Senin, 21 Februari 2011

RUU Rusun Picu Polemik

RUU Rusun Picu Polemik
Ancaman liberalisasi dinilai tak masuk akal

18 Feb 2011
  • Bisnis Indonesia
  • Ekonomi

OLEH YUSUF WALUYO JATI Bisnis Indonesia

JAKARTA RUU tentang Rumah Susun yang sedang dimatangkan pemerintah dan DPR mulai menuai polemik. Setelah memicu resis-tansi dari para praktisi dan pemerhati perumahan, kini giliran pengembang buka suara.

Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) F. Teguh Satria kepada Bisnis mengatakan telaah kritis atas RUU Rusun tak dilakukan pada porsi yang tepat karena para kritikus dinilai kurang memahami substansi masalah terutama yang berkaitan dengan definisi rumah susun.

REI, jelasnya, juga menolak anggapan pembahasan RUU Rusun mengubah substansi UU No. 16/1985 tentang Rusun sehingga pokok pembahasan dituding kian melebar.
"Substansi mana yang berubah? Kalau definisi rusun yangberubah bisa dibenarkan karena zaman juga berubah. Definisi rusun tak cukup sekadar hunian bertingkat bagi masyarakat berpenghasilan rendah lapi juga menyangkut apartemen, kondominium, mal hingga perkantoran," jelasnya, kemarin.

Dengan meningkatnya kebutuhan bangunan bertingkat di kota-kota besar, lanjutnya, DPR mengambil inisiatif menggulirkan pembaruan atas UU No. 16/1985 tentang Rusun karena dinilai telah kedaluwarsa.

"UU lama tak mengakomodasi model hunian bertingkat yang sudah berkembang. Karena itu, kami mendukung sepenuhnya pembahasan RUU Rusun," kata Teguh.
Sebelumnya, Ketua- Umum Aperssi (Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia) Ibnu Tadji mengkritik pembahasan RUU Rusun hanya mempertajam masalah kepemilikan orang asing dan menjamin keuntungan pengembang. Dengan alasan itu, dia menduga ada peran pihak tertentu yang hanya melihat masalah rusun dari satu sudut kepentingan ekonomi. {Bisnis, 16 Februari)

Pemerhati Perumahan dari Ins-titut "teknologi Bandung (ITB) M. Jehansyah Siregar meyakini kepemilikan asing justru bisa menggiring sektor properti ke arah liberalisasi karena lembaga perumahan di Indonesia dinilai masih lemah sehingga tak ada regulasi yang dapat mengontrol asing mendominasi kepemilikan properti di Indonesia.

Karena itu, para kritikus mendesak agar DPR menunda pengesahan RUU Rusun dan menghentikan pembahasan sepihak dengan pemerintah serta mengkaji ulang seluruh substansinya seraya melibatkan pemikiran dari berbagai pihak yang berkompeten soal rusun dengan saksama.

Tak rasional
Menurut Teguh, ancaman terjadinya liberalisasi di sektor properti dinilai sebagai alasan yang tak rasional mengingat masalah kepemilikan properti bagi orang asing bukan hal baru. Indonesia bahkan telah lebih dahulu mengaturnya dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Di dalam UU tersebut ditegaskan hunian vertikal boleh dibangun di atas tanah dengan hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai. Jika hunian vertikal itu dibangun di atas tanah dengan HGB, warga negara asing dilarang memiliki. REI, ujarnya, juga tak sependapat jika sistem lembaga perumahan di Indonesia dianggap lemah karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Perumahan Rakyat merupakan institusi yang cukup merepresentasikan kekuatan negara sebagai regulator di bidang perumahan dan permukiman.

"Kalau dikatakan RUU ini bisa melahirkan liberalisasi gara-gara institusi negara dianggap lemah, itu tidak mungkin terjadi. Justru kalau kita sadar, 99% perbankan nasional kita sudah dilahap asing," jelasnya.

Teguh menilai penguasaan asing terhadap aset-aset perbankan domestik justru selalu menghantui pertumbuhan sektor properti. Jika kondisi keuangannasional bergejolak, tak mustahil kepemilikan asing di sektor perbankan akan lenyap dalam sekejap sehingga industri properti akan terimbas dampak negatif tersebut.

"Kalau suatu saat ekonomi kita terjerembap ke dalam krisis, modal mereka di perbankan bisa langsung dibawa kabur. Penguasaan mereka atas aset-aset bank nasional justru menjadi modal mereka menguasai sektor-sektor ekonomi strategis," jelasnya.
Sebaliknya, Teguh justru tak yakin asing akan menguasai sektor properti karena asing memang tak berhak memiliki properti.

Pada saat yang sama, jika pemerintah melonggarkan status kepemilikan asing dengan mem-perlama hak pakai, ekonomi negara tak akan terganggu.

"Negara justru akan diuntungkan dari sisi pemasukan pajak. Terlebih, pemerintah akan memperketat status kepemilikan properti asing dengan berbagai syarat seperti batas harga minimum pembelian, masa tinggal, taat pajak, dan statusnya bukan hak milik. Jadi, jangan takut ancaman liberalisasi," jelasnya.
(yusuf, waluyo@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar