengkaji ulang seluruh substansinya agar tak berdampak buruk bagi kepentingan sektor properti nasional.
Ketua Umum Aperssi (Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia) Ibnu Tadji kepada Bisnis mengatakan RUU yang digagas melalui hak inisiatif DPR tersebut bukannya merevisi UU No. 16/1985 tentang Rusun melainkan mengganti seluruh isi dan filosofi UU tersebut sehingga substansi pembahasan RUU Rusun kian melebar.
 
"Substansi yang dibahas jadi tak terkendali dan melebar hanya pada masalah kepemilikan properti oleh orang asing hingga melegitimasi hegemoni penguasaan (berbagai proyek properti) oleh pengembang. Ini tak bisa dibenarkan dan kami sangat kecewa dengan para penggagas RUU Rusun," katanya, kemarin. Pada awalnya, ungkap Ibnu, Aperssi meminta agar RUU Rusun lebih mempertegas perlindungan dan hak konsumen serta penyesuaian terhadap kebutuhan adanya rusun campuran yang lengkap dengan kompleks pertokoan, perkantoran, dan fasilitas penunjang lain.
 
Dia mengklaim telah menyampaikan berbagai paparan secara sistematis, mulai dari azas kepemilikan individu dan kepemilikan bersama yang merupakan suatu kesatuan fungsi tak terpisahkan, hingga soal kepengurusan persatuan penghuni rumah susun (PPRS). "Kenyataannya, semua itu tak diakomodasi," jelasnya.
 
Aperssi, ujarnya, menduga ada peran pihak tertentu yang hanya melihat rusun dari satu sudut kepentingan ekonomi sehingga para pemangku kebijakan sampai bisa kebablasan dan lupa terhadapfungsi dan tugas pokoknya sebagai pemegang amanah. "Karena itu, kami meminta agar DPR menunda pengesahan RUU Rusun dan menghentikan pembahasan sepihak dengan pemerintah serta mengkaji ulang seluruh substansinya seraya melibatkan pemikiran dari berbagai pihak yang berkompeten soal rusun dengan saksama."
 
 
Perkuat lembaga
 
Pakar perumahan dan permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar menilai negara wajib memperkuat sistem lembaga perumahan jika ingin memberikan izin dibukanya status kepemilikan asing di sektor properti.
Menurut dia, tanpa adanya lembaga perumahan yang kuat, implementasi kepemilikan asing hanya akan memicu liberalisasi perumahan. Atas dasar itu, RUU Rusun menjadi tak berfungsi optimal melindungi hak-hak konsumen. Jika demikian pengesahannya harus ditunda.
 
Namun, lanjut Jehansyah, agar sistem lembaga perumahan nasional menjadi kuat. Indonesia perlu menyiapkan perangkat peraturan dan kelembagaan untuk bisa mengadopsi kepemilikan properti oleh asing baik sebagai individu maupun organisasi. "Bagaimanapun, kepemilikan properti seperti apartemen oleh asing tidak dapat diberikan dalam bentuk freehold termasuk untuk hak milik strata title di mana ketentuan ini tidak bisa dipisah unit dan bagian tanahnya," jelasnya kemarin.
Menurut dia, status hak milik sifatnya sangat kuat sehingga selama-lamanya tidak bisa digugat lagi bahkan oleh negara. "Tidak ada di dunia ini warga negara asing lebih kuat dibandingkan dengan negara tempat dia menumpang," paparnya.
 
Meski begitu, pemerintah bisa memberikan hak pakai (leasehold/HGB) kepada orang asing dalam jangka yang panjang hingga bisa dipakai generasi kedua dan ketiga. "Sebenarnya, skema ini juga sudah seperti hak milik. Namun, dengan pengaturan hak pakai yang bervariasi negara dapat memberikan pilihan-pilihan jangka waktu hunian," paparnya, (yusuf.waluyo® bisnis.co.id)
 
------------------------------------------------------------------
 
Jehan (tambahan penjelasan) :
 
1. WNA dapat diberi hak pakai (leasehold, HGB). Dengan mengatur hak pakai dalam jangka yang panjang dan bervariasi inilah maka dapat diberi pilihan-pilihan jangka waktu penghunian, baik bagi WNI, WNA dengan visa kerja dll, maupun WNA biasa.
 
2. Untuk mengelola hak pakai unit apartemen (termasuk untuk WNA) ini memerlukan pengaturan sistem penyediaannya, termasuk kelembagaan pengelolanya. Di Singapura, untuk warganya saja bahkan diberikan hak pakai, yaitu hingga 99 tahun. Artinya: 1) Negara tetap harus punya kekuatan mengatur warganya, 2) Umur negara jauh lebih panjang dari usia warganya, bahkan hingga anak-cucu. 3) Manifestasinya adalah sistem kelembagaan publik yang kuat, yaitu Housing Development Board (HDB). Itulah Perumnasnya Singapura, yang mengeluarkan strata title hak pakai hingga 99 tahun untuk WNS dan 35 tahun untuk WNA di sana. Artinya HDB akan tetap ada seumur negara Singapura!
 
3. Solusi untuk Indonesia adalah siapkan dulu sistem kelembagaan publik yang kuat. Peran ini harus dijalankan oleh pengembang publik yang memiliki kemampuan menyediakan dan mengelola bangunan dan kawasan skala besar hingga pula pengendalian penghunian properti oleh WNA. Peran ini tidak bisa dijalankan oleh BPN yang mengelola administrasi tanah dua dimensi. Tidak dapat pula diberikan langsung kepada pengembang, karena ini peran pelat merah. Di sini peran pemerintah nasional melalui pengembang publik seperti Perumnas masih cukup besar untuk memberi model bagi pemerintah kota, terutama metropolitan seperti Jakarta, Surabaya dan Medan.
 
4. Inilah arti penting agenda revitalisasi Perumnas menjadi NHUDC (National Housing and Urban Development Corporation) seperti temannya HDB di Singapura, KNHC di Korea Selatan maupun Urban Renaissance Agency di Jepang. Di atas alas dan pendelegasian BPN di bidang pertanahan yang dua dimensi, NHUDC berperan pula sebagai otoritas negara dalam hal pengendalian pemanfaatan properti bangunan berdimensi tiga. NHUDC juga bertindak sebagai otoritas pengendalian land strata title sebagai tindak lanjut land title dari BPN.
 
5. Peran pengembang swasta dapat dilibatkan pula setelah berkembangnya kapasitas NHUDC. Melalui NHUDC, pengembang swasta didaftar, diawasi dan dikendalikan praktek bisnisnya, termasuk praktek pemberian hak pakai properti berjangka untuk WNA. NHUDC mendaftar dan membina baik perusahaan pengembang maupun perusahaan manajemen bangunan dari kalangan pelaku swasta.
 
Salam,
Jehan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar