Minggu, 13 Februari 2011

Waspada! RUU Rumah Susun mendorong Liberalisasi Perumahan


DPR bersama Pemerintah kini akan segera mengesahkan Undang-undang Rumah Susun pada tahun ini. Salah satu isu yang mencuat adalah akan dibukanya peluang kepemilikan unit rumah susun dalam bentuk unit apartemen mewah oleh orang asing. Pada pasal 52 RUU ini disebutkan bahwa “Orang asing yang berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing dapat memiliki sarusun di atas tanah hak pakai atau sarusun tanpa tanah bersama (ayat 1), dan kepemilikan sarusun tersebut dilakukan melalui pembelian tunai”. Pada pasal yang bernomor sama, pasal 52, Undang-undang 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang baru disahkan, juga disebutkan bahwa “Orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai”.
Adanya pasal-pasal ini perlu dikaji kembali dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah. Hal yang menjadi pertanyaan, apakah hak milik bisa diberikan di atas alas hak pakai? Sedangkan UU PKP pasal 52 hanya menyebutkan hak sewa atau hak pakai. Apalagi di tengah lemahnya sistem penyediaan perumahan, dibukanya peluang pemilikan oleh orang asing ini akan mendorong liberalisasi pembangunan properti dan perumahan di tanah air.
Ada beberapa faktor yang melatari pertimbangan ini, yaitu pertama, masih lemahnya peran publik dalam bentuk intervensi pengelolaan sumber-sumber daya kunci seperti tanah, infrastruktur dan pembiayaan, maupun dalam hal pengendalian perijinannya. Kedua, masih belum adanya perangkat UU yang membentuk arsitektur sistem penyediaan perumahan secara komprehensif, seperti belum diaturnya urusan pertelaan (strata title) di dalam UU Strata Title, belum adanya UU Perumahan Publik, UU Properti dan UU Perumahan Sosial dan Pengembangan Komunitas. Ketiga, negara belum memiliki lembaga pelaksana publik yang otoritatif dalam mengendalikan pemanfaatan tanah, infrastruktur maupun bangunannya. Keempat, hak sewa yang selama ini diperoleh orang asing masih memadai, sedangkan kemampuan modal asing sangat besar untuk memiliki jika berada di dalam pasar properti tanah air, sehingga berpotensi menguasai sumberdaya perumahan secara signifikan.
Memang ada upaya untuk meregulasi pengembang swasta dengan sistem kompensasi, yaitu kewajiban alokasi 20 % untuk membangun perumahan rakyat. Namun di dalam prakteknya di masa lampau hingga hari ini secara nyata masihlah jauh dari efektif. Berbagai peraturan hunian berimbang 1-3-6, peraturan kewajiban membangun fasos-fasum, peraturan kewajiban membangun rumah susun sederhana, masih diabaikan. Hingga hari ini masih ada tunggakan besar para pengembang di Jabodetabek untuk membangun fasos-fasum dan rusuna senilai ratusan milyar rupiah.
Tanpa intervensi langsung pemerintah dalam mengendalikan pengembangan lahan, berbagai trik telah dilakukan pengembang untuk terus menghindari kewajibannya tersebut. Di sisi lain, peraturan ini justru membuka peluang korupsi di institusi pemerintah yang memberi ijin dan mengendalikannya. Bukan pengembang atau oknum yang korupsi yang patut dipersalahkan, melainkan instrumen kebijakan dan sistem penyediaannya yang tidak tepatlah masalahnya.

Kerancuan di dalam Undang-undang Rumah Susun
Istilah rumah susun itu pada dasarnya merujuk pada suatu tipologi bangunan sehingga tidak perlu diatur melalui suatu undang-undang. Hal-hal teknis perencanaan, langkah-langkah dan standar rumah susun sudah diatur melalui edaran Kepmen PU, SNI panduan-panduan, dsb.
Jika ada hal-hal yang perlu diatur yang menjadi isu-isu pokok, seperti penghunian apartemen swasta, sistem pertelaan, kepemilikan bersama dan individual, nilai perbandingan proporsional (NPP), perhimpunan penghuni rumah susun, dsb, yang berkaitan dengan kompleksitas masalah hukum pemilikan, pemindahan pemilikan, penyewaan, dsb, semuanya itu di berbagai negara diatur di dalam UU lain, yaitu Undang-undang Properti (Property Law atau Real Estate Law) dan Undang-undang Pertelaan (Strata Land Title Law) yang mengacu pada Undang-undang Pertanahan (Land Title law).
Sedangkan rumah-rumah susun, sebagai tipe bangunan yang dibangun oleh sektor publik untuk memenuhi kebutuhan perumahan rakyat, sebaiknya diatur di dalam Undang-undang Perumahan Publik (Public Housing Law). Sedangkan urusan perumahan sosial dan perumahan komunitas hendaknya diatur di dalam satu pumpunan tersendiri dalam urusan sosial (Social Housing and Community Development Law). Pada kondisi suatu negara yang belum mengatur hingga detail masing-masing moda penyediaan perumahan ini (public housing, community housing dan social housing), urusan perumahan secara umum diatur dalam Undang-undang Perumahan (Housing Law).
Begitulah arsitektur undang-undang yang terkait urusan perumahan, properti dan pertanahan, yang meskipun ada kaitan-kaitannya, namun masing-masing memiliki matra tersendiri. Urusan perumahan rakyat (people’s housing) memiliki perspektif dan fokus yang berbeda dengan urusan properti (real estate) dan pertanahan (land administration). Pengaturan ketiga urusan ini secara campur aduk di dalam satu undang-undang akan berakibat kekacauan dan tidak berkembangnya sistem penyediaan perumahan yang merupakan prasyarat tercapainya kebutuhan perumahan bagi seluruh rakyat.
Setelah saya mencoba menelusuri di dokumen NA, ternyata ada kalimat (hal-4) yang mengawali kesalahkaprahan ini hingga ke hilir NA dan dokumen RUU nya, yaitu kalimat ini: Pembangunan perumahan yang tepat dalam mendukung pertumbuhan kota adalah rumah susun. Menurut saya kalimat ini menunjukkan suatu simplifikasi dahsyat dari urusan perumahan rakyat, yang menyebabkan kalimat-kalimat berikutnya menjadi semakin tak menentu apa yang mau dirumuskan dalam draft RUU

Latar Belakang UU Rumah Susun 1985
Melihat latar belakangnya mengapa dulu UU Rusun ini ditetapkan di tahun 1985, menurut saya arah awalnya adalah ingin mengatur pembangunan rumah susun sebagai implementasi kebijakan perumahan umum (public housing).
Di dalam perjalanannya, perkembangan kebijakan perumahan di tanah air mulai menyimpang sejak 1980-an, yaitu antara menempatkan pengembang swasta dan perumnas sebagai pemimpin dalam pengembangan kawasan dan pembangunan perumahan. Hal ini salah satunya dipengaruhi terbitnya Pakto 1983 mengenai deregulasi untuk lebih mendorong iklim investasi. Sepertinya ada kegamangan untuk terus mendorong Perumnas yang kala itu sudah mulai membangun rumah-rumah susun, apakah untuk terus leading sebagai lokomotif pembangunan Perumahan Publik.
Jika kita menilik sejarah pembangunan rumah susun, pada Pelita III (1979-1984) Perumnas sudah membangun 500 unit Rusun dan Pelita IV (1984-1989) membangun pula hingga 4.000 unit. Namun dengan terbitnya UU Rusun tahun 1985 ini, peran Perumnas sebagai penyelenggara Perumahan Umum semakin tidak jelas. Tentunya situasi ini diakibatkan lobi-lobi pengembang swasta melalui REI yang ingin berperan lebih dominan dalam penguasaan lahan, perolehan infrastruktur, termasuk dalam pemanfaatan dana KPR bersubsidi. Akibatnya, pemerintah sebenarnya bingung, bagaimana mengelola rumah-rumah susun yang sudah dan akan terus dibangun ini? Apakah dijual atau disewa saja?
Dalam perjalanannya, UU 16/1985 ini memang lebih banyak dijadikan pedoman justru oleh pengembang swasta dibanding pihak pemerintah. Karena di dalam UU 1985 ini diantaranya diatur urusan pemilikan, penghunian, pengalihan, dan lain-lain yang sebenarnya bukan jadi domain Perumahan Rakyat. Apalagi jika sudah diselenggarakan sistem penyediaan perumahan publik oleh otoritas publik yang akan menerbitkan hak sewa dan hak pakai jangka panjang.
Sedangkan oleh pihak pemerintah UU 16/1985 tentang Rusun ini lebih banyak digunakan semata untuk menjustifikasi proyek-proyek konstruksi Rumah Susun, dan bukan pengembangan Sistem Penyediaan Perumahan Publik sebagai bagian multi-moda housing delivery system. Akhirnya, tanpa suatu kerangka sistem penyediaan, menara-menara rumah susun terus dibangun menggunakan pendekatan proyek tanpa kejelasan kelompok sasaran dan sistem pengelolaannya.

Rumah Susun tanpa Sistem Penyediaan Perumahan Publik
Tanpa dilandasi sistem penyediaan perumahan publik, sebagai akibatnya adalah lahirnya berbagai problematika Rumah Susun Sederhana yang tidak terawat dan berubah menjadi kumuh karena tidak kunjung mampu dikelola dengan baik. Bahkan tidak sedikit Rusuna yang tidak dihuni. Pada gilirannya, pembangunan rumah-rumah susun akhirnya gagal dan justru berubah menjadi monumen-monumen yang menunjukkan wajah keterbelakangan bangsa ini. Rusuna yang sedianya ditujukan sebagai manifestasi masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia, akhirnya tidak mewujud sebagaimana Danchi di kota-kota besar Jepang, Apartments di Singapura sebagai public housing yang dikelola di dalam sistem perumahan publik yang profesional melalui URA dan HDB. 
Kegagalan pembangunan menara-menara Rusuna sebagai tempat tinggal yang nyaman dan layak juga menyebabkan masyarakat miskin kota mendapatkan getahnya sebagai penyebab kekumuhan rumah susun. Mereka sering dipersalahkan karena dipandang tidak tertib, sulit diatur dan tidak memiliki budaya menghuni rumah susun. Sulitnya menyediakan tanah yang sesuai untuk pembangunan Rusunawa di daerah perkotaan, juga bermasalah. Pemerintah nasional selalu mendesak pemerintah daerah dengan peraturan pembagian urusan pusat dan daerah, bahwa perumahan adalah urusan daerah. Pemda harus menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun gedung-gedung rumah susun yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah nasional.
Pola kerjasama yang tidak jelas seperti ini akhirnya menyebabkan pemda-pemda sendiri sulit melepas tanah miliknya yang terbatas untuk pembangunan rumah susun. Mengapa? Karena menyerahkan aset daerah untuk dikelola di dalam proyek-proyek pemerintah nasional tidak bisa dilakukan begitu saja. Pada gilirannya, Pemda-pemda yang telah menyetujui tanahnya dibangunkan rumah susun dari pusat tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan persetujuan anggaran pengelolaan rumah susun dari DPRD setempat. Mengapa? Karena bangunan rumah susun dibiayai anggaran APBN, sedangkan APBD tidak boleh membiayai aset nasional, meskipun berada di atas tanah milik daerah. Aset nasional juga tidak diperkenankan untuk diserahkan ke daerah.
Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik, dan pemerintah daerah merasa jera untuk menyerahkan tanahnya yang lain lagi. Alih-alih berkembang menjadi aset publik yang terus meningkat kualitasnya dan menjadi solusi beragam masalah sosial-ekonomi-lingkungan kota, rumah-rumah susun malah akhirnya turut menambah masalah sosial-ekonomi-lingkungan yang sudah ada.
Untuk tetap menjaga kinerjanya, akhirnya pemerintah nasional mengucurkan paket-paket rumah susun untuk mendapatkan sasarannya di lahan-lahan milik perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain. Kelompok sasaran, kejelasan instansi, dan kesanggupan mengelola menjadi faktor-faktor favorit untuk memilih lahan-lahan ini. Akhirnya terjadilah salah sasaran. Bagaimanapun mahasiswa bukanlah kelompok prioritas sasaran penyediaan perumahan rakyat dan melanggar justifikasi prioritisasi program.

Kaji kembali UU Rumah Susun sebagai UU Perumahan Umum
Untuk menghindari kerancuan dan beragam problematika rumah susun tersebut, sebaiknya RUU Rumah Susun ini dikaji kembali, dengan tujuan untuk menata peran-peran publik, swasta dan masyarakat secara berkeadilan untuk mencapai terpenuhinya perumahan layak bagi seluruh rakyat. Untuk itu UU ini sebaiknya diberi judul Undang-undang Perumahan Umum (UU Perumahan Publik).
Dengan adanya UU Perumahan Publik maka akan terjamin tegaknya sistem penyediaan perumahan secara komprehensif, dimana didirikanlah Otoritas Publik yang akan memimpin para pelaku lain dalam pengembangan kawasan permukiman dan pembangunan kota. Dengan adanya otoritas publik dalam bentuk BUMN atau BUMD yang profesional dan akuntabel (sebagaimana HDB di Singapura, Otoritas Iskandar di Malaysia, NHA di Thailand, KNHC di Korea atau URA di Jepang), maka badan ini dapat mengelola dan memberi model untuk urusan-urusan pertelaan (strata title), perhimpunan penghuni, manajemen bangunan dan kawasan, secara terencana dan terukur.
Kita ketahui bahwa di negara tetangga Singapura pemerintahnya menerbitkan strata title yang bisa memberikan hak pakai jangka panjang. Yaitu hak pakai hingga 99 tahun untuk warga Singapura dan 35 tahun untuk warga asing. Namun kita jangan hanya melihat sistem strata title itu saja, tanpa melihat bahwa negara tersebut sudah pula membangun public housing delivery system untuk itu, yaitu adanya HDB sebagai BUMN yang kuat dan profesional dan adanya UU Pertelaan (Strata Land Title Act) yang disusun berdasarkan praktek-praktek public housing oleh HDB.
Dengan demikian Indonesia juga harus membangun sistem penyediaan perumahan yang sama, yaitu melalui diterbitkannya UU Perumahan Publik, dimana dijamin tegaknya sistem penyediaan yang profesional dan menjamin ketahanan dan kepentingan bangsa dan keadilan bagi seluruh rakyat. Selanjutnya, untuk melengkapi UU PKP dan UU Perumahan Publik, serta untuk semakin memantapkan pengaturan moda-moda penyediaan perumahan lainnya, menyusul perlu dibuat pula UU Properti/Real Estat, UU Pertelaan, dan UU Perumahan Sosial dan Pengembangan Komunitas.

***





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar