Senin, 27 Desember 2010

Konsep Dasar Multi-moda Penyediaan Perumahan Rakyat


Berbagai program pembangunan perumahan yang dijalankan pemerintah hingga kini belum kunjung memberikan harapan terpenuhinya pemenuhan perumahan yang layak bagi seluruh rakyat. Pembangunan rumah sederhana, subsidi kredit pemilikan rumah sederhana, rumah susun sederhana sewa maupun milik, fasilitasi perumahan swadaya dan pengembangan kawasan permukiman, adalah di antara program-program yang menunjukkan kinerja yang belum melembaga dan berkelanjutan. Visi satu keluarga menghuni sebuah rumah layak huni tampaknya masih jauh dari harapan realisasi nyata. Pada kenyataannya, penyediaan rumah-rumah sederhana (RSH) dengan dukungan subsidi kredit pemilkan rumah (KPR) dengan harga jual maksimum yang dipatok (Rp 55 juta) masih belum terjangkau oleh lapisan besar masyarakat berpenghasilan rendah, kelompok miskin maupun mereka yang berpenghasilan tidak tetap dari sektor informal.
Tidak kunjung terpenuhinya kebutuhan perumahan segmen masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok miskin terutama di kawasan yang sedang mengkota (urbanised area) terjadi di tengah kesan adanya keberlanjutan program subsidi KPR dan pengadaan blok demi blok Rusunawa. Padahal sebenarnya, program subsidi KPR yang berasal dari subsidi APBN setiap tahun, lebih berhasil memperlancar bisnis properti para pengembang, ketimbang semakin menjangkau kemampuan dan kebutuhan perumahan rakyat berpenghasilan rendah dan miskin. Hal ini terlihat indikasinya dari luas permukiman kumuh di perkotaan yang semakin bertambah dari tahun ke tahun (sekitar 47.000 Ha tahun 2000, 54.000 Ha pada tahun 2004 dan menjadi 59.000 Ha pada tahun 2009, BPS).
Penambahan luas permukiman kumuh dan informal adalah pertanda tidak adanya pilihan bagi kaum miskin kota yang hendak bertempat tinggal di dekat tempat kerjanya, dengan pengeluaran untuk perumahan dan transportasi yang mampu mereka jangkau. Selain menghuni lahan-lahan terlarang dan terlantar yang tidak terawasi, fenomena unsustainable housing and settlements ini terus semakin memadatkan dan memperluas permukiman kumuh dan semakin memiskinkan warga masyarakat. Pertambahan luas permukiman kumuh ini seiring pula dengan laju urbanisasi yang tetap tinggi di kota-kota besar dan metropolitan di tanah air. Sehingga selain mengindikasikan kelemahan program perumahan rakyat, menunjukkan pula lemahnya pengelolaan proses urbanisasi di tanah air.
Meskipun telah diamanatkan Undang-undang untuk segera mengatasinya dan setiap tahun tidak sedikit anggaran pembangunan dikerahkan, penanganan permukiman kumuh yang tak kunjung menunjukkan hasil ini mengindikasikan pula tidak pernah terjadinya proses formalisasi/ regularisasi dari perumahan dan permukiman informal, yang merupakan wujud permukiman masyarakat MBR dan miskin, ke dalam pola-pola pembangunan kota yang formal. Ketiadaan kajian-kajian dari berbagai program perumahan yang dijalankan pemerintah menyebabkan rendahnya stabilitas kebijakan dalam jangka panjang, dan menjadikan program perumahan dan permukiman bersifat sporadis tahunan dan tidak melembaga. Ancaman ketidakberlanjutan dapat saja terjadi sewaktu-waktu, seperti ketika dilikuidasinya Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 1999-2004, dan menurunnya peran dan melemahnya kapasitas Perum-Perumnas dan lembaga-lembaga terkait perumahan lainnya.
Ketidakberlanjutan program-program pemerintah ini bukan hanya menunjukkan porsi suplai perumahan formal yang tetap kecil sebesar 10 - 20 % dibanding pengadaan yang dilakukan masyarakat secara swadaya sebesar 80 - 90%, namun keadaan ini mengindikasikan tidak pernah terbangunnya sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) secara komprehensif dan terintegrasi antar ragam multi moda, sehingga lebih bisa menjamin target rumah yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 28-H UUD 1945.

1.    Absennya Sistem Penyediaan Perumahan (Housing Delivery System)
Amanat Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat di bulan Agustus 1950, yaitu bahwa cita-cita penyediaan perumahan rakyat dapat dicapai dalam kurun waktu setengah abad, pada dasarnya mengandung makna bukan hanya untuk mencapai setiap keluarga Indonesia tinggal di sebuah rumah layak huni, ataupun bukannya bermakna terbangunnya berjuta-juta rumah sederhana, namun itulah kurun waktu yang diperlukan untuk membangun suatu sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) yang mantap dan responsif terhadap dinamika kebutuhan perumahan rakyat. Artinya, sistem penyediaan perumahan yang telah mampu menuntaskan masalah kekurangan rumah dan sekaligus mampu mengikuti perkembangan kebutuhan perumahan seiring pertambahan penduduk dan proses urbanisasi yang cepat. Untuk itu, sistem penyediaan perumahan perlu dibangun di atas kerangka sistem regulasi, sistem kelembagaan, dan kapasitas yang semakin memadai dan terintegrasi dalam suatu tata hubungan (linkages) dari semua pelaku (agents) di bidang perumahan dan permukiman.
Pengembangan sistem penyediaan perumahan bukanlah dilakukan dengan cara menyusun dokumen-dokumen pedoman yang tidak mewujud secara efektif di lapangan. Bukan pula dengan menyediakan beragam paket-paket program yang lebih berorientasi proyek semata. Praktek penyelenggaraan perumahan seperti ini sudah menunjukkan hasilnya, yaitu bahwa kebutuhan perumahan seluruh rakyat selama 60 tahun sejak 1950 hingga kini tidak kunjung dapat dipenuhi. Selain tentunya, belum kunjung melembaganya sistem penyediaan perumahan, yang ditunjukkan dengan subsidi kredit pemilikan rumah yang selalu setiap tahun ditambal dari anggaran pembangunan (APBN), perusahaan publik yang lemah (Perum-Perumnas), dan Kementerian Perumahan Rakyat yang secara berulang dibubarkan dan dibentuk kembali.
Ketika di tingkat nasional saja semua elemen sistem penyediaan perumahan rakyat tidak kunjung terbangun, maka sungguh sulit dibayangkan bagaimana sistem penyediaan perumahan di daerah dapat segera dibangun. Negara Indonesia adalah negara kesatuan dan bukan berbentuk federasi. Artinya, peran kepamongan dari pemerintah nasional untuk memberdayakan sistem penyediaan perumahan yang terpadu di berbagai tingkatan kepemerintahan sangatlah esensial. Ditetapkannya peraturan mengenai pembagian tugas antara pemerintah nasional dan daerah dalam urusan perumahan sungguh tidak dapat dijadikan langkah awal yang efektif untuk membangun sistem penyediaan perumahan rakyat. Mengapa? Karena latar-belakang ditetapkan peraturan tersebut lebih berorientasi melempar tanggung jawab anggaran semata. Sedangkan pembangunan sistem penyediaan perumahan lebih bertumpu pada proses institusionalisasi moda-moda penyediaan permahan yang mantap. Yaitu moda perumahan yang terpadu antara pusat dan daerah dan terutama antara sektor publik dan masyarakat. Artinya di sini, meskipun tidak untuk dipertentangkan, keberadaan modal kelembagaan (institutional capital) jauh lebih penting ketimbang modal biaya (financial capital) yang selalu tersedia dalam jumlah tertentu.
Jika kita melihat kenyataan di lapangan, laju formasi permukiman kumuh dan informal (liar) terus meluas dan berkembang tidak terbendung. Ketika subsidi KPR, Rusunawa dan Rusunami akhirnya jatuh di tangan yang tidak berhak, ketika pasar perumahan sekunder terkendala pasar perumahan primer yang belum kondusif (insecure), kredit mikro perumahan tidak menunjukkan progresifitas pengentasan yang berarti, ketika pengembangan kawasan melalui kasiba-lisiba yang telah ditetapkan di dalam undang-undang namun tidak dijalankan, maka penyelenggaraan perumahan sesungguhnya yang terjadi adalah semata memberi paket-paket program secara terus menerus tanpa membangun kelembagaan sistem penyediaan perumahan yang efektif. Baik di tingkat nasional maupun daerah, dimana masalah skala penanganan menjadi isu penting pula (the strategic notion of scale).
Sebagai hasilnya, pasar perumahan rakyat tidak berkembang secara sehat. Praktek yang terjadi adalah pasar properti komersial yang lebih menempatkan perumahan sebagai komoditi. Urusan perumahan rakyat pun ikut terseret ke dalam rimba bisnis properti yang spekulatif. Akibatnya, berbagai sumberdaya publik berupa tanah, prasarana, bangunan, pembiayaan hingga perijinan berubah menjadi objek perdagangan dan akan habis tak terencana dan tanpa kontribusi berarti terhadap pengembangan sistem dan proses institusionalisasi pengelolaan kota dan lingkungan. Pada gilirannya, keadaan inilah yang berkontribusi pada terbentuknya lingkungan binaan yang tidak berkelanjutan, yaitu lingkungan binaan yang selalu menghasilkan telapak ekologis yang melampaui daya dukung lingkungannya.
Selain sistem yang belum terbangun, kondisi tersebut menunjukkan pula peran pemerintah sebagai regulator yang belum berjalan secara efektif. Isunya kemudian, bukan lagi antara peran pemerintah sebagai regulator dan operator seperti yang banyak diwacanakan selama ini. Namun bentuk sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) seperti apa yang efektif dan perlu dibangun secara progresif? 

2  Konsep Dasar Multi-Moda Penyediaan Perumahan  
Sistem penyediaan perumahan yang dibangun secara terus menerus menempatkan peran pemerintah untuk merespon dan meregulasi pasar perumahan secara komprehensif. Bukan hanya bersandar pada pasar properti komersial yang spekulatif dan liberal. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan intervensi efektif untuk meregulasi pasar perumahan menuju pasar perumahan yang berimbang dan berkeadilan. Sedangkan pasar perumahan yang berimbang dan berkeadilan hanya dapat dikembangkan melalui pengenalan adanya multi-moda penyediaan perumahan.
Sistem Penyediaan Perumahan dikembangkan di atas pengenalan adanya beragam moda penyediaan perumahan. Pertanyaannya kini, apa definisi konseptual mengenai multi-moda penyediaan perumahan rakyat? Keivani dan Werna (2001) dalam artikelnya di jurnal Progress in Planning menulis penjelasan sebagai berikut:
Modes of housing provision can be defined by the processes through which such provision is achieved. A useful analytical tool for identifying and examining these processes is the concept of structures of provision which is based on the identification of social relations and interactions of agents involved in all aspects of housing provision, i.e. production, exchange and consumption (Ball and Harloe, 1992; Healey and Barret, 1990; Ball, 1983, 1986). The key to understanding the processes involved in land and property development, including housing, is identified as the relationship between the interests, strategies and actions of agents involved in land development and the socioeconomic and political framework including values regarding land, property, buildings and the environment which governs or structures their decisions.
Moda-moda penyediaan perumahan diartikan sebagai suatu proses dan cara-cara tertentu dalam penyediaan perumahan, sedemikian sehingga tujuan penyediaan dapat dicapai. Oleh karena itu, ada suatu kebutuhan untuk sungguh-sungguh memahami pelaku-pelaku (agents) dan hubungan-hubungan (linkages) di dalam setiap arena moda penyediaan perumahan. Kesatuan simpul-simpul dan relasi-relasi ini dapat bersifat struktural hirarkis maupun struktural jejaring.
Dengan memahami pelaku-pelaku (agents) dalam suatu moda, maka akan dihadapkan pada cara-cara dan pola-pola bagaimana para-pelaku berupaya menguasai dan mengelola sumber-sumberdaya (tanah, infrastruktur, biaya, perijinan, kewenangan kebijakan, kewenangan anggaran, hingga material dan teknologi) untuk kemudian mengambil keputusan-keputusan dan melakukan serangkaian aksi-aksi dalam menghasilkan produk-produk perumahan dan permukiman, yang dipengaruhi oleh bagaimana motif, kepentingan dan strategi-strategi yang digunakan. Pelaku-pelaku ini meliputi perusahaan perumahan sektor publik, pengembang swasta, para pejabat bidang perumahan di tingkat nasional, para pejabat tinggi di daerah, para politisi terkait, para investor, para pemilik tanah, konsultan dan kontraktor, kelompok-kelompok masyarakat dan para aktifis pendamping masyarakat, para akademisi dan kalangan profesional, dan para jurnalis media massa.
Sedangkan upaya untuk memahami hubungan-hubungan (linkages) dalam suatu moda akan membawa pada kerangka-kerangka regulasi dan sistem kelembagaan terkait yang ada di suatu negeri, baik di tingkat nasional, provinsi maupun daerah, yang mempengaruhi suatu proses dan pola penyediaan perumahan. Termasuk pula bagaimana kebijakan dan bentuk-bentuk intervensi pemerintah baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro ekonomi. Tidak terlepas pula, dan tidak kalah pentingnya, adalah bagaimana persepsi dan nilai-nilai yang ada dan tumbuh di masyarakat terhadap pola-pola hubungan tersebut.
Relasi antara para pelaku dan kaitan-kaitannya adalah sesuatu yang bersifat dinamis dan dialektis, yang tergantung pada adanya upaya-upaya aktif dan terus menerus dari pelaku-pelaku untuk berinteraksi satu sama lain, baik secara individual maupun organisasi, hingga akhirnya membentuk suatu jejaring tertentu (networks).
Sejak jejaring ini secara aktif mempengaruhi kebijakan perumahan, maka interaksi ini menghasilkan yang disebut sebagai jejaring kebijakan perumahan (housing policy networks, Siregar, 2006). Di antara jejaring kebijakan yang terbentuk, jejaring yang cukup kuat terbentuk adalah jejaring kebijakan pembiayaan perumahan (housing finance policy networks) dan jejaring kebijakan pengadaan tanah untuk perumahan (housing land policy networks), serta jejaring kebijakan perumahan yang berorientasi tujuan (objective setting housing policy networks). Jejaring pembiayaan perumahan dan jejaring tanah perumahan adalah jejaring yang konsisten, yang ditandai oleh keluaran kebijakan subsidi KPR dan kemudahan pengadaan tanah yang konsisten pula (policy networks affect policy outcomes). Sedangkan jejaring kebijakan tujuan pembangunan perumahan (ideal) relatif rentan, timbul dan tenggelam. Perkembangan kebijakan perumahan (public housing policy) dimana Perum-Perumnas sebagai public housing corporation berada di lingkaran jejaring kebijakan berorientasi tujuan pembangunan perumahan tersebut, juga menjadi bagian yang tidak terus berkembang semakin mantap.
Sebagai kesimpulan, pertama, adanya pemahaman akan pelaku (agents) dan hubungan (linkages) dari sudut pandang ini akan menampakkan adanya perbedaan-perbedaan antara suatu moda dengan moda lainnya.
Kedua, bentuk jejaring kebijakan perumahan yang ada ditentukan oleh keseimbangan dan tarik menarik antara peneguhan negara untuk mengamankan kepentingan-kepentingan objektif dari moda-moda utama untuk mencapai tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat, dengan kepentingan-kepentingan individual dari para pihak yang selalu berupaya untuk melanggengkan kepentingannya yang didorong oleh motif-motif ekonomi.
Ketiga, sebagai implikasi terhadap praktek perumahan, moda-moda penyediaan perumahan tidak dapat diartikan secara sangat sederhana sebagai proyek-proyek konstruksi gedung-gedung perumahan semata, ataupun sebagai upaya untuk mengikuti arus pasar perumahan komersial semata. Pembangunan rumah susun, misalnya. Proses konstruksi gedung rumah susun adalah bagian elemen teknis dari suatu moda tertentu. Bukan sebaliknya, moda penyediaan perumahan adalah elemen dari konstruksi gedung rumah susun.

3  Kajian Umum Multi-Moda Penyediaan Perumahan untuk Rakyat
Mengapa multi-moda penyediaan perumahan perlu dikembangkan sebagai acuan pengembangan kerangka regulasi, kebijakan dan strategi, serta kelembagaan di bidang perumahan di tanah air? Jawabannya adalah pertama, agar terbangun arena-arena dan jejaring-jejaring kebijakan dan implementasinya, yang sesuai dengan tujuan bersama, karakter dan kepentingan masing-masing pelaku pembangunan. Kedua, berdasarkan lingkup moda-moda yang jelas tersebut, agar utilisasi sumber-sumberdaya publik (tanah, infrastruktur, biaya, dan anggaran pembangunan) dapat dikelola secara efisien dan efektif sesuai kebutuhan objektif pembangunan perumahan untuk seluruh rakyat. Ketiga, yaitu agar tujuan pembangunan perumahan rakyat dapat diselenggarakan secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Dengan mengacu adanya pola-pola tertentu yang terbentuk dari interaksi para-pelaku pembangunan perumahan yang dilatarbelakangi oleh tujuan-tujuan dan kepentingannya, maka multi-moda penyediaan perumahan rakyat dapat digambarkan sebagai berikut di bawah ini.
 
 
Kajian berikut ini mengacu pada tujuan-tujuan pentingnya pembagian moda-moda penyediaan perumahan seperti di atas. Memperhatikan praktek penyelenggaraan perumahan yang dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha swasta, setidaknya ada 4 (empat) moda atau bentuk-bentuk penyedian perumahan, yaitu: Moda Perumahan Swadaya, Moda Perumahan Umum, Moda Perumahan Sosial dan Moda Perumahan Komersial.


Perumahan swadaya adalah moda penyediaan perumahan yang paling banyak memproduksi perumahan rakyat di tanah air. Berdasarkan data produksi perumahan secara formal oleh Perum-Perumnas dan pengembang swasta yang lebih kurang hanya memenuhi 15 % dari kebutuhan perumahan setiap tahunnya, berarti ada lebih kurang 85% pengadaan perumahan dilakukan melalui moda perumahan swadaya. Baik dilakukan secara formal individual maupun informal. Para pimilik tanah yang memegang hak status yang jelas kemudian mengurus ijin bangunan ketika membangun rumahnya adalah tergolong moda perumahan swadaya formal (individual). Sedangkan warga yang menempati bantaran sungai dan lahan kosong kemudian membangun hunian mereka sendiri, tergolong perumahan swadaya informal.
Karakter khas dari moda perumahan swadaya adalah mereka membangun rumahnya sesuai dengan kebutuhannya (highly customized). Dengan memperhatikan pembangunan perumahan merupakan hubungan alami antara manusia  dengan lingkungannya, maka pembangunan perumahan secara informal dan tidak terencana adalah suatu konsekwensi logis pemenuhan kebutuhan alami tersebut. Sehingga berangkat dari pemikiran ini, upaya yang perlu dilakukan adalah membangun sistem yang dapat mempercepat proses regularisasi dan formalisasi proses merumahkan rakyat dan bangsa (housing the people, housing a nation).
Perumahan umum dan perumahan sosial adalah moda-moda penyelenggaraan perumahan yang dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah nasional maupun pemerintah daerah. Di negara-negara sosialis seperti China dan Rusia (di era Uni Soviet), negara lebih memihak pada moda perumahan sosial. Di negara-negara kesejahteraan (welfare state) seperti Swedia, Finlandia dan Norwegia, Jerman, Jepang dan Singapura, keberpihakan lebih ditujukan kepada moda perumahan umum dan terbukti relatif sukses membawa ekonomi negara-negara tersebut sebagai ekonomi yang kokoh didukung oleh nilai lingkungan binaan yang semakin terapresiasi.
Sedangkan moda perumahan komersial atau real estat adalah semua praktik penyediaan perumahan yang diadakan oleh pengembang swasta secara terencana. Moda real estat menjadikan produksi perumahan sebagai suatu moda bisnis yang terorganisir. Salah satu ciri khas pengadaan perumahan real estate (komersial) adalah adanya motif mencari untung yang layaknya menjadi motif dunia usaha. Kesamaannya dengan perumahan umum adalah bahwa baik perumahan umum maupun perumahan komersial diselenggarakan secara terencana dalam skala kecil hingga skala besar dan bersifat formal.
Di negara-negara demokrasi yang menonjol seperti Amerika Serikat, kebebasan individual warganya lebih menonjol dengan moda perumahan swadaya dan perumahan komersial, namun dilakukan di dalam iklim regulasi dan sistem yang sudah melembaga. Namun demikian tumpuan pada sistem pembiayaan dan penjaminan yang berlebihan di Amerika Serikat ternyata hanya menghasilkan ekonomi gelembung (tidak riil) dan terbukti berkontribusi merubuhkan bangun ekonomi Amerika Serikat. Hanya di negara-negara yang sedang berkembang saja moda perumahan komersial biasanya mendominasi di tengah iklim regulasi dan kelembagaan yang sangat lemah.


***
 
Pustaka:
Angel, Shlomo, 2000, Housing Policy Matters, Oxford University Press.
Beng, Yap Chin, 2010, Affordable Housing Options for the People, Presentation at International Housing Conference, Singapore, Housing Development Board (HDB).
Housing Development Board (HDB), 1985, Housing A Nation, 25 Years Public Housing in Singapore,  Maruzen Asia, Singapore.
Kaivani, Ramin, Edmundo Werna, 2001, Modes of housing provision in developing countries, Progress in Planning 55 (2001), p 65-p118, Pergamon, Elsevier Science Ltd.
Kementerian Perumahan Rakyat, 1992, Rumah untuk Seluruh Rakyat.
Houlihan, Barrie, 1988, Housing Policy and Central-Local Government Relations, Avebury, Gower Publishing Company Limited, England.
Pugh, Cedric, 2001, The Theory and Practice of Housing Sector Development for Developing Countries Housing Studies, Vol. 16, No. 4.
Siregar, M. Jehansyah, 2006, Identifying Policy Networks in the Development of Indonesian Housing Policy, Disertasi pada Urban Planning and Regional Development Laboratory, Department of Urban Engineering, The University of Tokyo, Jepang.
Struyk, R; Hoffman, M dan Katsura. H (1990); The Market for Shelter in Indonesian Cities. The Urban Institute Press, Washington DC
Turner, John F C, 1983, From Central Provision to Local Enablement: New Directions for Housing Policies, Habitat International, Vol. 7 No.5, Pergamon Press Ltd.
Turner, John F C, 1986, Future Directions in Housing Policies, Habitat International, Vol. 10, No.3, Pergamon Press Ltd.
UNCHS, 1990, The Global Strategy for Shelter to the Year 2000.
UNCHS, 2005, Financing Urban Shelter, Global Report on Human Settlements 2005
UN-ESCAP dan UN-HABITAT, 2008, Housing the Urban Poor in Asian Cities, Quick Guide for Policy Makers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar