Senin, 27 Desember 2010

Fragmentasi Moda-moda Penyediaan Perumahan di Indonesia

Praktek penyediaan perumahan yang ada sekarang menunjukkan masih terlalu kuatnya peran pemerintah memfasilitasi pasar perumahan komersial atau pasar properti (real estate) dan masih marjinal dan belum terbangunnya moda perumahan umum, perumahan sosial dan moda perumahan swadaya masyarakat. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya fragmentasi (keterpecahan) program dan proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah. Semuanya ini didasari oleh kekacauan perumusan arah kebijakan perumahan oleh pemerintah. Hingga akhirnya mewujud dalam wajah kota-kota di tanah air yang anti-poor, hingga anti-urban, suram dan penuh dengan ketidakadilan. Penjelasan berikut ini menggambarkan contoh-contoh kasus, isu-isu, dan pandangan-pandangan menyangkut urusan perumahan dan permukiman yang menunjukkan situasi keterpecahan moda-moda penyediaan perumahan tersebut. 

1.  Problematika Rumah Susun Sederhana
Rumah-rumah susun sederhana (Rusuna) yang tidak terawat dan berubah menjadi kumuh adalah pemandangan nyata di kota-kota metropolitan tanah air. Rumah-rumah susun sederhana tersebut tidak kunjung mampu dikelola dengan baik, dan banyak pula yang mangkrak atau tidak dihuni. Pada gilirannya, rumah-rumah susun yang sedianya ditujukan sebagai manifestasi masyarakat kebanyakan (kelas menengah perkotaan) di Indonesia, sebagaimana Danchi di kota-kota besar Jepang, Apartments di Inggris dan Flats di Amerika Serikat, akhirnya gagal dan justru berubah menjadi monumen-monumen yang menunjukkan wajah kemiskinan dan keterbelakangan bangsa ini.
Permasalahan pembangunan Rusuna bukan hanya menampilkan wajah kemiskinan bangsa saja. Masyarakat miskin dan tradisional juga sering mendapatkan getahnya sebagai penyebab kekumuhan rumah susun. Mereka sering dipersalahkan karena dipandang tidak tertib, sulit diatur dan tidak memiliki budaya menghuni rumah susun.
Sulitnya menyediakan tanah yang sesuai untuk pembangunan Rusunawa di daerah perkotaan, ditengarai pula sebagai masalah. Pemerintah nasional juga selalu mendesak pemerintah daerah dengan peraturan pembagian urusan pusat dan daerah, bahwa perumahan adalah urusan daerah. Oleh karena itu Pemda harus menyediakan tanah yang banyak untuk dibangun gedung-gedung rumah susun yang proyeknya dijalankan oleh pemerintah nasional. Pola kerjasama yang tidak jelas seperti ini akhirnya menyebabkan pemda-pemda sendiri sulit melepas tanah miliknya yang terbatas untuk pembangunan rumah susun. Mengapa? Karena menyerahkan aset daerah untuk dikelola di dalam proyek-proyek pemerintah nasional di bidang perumahan rakyat maupun di bidang pekerjaan umum tidak bisa dilakukan begitu saja.
Pada gilirannya, Pemda-pemda yang telah menyetujui tanahnya dibangunkan rumah susun dari pusat pun, tetap mengalami kesulitan yang lain lagi, yaitu tidak mendapatkan persetujuan anggaran pengelolaan rumah susun dari DPRD setempat. Mengapa? Karena bangunan rumah susun dibiayai anggaran APBN, sedangkan APBD tidak boleh membiayai aset nasional, meskipun berada di atas tanah milik daerah. Aset nasional juga tidak diperkenankan untuk diserahkan ke daerah. Akhirnya rumah susun tidak terkelola dengan baik, dan pemerintah daerah merasa jera untuk menyerahkan tanahnya yang lain lagi. Alih-alih berkembang menjadi aset publik yang terus meningkat kualitasnya dan menjadi solusi beragam masalah sosial-ekonomi-lingkungan kota, rumah-rumah susun malah akhirnya turut menambah masalah sosial-ekonomi-lingkungan yang sudah ada.
Setelah kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah, pengadaan konstruksi gedung-gedung rumah susun sederhana yang diiringi pengucuran anggaran negara hingga beratus-ratus milyar rupiah terus mencari sasaran lokasinya yang lain untuk didirikan. Akhirnya pengucuran paket-paket (package delivery, yang mirip program BLT penanggulangan kemiskinan) mendapatkan sasarannya di lahan-lahan milik perguruan tinggi dan kesatuan tentara. Kelompok sasaran yang sudah ada, kejelasan instansi, dan kesanggupan mengelola menjadi faktor-faktor favorit untuk memilih lahan-lahan ini. Akhirnya terjadilah hal yang juga tidak dapat dibenarkan, yaitu salah sasaran. Bagaimanapun mahasiswa dan prajurit bukanlah kelompok prioritas sasaran penyediaan perumahan rakyat, karena sudah ada potensi alokasi anggaran lain di bidang pendidikan dan tentara/kepolisian yang lebih tepat untuk itu. Di dalam pengembangan suatu skema program, penentuan kelompok sasaran ini sangat fatal yaitu sebagai justifikasi prioritisasi (prioritization justification).
Pembangunan rumah susun sederhana milik (Rusunami) juga mengalami masalah, yaitu adanya anggapan kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam memberi perijinan, terutama Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Pada dasarnya bukanlah masalah perijinan yang dihadapi. Masalah IMB muncul sebenarnya akibat Pemerintah Daerah memandang pengadaan rusunami masih berada di domain moda perumahan komersial. Meskipun program Rusunami diinisiasi oleh Kementerian Perumahan Rakyat dengan berbagai dukungan fasilitasi keringanan pajak dan dukungan prasarana, tidak dapat ditutupi pula, bahwa kebijakan fasilitasi tersebut lebih memperlicin bisnis properti daripada mencapai kelompok sasaran. Sebagaimana diketahui, praktek bisnis properti selalu berupaya menaikkan koefisien lantai bangunan (KLB), sedangkan cukup memprihatinkan pula bahwa pemerintah daerah selalu mencantumkan nilai KLB yang rendah di kawasan yang sangat diminati para investor properti. Kemudian, pembangunan Rusunami akhirnya menjadi kesempatan dan pembenaran bagi para pebisnis properti untuk menaikkan angka KLB, hal mana motif-motif seperti ini sudah sangat dikenali khususnya oleh Pemerintah DKI Jakarta. Akibatnya, terjadi konflik antara Kemenpera, Pemda DKI Jakarta dan para Pengembang.
Menghadapi beragam pernak-pernik masalah seputar pengadaan rumah susun ini kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang semakin komopleks. Kemudian, apakah artinya kondisi dari masalah-masalah pembangunan rusuna yang berbelit ini? Memang banyak pihak dengan berbagai pandangannya angkat bicara. Ada yang mengatakan ini karena ketersediaan tanah perkotaan yang langka dan mahal, ada yang mengajukan perlunya ditingkatkan kapasitas pengelola, perlu diberdayakan perkumpulan penghuni, perlu ditingkatkan kepedulian pemda/pemko, pemda-pemda dipaksa harus mau menyediakan tanah-tanah untuk dibangun Rusuna, hibah aset nasional kepada daerah harus bisa dilaksanakan, dan sebagainya. Ada pula yang cukup memprihatinkan, yaitu yang mengaitkannya dengan perlunya undang-undang rumah susun yang baru. Demikianlah, muncul kemudian pernak-pernik masalah yang berserakan dan terpecah-pecah (scattered and fragmented). Upaya mencari pemecahan masalahnya kemudian menjadi tidak berarah dan terkesan tambal sulam. Padahal akar masalah dari ragam masalah itu sederhana saja, yaitu absennya sektor perumahan publik (public housing) di tanah air, baik perumahan publik di tingkat nasional maupun di daerah. Mengapa demikian? Berikut ini adalah penjelasannya.
2.  Rusuna di dalam Moda Perumahan Umum
Pengadaan rumah susun sederhana sejak tahun 1980-an menurut sejarahnya diadakan oleh Perum-Perumnas sebagai perusahaan publik pembangunan perumahan. Inilah yang menjadi latar belakang penyusunan Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Namun karena moda perumahan umum tidak kunjung dikembangkan, dan keberadaan Perum-Perumnas tidak pernah berperan sebagai sentral dari moda perumahan umum, maka pembangunan rumah susun sederhana hingga kini tetap diadakan dalam skema yang bertumpu pada proyek-proyek pengadaan konstruksi. Karena itu muncullah berbagai masalah seperti di atas. Untuk itu, pengadaan rumah susun perlu dikembalikan kepada tujuannya semula, yaitu berada di dalam rangka pengembangan moda perumahan umum.
Pertama, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik/umum tidak akan menurun kualitasnya hanya karena lemahnya operasi dan perawatan bangunan dan lingkungan (building and estate management). Manajemen bangunan dan lingkungan yang dikelola oleh sebuah perusahaan umum, sebagaimana di Jepang, tidak selalu mengikuti pola manajemen bangunan perusahaan swasta. Sebagai contoh kekhasan manajemen perusahaan perumahan umum, yaitu perusahaan umum dapat memberdayakan kelompok ibu-ibu rumah tangga usia lanjut yang sudah tidak terserap pasar tenaga kerja komersial. Pada gilirannya, manajemen perumahan umum ini turut berkontribusi menciptakan pasar tenaga kerja terkendali dan membuka pasar baru, yaitu pasar tenaga kerja yang tidak dapat dimasuki oleh mereka yang tidak memenuhi syarat, seperti selain ibu-ibu dan yang masih muda.
Kedua, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menghadapi masalah tanah. Mengapa? Karena rumah-rumah susun akan ditempatkan pada kawasan dengan skala cukup besar yang disiapkan secara komprehensif, baik penataan ruang, prasrana dan utilitasnya. Tanah yang diperoleh berasal dari alokasi tanah khusus untuk perumahan publik yang berasal dari tanah-tanah terlantar maupun alih fungsi dari tanah-tanah milik negara. Dasarnya adalah adanya peran lama yang diberikan kepada perusahaan perumahan umum milik negara yang dihidupkan kembali, yaitu untuk menjalankan praktek bank tanah.
Ketiga, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menghadapi masalah perijinan IMB sebagaimana dihadapi dalam pembangunan Rusunami seperti diuraikan di atas. Mengapa demikian? Karena dengan berada di domain moda perumahan umum, pengadaan rusunami terbebas dari motif bisnis dan mencari keuntungan, melainkan mengembangkan aset-aset publik dan menyediakan kebutuhan perumahan kelas menengah bawah. Pemerintah daerah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan perumahan warganya dan mengembangkan kawasan secara harmonis, tidak memiliki alasan untuk tidak mendukung peruntukan perumahan umum di wilayahnya. Kemudian, di dalam moda perumahan umum, pengadaan rusunami dikembangkan dalam suatu skala kawasan kota, sedemikian sehingga telah memiliki arah dalam alokasi peruntukan dan pemanfaatan ruang kota secera terancana. Kemudian pula diberlakukan peraturan bangunan dan lingkungan yang khusus (project spesific regulation). Dengan demikian masalah konflik KLB dan IMB sudah padam sejak dari hulunya.
Keempat, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menghadapi kesalahan sasaran atau kesulitan menemukan penghuni, karena sudah direncanakan sejak awal termasuk perencanaan kelompok prioritas penghuni sasarannya. Salah satu divisi penting dari moda perumahan umum adalah divisi perencanaan kelompok sasaran penghuni, yang dilengkapi oleh divisi penyeleksian penghuni (tenant screening division/team) yang memiliki seperangkat tim dan instrumen seleksi yang mantap. Divisi seleksi penghuni sebagai bagian perusahaan perumahan umum hanya berorientasi pada terselenggaranya perumahan umum yang tertib dan harmonis, sehingga tidak memiliki tendensi memilih penghuni karena asal membayar yang cukup.
Kelima, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menyalah-nyalahkan penghuni karena belum membudayanya tinggal di rumah bersusun. Melalui seleksi penghuni yang terencana baik maka penghuni rumah susun yang terpilih adalah mereka yang sudah siap menempati rumah bersusun, yang umumnya datang dari kalangan perkotaan menengah bawah, berpendidikan dan memiliki pekerjaan formal. Bagaimana dengan komunitas berpendapatan rendah dan miskin yang masih memiliki gaya hidup tradisional paguyuban dan kebanyakan menjalankan sektor informal? Sebagaimana pengalaman di Thailand, lembaga perumahan umum di sana (NHA, National Housing Authority) bekerjasama dengan CODI (Community Organisation Development Institute) untuk membina komunitas-komunitas MBR dan miskin kota dan mengembangkan praktek moda perumahan swadaya (self-help housing mode). Dalam proyek-proyek peremajaan kawasan kumuh di Bangkok, NHA membuat perencanaan tapak dengan konsep campuran (mix strata income) dan memberi alokasi tanah untuk perumahan swadaya yang dibina oleh CODI. Kemudian kepada warga MBR dan miskin diberi pilihan untuk mengikuti program NHA dengan penyediaan rumah susun ataukah mengikuti program CODI yang berisi program pemberdayaan komunitas dan perumahan swadaya yang menghasilkan produk rumah deret berkepadatan tinggi.
Keenam, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan mengalami kesulitan pembiayaan. Seperti diketahui, sumber dana dari APBN bagaimanapun memiliki keterbatasan untuk membiayai pembangunan konstruksi gedung rumah susun terus menerus dari tahun ke tahun. Pengadaan rumah-rumah susun dalam skema proyek konstruksi (seperti selama ini) tidak akan mampu mengakumulasi aset kawasan, tanah dan bangunan yang mengalami apresiasi. Banyak aset rumah susun akan habis begitu saja, atau malah justru menjadi aset yang membebani biaya perawatan karena rumah-rumah susun berkontribusi pada penurunan kualitas suatu kawasan. Pengadaan rumah-rumah susun seperti ini akan selalu membebani pembiayaan pengadaan rumah susun selanjutnya dan berakhir dengan ketidakberlanjutan pembiayaan.
Namun tidak akan demikian dengan rumah-rumah susun yang diadakan di dalam moda perumahan umum yang baik. Pada tahap awal, perusahaan publik di bidang perumahan dapat memperoleh penyertaan modal negara yang bersumber dari APBN, dan sebagai BUMN dapat memperoleh penyertaan modal dari Dana BUMN yang kini sedang dikembangkan. Kemudian pada suatu tingkatan tertentu setelah memiliki aset kawasan yang terakumulasi dan terapresiasi, maka otoritas perumahan publik sudah harus mampu menyediakan konstruksi bangunan rumah-rumah susun secara mandiri tanpa membebani fiskal negara terus menerus. Kemandirian perumahan umum pada kondisi ini hanya dapat dicapai melalui akumulasi aset yang dibangun dan dikelola secara terencana dan berkelanjutan. Aset-aset milik publik seperti tanah negara, prasarana dan sarana dasar, fasos dan fasum dan bangunan perumahan umum, yang dikelola dengan baik dengan mengoptimalkan mekanisme perijinan, rencana tata ruang, rencana tata bangunan serta rencana pengelolaan bangunan dan kawasan yang juga bersumber dari lembaga publik, seharusnya hanya akan memproduksi lingkungan binaan yang berkualitas dan semakin terapresiasi dari waktu ke waktu. Mengapa ini bisa terjadi? Tidak lain karena moda perumahan umum akan meredam praktek spekulasi tanah dan properti, dan melimpahkan hasil apresiasi nilai kawasan menjadi aset publik untuk kepentingan publik. Sedangkan bisnis properti dapat dijalankan secara berdampingan dan saling mengisi di dalam suatu kawasan pengembangan yang terencana dan terkendali dengan baik.
Ketujuh, rumah-rumah susun sederhana yang disediakan di dalam moda perumahan publik tidak akan menjadi biang kekacauan fiskal sebagaimana masalah rusunawa yang terjadi di daerah-daerah, yaitu akibat bangunan dibiayai oleh APBN dan tanah adalah aset daerah yang membutuhkan perawatan dari biaya APBD. Kinerja otoritas perumahan umum bukanlah seperti yang terjadi sekarang ini, yaitu asal proses konstruksi rumah susun telah selesai maka selesailah dan kinerja dinilai dari keberhasilan memenuhi kurva S sebuah manajemen proyek konstruksi. Sedangkan proses perencanaan pra-konstruksi dan pasca konstruksi kurang diperhatikan dan dilaksanakan secara terpisah-pisah. Tentu tidak demikian. Kinerja otoritas yang menjalankan moda perumahan umum memadukan semua proses pra-konstruksi, konstruksi dan pasca konstruksi. Sehingga kinerja yang diukur bukanlah pelaksanaan konstruksi semata, melainkan pengelolaan aset perumahan dan permukiman secara sosial, ekonomi dan lingkungan. Karena itu, dengan dana awal yang bersumber dari APBN/Aset Nasional atau dari APBD/Aset Daerah, moda perumahan umum tidak akan menimbulkan kekacauan fiskal, karena otoritas tersebut dapat dikembangkan masing-masing di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Masing-masing dengan misi yang sama, yaitu merumahkan rakyat dan mengembangkan kawasan permukiman dan perkotaan untuk menjadi aset publik yang berkualitas. Tanpa mencampur aduk aset nasional dan daerah, kerjasama dapat dilakukan di tingkat perencanan kawasan dan pelaksanaan lapangan. Pada gilirannya, semakin besar dan berjayanya otoritas perumahan umum, baik di tingkat nasional dan daerah, akan mewujud menjadi aset nasional dan daerah yang menjamin keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman dan perkotaan.
Dengan memperhatikan kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beragam masalah rumah susun sederhana muncul akibat fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan dan absennya moda perumahan publik. Moda perumahan umumlah yang perlu dikembangkan, dan bukan masalah rumah susunnya! Artinya, bukan membenahi segala masalah yang muncul sekedar untuk mendukung terlaksananya proyek-proyek konstruksi rumah susun. Bahwa produk perumahan publik itu biasanya berbentuk rumah-rumah bersusun, adalah benar. Namun jika proyek konstruksi rumah susun hendak digunakan sebagai pendekatan untuk mengidentifikasi masalah yang terus bermunculan, kondisi ini hanya akan mengantarkan pada: satu, penghamburan sumber-sumberdaya publik dan hilangnya kesempatan mengakumulasi aset-aset publik, dua, perkembangan kawasan permukiman yang berserakan (scattered) dan tidak berkelanjutan, dan tiga, semakin meluasnya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan rakyat.
3.  Konflik Peran dari Moda Perumahan Komersial
Fragmentasi dan kesemrwutan (fragmented and intertwined) moda-moda penyediaan perumahan menyebabkan kaburnya peran perumahan komersial yang dipaksakan untuk turut menyediakan perumahan sederhana. Jika melihat komposisi asosiasi para pengembang swasta (REI dan APERSI) yang didominasi oleh para pengembang kecil dan hanya sedikit pengembang besar, sebenarnya terjadi kekacauan peran ketika secara organisasi mereka diminta untuk berperan menyediakan perumahan sederhana. Kekacauan peran muncul akibat ada ketidakjelasan motif, dimana semua pengembang swasta baik yang kecil maupun yang besar seharusnya tetap memiliki motif yang sama, yaitu mencari keuntungan. Memang para pengembang kecil masih lebih berminat dan lebih tahan untuk memproduksi rumah-rumah sederhana, dikarenakan skala usahanya yang memang masih kecil. Namun, apakah semakin kecil skala usaha pengembang swasta berarti semakin kecil motif mencari untungnya? Atau hanya untungnya yang kebetulan masih kecil dan sementara itu selalu menanti kesempatan untuk mendapat untung besar melalui berbagai spekulasi dan fasilitasi dari pemerintah?
Keadaan inilah yang menjelaskan mengapa sebagian pengembang kecil yang sebelumnya bergabung di dalam REI kemudian keluar dan membentuk asosiasi baru bernama APERSI. Para pengembang kecil yang semula kurang mendapat kesempatan di organisasi pertama kemudian mendapat kesempatan untuk menjadi besar setelah membentuk asosiasi baru. Fenomena ini adalah gambaran kacaunya moda perumahan komersial yang berinterferensi secara langsung dengan sumber-sumber daya publik yang dikucurkan melalui pendekatan project delivery termasuk property business liquidity facilities. Sumber-sumberdaya perumahan umum yang tidak dikelola di dalam suatu moda perumahan umum / moda perumahan swadaya / moda perumahan sosial, pada gilirannya akan mengacaukan pula moda perumahan komersial.
Di dalam multi-moda penyediaan perumahan yang terstruktur dengan baik, semua sumberdaya kunci publik hanya akan dikelola melalui moda-moda penyediaan yang terjamin, terhindar dari ragam praktek makelar proyek, terlindung dari praktek spekulasi, dan tidak rentan dari penyimpangan tujuan dan kepentingan. Moda-moda penyediaan itu adalah moda perumahan umum, moda perumahan swadaya, moda perumahan sosial, dan moda perumahan komersial yang kesemuanya ditempatkan pada posisinya.
Sebuah otoritas perumahan umum misalnya, ketika mengembangkan suatu kawasan perumahan sederhana, tentunya tidak perlu menyediakan sendiri jasa konstruksi untuk seluruh pekerjaannya. Otoritas perumahan umum melalui sistem lelang yang transparan bekerjasama dengan para penyedia jasa konstruksi. Pada titik inilah kesempatan terbuka luas bagi para kontraktor swasta, baik dalam pematangan tanah, pengadaan infrastruktur maupun bangunan. Kesempatan bagi para pengembang swasta juga terbuka melalui pengembangan lingkungan-lingkungan siap bangun yang diproduksi oleh otoritas perumahan umum. Dengan demikian, pengembangan moda perumahan umum pada dasarnya tidak mematikan usaha swasta, meskipun dalam pengadaan perumahan sederhana.
Nah, para kontraktor mitra potensial otoritas perumahan umum inilah yang sebenarnya kini berwujud sebagai pengembang-pengembang kecil yang tergabung di dalam asosiasi pengembang (REI dan APERSI) dan bergabung bersama-sama secara kontras dengan para pengembang besar yang memang sudah memiliki modal besar dalam berbagai bentuknya. Akhirnya, dominasi moda perumahan komersial tanpa segmentasi yang jelas dan absennya moda perumahan umum hanyalah menimbulkan iklim spekulatif di kalangan pengembang, yaitu adanya upaya-upaya, terutama dari para pengembang kecil, untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya publik sebagai sarana untuk melejitkan dirinya untuk menjadi pengembang besar. Konflik peran perumahan komersial ini pada gilirannya mengintervensi sumber-sumberdaya publik yang seharusnya dikerahkan untuk membangun moda perumahan umum, sehingga menghambat berkembangnya moda perumahan umum.
Kaivani dan Werna (2001) menyatakan bahwa: “The expansion of the role of private market of housing provision in developing countries was advocated by the World Bank”. Memang kebijakan berbagai fasilitasi bisnis properti untuk memperluas perannya dalam penyediaan perumahan sederhana selalu didorong oleh lembaga World Bank. Hal ini dapat dipahami karena bagaimanapun bank tetaplah bank, yang berkepentingan agar senantiasa dapat memberi pinjaman, dan dana yang dipinjamkannya kembali dengan lancar secepat mungkin, meskipun digunakan untuk kepentingan publik. Dan, usaha swasta dipandang sebagai satu-satunya moda yang dapat diandalkan untuk kepentingan bank tersebut. Berkembang atau tidaknya moda perumahan umum bukanlah kepentingan bank. Apalagi moda perumahan umum dan pengembangan perkotaan yang semakin mandiri mendanai berbagai pembangunan infrastruktur di dalam negeri, sama sekali bukan kepentingan Bank Dunia maupun lembaga sejenisnya.
Bank Dunia dan berbagai lembaga lain juga mendorong berkembangnya kerjasama publik-swasta (KPS) dalam berbagai pelayanan publik. Berbagai skema kemitraan publik-swasta ini sangat berbeda keadaannya dengan skema kerjasama yang sama di negara-negara yang telah maju pelayanan publiknya. Jika di negara maju KPS dilatar belakangi oleh efisiensi pelayanan publik dimana pelayanan publik sudah mencapai tingkat yang mampu memimpin dan mengendalikan kinerja pelayanan, standar pelayanan dan produk sebagai barang publik, maka KPS di negara-negara lambat berkembang masih ditandai lemahnya pelayanan di sektor publik.
Bagaimanapun, tentunya kepentingan negara sebesar Indonesia tidak bisa disandarkan pada advokasi sebuah lembaga bank saja. Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumberdaya publik, penguatan kualitas pelayanan di sektor publik dan kemandirian dalam pembangunan perumahan dan pengembangan kawasan adalah cita-cita bangsa dan amanat konstitusi yang tidak bisa semata dititipkan kepada sebuah bank. Kepemimpinan sektor publik (dan bukannya dominasi sektor publik, public sector led, instead of public sector domination) di atas sektor komersial, sosial dan swadaya masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman adalah suatu prakondisi dan merupakan mata rantai yang selama ini diabaikan.
4.  Intervensi Perumahan Komersial
Jika moda perumahan umum diabaikan dan tidak berkembang seperti diuraikan di atas, maka fenomena yang tampak adalah moda perumahan komersial justru berkembang tidak terkendali sebagai akibat dari adanya konflik peran. Perumahan komersial pada akhirnya mengintervensi sumber-sumberdaya publik, baik berupa kemudahan perijinan perolehan tanah mentah dalam skala besar, penyediaan infrastruktur permukiman, maupun fasilitasi pembiayaan dalam bentuk subsidi bunga hingga bantuan likuiditas. Rekayasa finansial yang seharusnya berada di domain bisnis perbankan dan bisnis properti, dimana perumahan komersial (commercial housing) menjadi bagiannya, akhirnya pun membebani arena perumahan rakyat, selain mengantarkan pembangunan perumahan rakyat mendukung praktek ekonomi gelembung (bubble economic).  
Bagaimanapun, moda perumahan komersial yang merupakan bagian bisnis properti tetap berorientasi mencari keuntungan. Para pengembang swasta yang berasosiasi di dalam REI dan APERSI tergabung di dalam klaster-klaster dagang dan industri. Karena itu sangat wajar sekali jika klaster-klaster ini tergabung di dalam wadah Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia seperti selama ini. Oleh karena itu berbagai pengaruh dan negosiasi kalangan pengembang perumahan komersil terhadap berbagai simpul sumberdaya publik haruslah dibatasi. Infrastruktur publik, subsidi dan fasilitasi kemudahan pembiayaan, ijin penguasaan lahan mentah, ijin peruntukan tata ruang, adalah diantara sumberdaya publik yang tidak boleh diakses oleh praktek perumahan komersial, dan harus diarahkan untuk menguatkan moda perumahan umum. Praktek perumahan komersial hendaknya dibina dalam kamar dagang dan industri agar dapat tumbuh berkembang sebagai pengusaha properti yang handal dan kompetitif.
Memperhatikan karakter, kepentingan dan klaster tempat dimana seharusnya para pengembang perumahan komersial berada dan dibina sebagaimana diuraikan di atas, kebijakan di bidang perumahan rakyat yang berorientasi membina para pengembang perumahan komersial sebenarnya adalah suatu arah kebijakan yang salah kaprah (misleading). Karena perumahan rakyat bukanlah salah satu cabang sektor industri dan perdagangan yang melahirkan berbagai kebijakan dan program fasilitasi kegiatan industri dan bisnis. Kesalahkaprahan ini berakibat pada upaya pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat yang terdistorsi seperti kebijakan pembiayaan fasilitasi likuiditas, fasilitasi kemudahan perijinan maupun fasilitasi infrastruktur, yang kesemuanya ditujukan untuk memfasilitasi bisnis properti. Kesalahkaprahan yang paling memprihatinkan adalah membiarkan praktek spekulasi dalam akuisisi tanah mentah dalam pemberian ijin lokasi, dan hal ini dipandang sebagai aktifitas bisnis yang normal saja.
Akibat dari intervensi perumahan komersial dan berbagai kesalahkaprahan ini adalah: (kesatu), ketepatan dan proses identifikasi kelompok sasaran program perumahan rakyat menjadi sering terabaikan, (kedua), pemberdayaan kelompok-kelompok sasaran yang tidak mampu menjangkau harga rumah di pasaran, dan hanya mampu setelah diberdayakan dan diorganisir, tertutup oleh paket-paket fasilitasi bisnis properti, (ketiga), selain itu, kesempatan untuk mengakumulasi aset publik melalui moda perumahan umum dan aset masyarakat melalui moda perumahan swadaya menjadi hilang, dan (keempat), pengembangan kapasitas kelembagaan untuk mengelola sumber-sumberdaya publik dan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun di daerah, tidak mendapat tempat lagi di bidang perumahan yang menggunakan kata “rakyat” ini.
Lalu, apa yang harus dilakukan terhadap praktek perumahan komersial ini? Hal yang mendasar adalah bahwa perumahan komersial (real estate) tidak boleh lagi menempel pada urusan perumahan rakyat, melainkan harus diatur secara multi-sektoral.
·         Pertama-tama, moda perumahan komersial tidak bisa dipaksa untuk memikul beban misi merumahkan rakyat. Upaya mengekspansi pasar perumahan komersial untuk melayani kebutuhan perumahan MBR dan kelompok miskin sudah menunjukkan kegagalan menjangkau kelompok tersebut.
·         Kedua, perumahan komersial seharusnya benar-benar diarahkan untuk mengisi segmen perumahan menengah atas yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat dari segmen MBR dan Miskin. Di segmen menengah atas,  motif mencari keuntungan dari sisi pasokan mendapatkan justifikasi dan bertemu dengan sisi permintaan yang mencari kualitas dan kepuasan (profit making meet the quality and satisfaction). Dengan demikian, akan terjadi restrukturisasi secara alamiah, yang mana pengembang swasta yang sanggup bertahan pada bisnis properti secara profesional, dan yang mana pengembang yang pada dasarnya adalah penyedia jasa konstruksi, untuk kembali kepada kapasitasnya sebagai kontraktor secara profesional pula.  
·         Ketiga, praktek perdagangan perumahan komersial tidak boleh lagi dijalankan di atas alas pemanfaatan sumber-sumberdaya publik yang tidak diregulasi oleh suatu moda penyediaan publik. Skema-skema fasilitasi bisnis properti yang menggunakan dana-dana publik sudah terbukti mengandung kelemahan yang nyata sekali untuk menjangkau kelompok prioritas secara efektif.
·         Keempat, setelah regulasi sumberdaya publik secara efektif dikelola oleh otoritas perumahan publik, moda perumahan komersial diserahkan pembinaannya di dalam kamar tersendiri di bidang perindustrian (Kemenperin) dan bidang perdagangan (Kemendag).
·         Kelima, moda perumahan komersial perlu dijalankan di dalam kerangka peraturan pertanahan yang tertib yang diregulasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tertib penguasaan tanah (titling) harus lebih dikendalikan oleh sistem peraturan pemanfaatan tanah (guna tanah dan administrasi tanah) untuk keperluan bisnis, daripada dicoba dikelola melalui otoritas seorang kepala daerah dalam mengeluarkan perijinan lokasi usaha.
·         Keenam, untuk menghindari terjadinya pengembangan kawasan permukiman yang berserakan (scattered) dan menjalar-jalar (sprawling), maka moda perumahan komersial hanya boleh dijalankan di dalam suatu kawasan yang sudah memiliki rencana tata ruang dan tata bangunan yang jelas dan berkekuatan hukum (Perda). Sedangkan untuk kawasan di luar itu, praktek perumahan komersial hanya boleh membangun di suatu kawasan yang dikelola oleh suatu otoritas publik, sebagaimana telah diatur di dalam UU 4/1992 mengenai Kasiba-Lisiba.
·         Ketujuh, untuk menjaga stabilitas moneter di dalam negeri, skema-skema pembiayaan di dalam moda perumahan komersial perlu dijalankan secara tertib melalui pengawasan Bank Indonesia, dengan mengawasi praktek-praktek pembiayaan, peminjaman dan penjaminan yang dilakukan bank-bank dan lembaga-lembaga pembiayaan dan penjaminan. Berbagai program pembiayaan fasilitasi yang dijalankan untuk mendukung likuiditas bisnis properti dikendalikan dalam rangka likuiditas bisnis sebagaimana praktek perdagangan lainnya.
Praktek perumahan komersial yang tidak dikelola melalui moda penyediaan tersendiri telah berakibat pada konflik peran, intervensi terhadap urusan perumahan rakyat dan fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan. Oleh karena itu, ketujuh arah pengelolaan moda perumahan komersial seperti di atas perlu menjadi acuan dalam penyusunan arah kebijakan perumahan komersial (real-estate policy direction). Perumahan komersial adalah bagian dari industri properti, yang menjadi urusan bidang Perindustrian, dan bagian dari urusan perdagangan properti, yang menjadi urusan bidang Perdagangan, serta bukan urusan utama bidang Perumahan Rakyat.
Untuk menjamin terlaksananya kebijakan real-estat atau kebijakan properti ini, selain mengefektifkan pelaksanaan UU Perumahan dan Permukiman, UU Penataan Ruang, UU Bangunan Gedung, UU Pemerintahan Daerah, dan memantapkan otoritas publik melalui penetapan UU Perumahan Umum, pengendalian dan pembinaan moda perumahan komersil perlu diperkuat dengan beragam peraturan perundang-undangan. Setidaknya ada tiga sistem legislasi yang perlu diundangkan, yaitu:
1.      Undang-undang Real Estat atau Undang-undang Properti,
2.      Undang-undang Pertanahan, yaitu sebagai bentuk reformasi agraria dan perubahan dan atau penggantian UUP Agraria, dan
3.      Undang-undang Pertelaan atau mengenai strata title, yang mengatur tata cara penguasaan dan pemindahan penguasaan unit-unit properti yang berjenjang.
5.  Permasalahan Strata Title dan Pemilikan Asing
Isu lain yang berkembang tanpa arah akibat adanya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan adalah isu pertelaan atau strata title dan pemilikan unit apartemen oleh warga asing. Kedua isu ini berkaitan erat, karena pemilikan unit apartemen oleh warga asing mensyaratkan adanya pola penguasaan unit apartemen atau rumah susun secara berstrata. Di  satu sisi,  urusan ini memang penting dan perlu diatur untuk mendukung bisnis properti di tanah air. Namun di sisi lain perlu pula didudukkan persoalannya secara hati-hati dalam kaitannya dengan urusan pertanahan dan urusan perumahan rakyat.
Pada dasarnya urusan penguasaan properti dan tanah, baik dalam bentuk berstrata (strata title) maupun tidak berstrata, adalah termasuk ke dalam urusan pertanahan/agraria, dan lembaga utama yang mengurusnya adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Urusan strata title ini tidak ada kaitannya langsung dengan tujuan merumahkan rakyat. Artinya, ini bukanlah domain urusan Perumahan Rakyat, melainkan urusan bidang Pertanahan. Peran bidang Perumahan Rakyat sebatas mendukung (supporting) sedangkan BPN memimpin (leading), dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, meskipun terkait dengan pembangunan apartemen atau rumah susun, pembahasan strata title tidak boleh dicampur aduk antara penyediaan melalui moda perumahan komersial dengan isu Rumah Susun sebagai suatu produk dari moda Perumahan Umum (Public Housing). Masing-masing moda penyediaan perumahan memiliki karakter masalah dan pemecahannya yang berbeda-beda, baik dalam kerangka peraturan maupun sistem kelembagaannya.
Lebih jauh, sebagaimana disebut di atas, diperlukan suatu pengaturan tertentu mengenai pertelaan ini. Sebagai yurisprudensi dan preseden moda perumahan komersial, di Singapura ada undang-undangnya tersendiri yang berjudul Land Strata Title Act. Urusan pertelaan bukan diatur di dalam Undang-undang di bidang perumahan rakyat (Housing Act atau Public Housing Act) dimana visi di bidang ini adalah membangun sistem penyediaan perumahan rakyat.
Kemudian, mengapa dikatakan bahwa isu strata title ini berkembang tanpa arah akibat fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan? Pertama-tama mari kita simak kembali, bahwa pembicaraan tentang strata title telah bercampur aduk antara isu rumah susun yang dilaksanakan dengan pendekatan proyek di satu sisi, adanya desakan pihak pengembang properti untuk segera membuat pengaturannya demi lancarnya bisnis apartemen kelas atas dan untuk warga asing di sisi lain, serta adanya kendala peraturan di bidang pertanahan. Sekali lagi, situasi ini muncul akibat belum terbangunnya moda perumahan komersial dan moda perumahan umum secara jelas. Moda perumahan komersial belum memiliki pengaturan melalui Undang-undang Properti dan Undang-undang Strata Title. Sedangkan moda perumahan umum belum dimantapkan dalam posisi memimpin (lokomotif) dan memberi acuan standar kualitas dan model penanganan kepada moda perumahan komersial.
Dalam banyak pembicaraan, sering disebut-sebut bahwa preseden di Singapura dimana diperkenankan menguasai satuan unit apartemen atau rumah susun secara berstrata dengan masa pakai yang sangat lama, yaitu hingga 99 tahun. Menjadi pertanyaan, mengapa di Singapura bisa namun di Indonesia tidak bisa? Tentu saja hal ini tidak bisa begitu saja diterapkan di Indonesia. Pertanyaannya, siapa yang menerbitkan hak strata title tersebut?
Hal-hal penting yang luput dari perhatian dan kajian adalah bahwa: pertama, meskipun diberikan masa yang sangat panjang hingga mencapai empat generasi, hak berstrata yang diberikan ini bagaimanapun adalah tetap hak pakai (leasehold) dan bukan hak milik (freehold). Oleh karena itu, perlu dipisahkan terlebih dahulu, apakah penguasaan unit berstrata tersebut hendak diberikan dalam bentuk hak pakai atau hak milik.
Kedua, moda perumahan umum di Singapura sudah dibangun sejak tahun 1960-an dan kini sudah berkembang dengan cukup pesat dan berakumulasi pada sistem penyediaan yang mantap yang diselenggarakan oleh sebuah otoritas pelaksana yang dinamai Housing Development Board (HDB). Pada prakteknya, HDB inilah yang menerbitkan sertifikat hak pakai hingga masa 99 tahun tersebut. Artinya, keberadaan HDB bukanlah lembaga yang bisa di on-off begitu saja. Boleh dikatakan, tidak ada seorangpun pejabat HDB yang akan menyaksikan kapan berakhirnya masa pakai yang pernah diterbitkan oleh lembaganya pada masa yang bersangkutan menjabat suatu posisi di HDB. Artinya, sistem kelembagaan HDB sebagai penyelenggara moda perumahan publik sangatlah mapan, semapan negara Singapura itu sendiri, sehingga mampu menjamin pemanfaatan tanah dan properti di atasnya dalam waktu yang sangat lama. Kemapanan dan otoritas HDB atas tanah dan properti di atasnya boleh dikatakan sama kuatnya dengan otoritas administrasi pertanahan yang mengesahkan alas hak pakai pertama kali kepada HDB. Sepanjang negara masih memberi otoritas kepada HDB yang mengemban misi perumahan publik dan pengembangan perannya sebagai pengelola kawasan permukiman, hak pakai HDB atas tanah-tanah yang telah atau akan dikuasainya tidak dapat dialihkan. Di sini, keberadaan dan kemapanan lembaga HDB inilah yang menjadi penting, sebagai representasi pengembangan moda penyediaan perumahan umum. Ketiadaan sistem lembaga inilah yang menyebabkan pembicaraan strata title tidak akan memiliki arah yang jelas.
Kesimpulannya, bukan isu strata title nya yang menjadi titik perhatian, melainkan multi-moda penyediaan perumahanlah yang perlu diatur dengan baik dan dibangun kelembagaanya secara sistematis. Tanpa landasan sistem penyediaan yang baik maka pembicaraan akan mengarah pada penanganan yang semakin terfragmentasi. Sebuah otoritas perumahan umum yang mapan tentunya tidak akan bermasalah jika menerbitkan hak pakai satuan unit apartemen kepada warga negara asing, meskipun dalam jangka waktu yang lama. Karena melalui otoritas publik, pemilik tanah tetaplah negara.
Pada gilirannya kemudian, setelah ada praktek yang mantap yang dikembangkan melalui moda perumahan umum sebagai acuan dan model, praktek pengembang swasta di dalam moda perumahan komersial dapat pula diberikan otoritas untuk mengadakan apartemen dengan unit-unit yang dapat dikuasai secara berstrata. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan: pertama, adanya otoritas publik (Pemerintah Kota/Kabupaten) yang mengawasi dan mengendalikan praktek ini, kedua, adanya landasan kelembagaan pengembang swasta yang mantap dan stabil, dan ketiga, pemberian hak pakai dalam jangka waktu tertentu yang lebih singkat daripada yang diberikan oleh otoritas perumahan publik.
6.   Kesimpulan
Dengan memperhatikan kajian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Kompleksitas masalah perumahan rakyat muncul akibat belum terbangunnya multi-moda dan adanya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan,
2.      Beragam masalah perumahan rakyat berkembang karena absennya moda perumahan publik sebagai pemimpin (lokomotif) dari suatu aransemen multi-moda penyediaan perumahan.
3.      Beragam masalah yang kompleks di seputar urusan perumahan rakyat tidak dapat dibenahi secara sporadis dan sepotong-potong (ad-hoc and piecemeal) dengan arah sekedar untuk mendukung terlaksananya proyek-proyek pengadaan perumahan semata, yang sudah dialokasikan anggarannya.
4.      Semakin meluasnya fragmentasi moda-moda penyediaan perumahan rakyat hanya semakin menjauhkan bangsa ini dari cita-cita pengembangan sistem penyediaan perumahan rakyat (housing delivery system),
5.      Tanpa sistem yang terbangun dari berkembangnya multi-moda penyediaan perumahan rakyat, tetap tidak ada pilihan bagi komunitas informal dan kaum miskin kota yang selalu berhasrat untuk semakin berdaya dan sejahtera hidupnya serta hendak bertempat tinggal di dekat tempat kerjanya dan diterima sebagai warga kota. Tidak ada pilihan bagi mereka, selain tetap menghuni permukiman liar dan kumuh. Kegagalan perumahan rakyat tetap melekat yang terlihat indikasinya dari luas permukiman kumuh yang semakin bertambah dari tahun ke tahun (sekitar 47.000 Ha tahun 2000, 54.000 Ha pada tahun 2004 dan menjadi 57.000 Ha pada tahun 2009, BPS)


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar